FILOSOFI MOTOR 3: MENOHOK
SAOR R.S.S.S. PANJAITAN
SAOR R.S.S.S. PANJAITAN
Ada satu kata yang
begitu akrab bahkan intim dalam pikiran manusia. Kata ini abstrak namun efeknya
menguras energi dan daya nalar manusia. Bahkan saking supernya kata ini,
sampai-sampai Sang Pemberi akal budipun mengulasnya di kitab suci. Suatu ulasan
yang detail disertai contoh bahkan sanksi bila dilanggar. Kata itu adalah
Khawatir.
Khawatir adalah
suatu bentuk perasaan takut atau gelisah akan sesuatu yang sesungguhnya sama
sekali belum terjadi. Masalah utama dari perasaan ini adalah bahwa peristiwanya
belum terjadi!
Khawatir dikonsumsi
dengan rakus oleh semua kalangan. Tidak peduli anda sekaliber Adolf Hitler sang
sutradara Perang Dunia kedua yang sangat ditakuti oleh orang Yahudi, namun
ironinya Hitler sendiri khawatir Yahudi menguasai Jerman, ataupun raja pop Michael
Jackson yang selalu khawatir hidungnya terlihat jelek sehingga berkali-kali
dimodifikasi.
Khawatir tidak mengenal
usia. Mulai dari anak-anak yang selalu khawatir bila mainannya diambil temannya,
sampai nenek-nenek renta yang stress berat karena khawatir digusur dari gubuk
kumuhnya yang ilegal menempati lahan negara di kawasan Penjaringan Jakarta
Utara.
Khawatirpun tidak
mengenal etnis. Si Poltak Panjaitan selalu khawatir dicap tidak beradat dan
oleh karena itu dia berusaha menghadiri semua acara adat yang dilakukan oleh
keluarga-keluarga yang mengklaim punya hubungan peradatan dengannya, seperti
acara perkumpulan satu marga, marga dari istrinya, marga dari ibu kandungnya,
marga dari ibu kandung bapaknya, marga dari tulang (paman) istrinya, teman satu
kampung, saudara dari satu opung tertentu, kelahiran, pernikahan, kematian
sampai urusan memindahkan tulang belulang dari nenek moyang semua harus dikejar
dan dihadiri sekalipun mengabaikan golden
time dengan anak istri. Berbeda kalau soal ibadah ke gereja, sekali-sekali
menurutnya tidak apa-apalah bila tidak datang, toh Tuhan-kan maha pemaaf,
sedangkan manusia yang mengundangnya tidak akan memaafkan jika dia tidak hadir
dalam acara adat yang dilakukan.
Demikian pula
dengan si Asiong, sarjana cum laude jurusan Astro Fisika Institut Teknologi
Bandung, stress berat karena terlalu khawatir tidak bakalan dapat menikahi si
Ponirah yang asli Jawa dari Brebes, karena papi dan maminya yang asli
Singkawang hanya akan memberikan restu jika Asiong menikahi perempuan Cina
seperti si Melan yang cuma tamat SMP dan sedikit budek, tapi adalah putri
satu-satunya Koh Lie Foe Huan pedagang sembako di tempat maminya Asiong biasa
ngutang beras.
Khawatir juga
terlalu sering membonceng pikiran kemanapun saya pergi bermotor terutama saat
jalan licin, rusak parah, macet, sampai masalah jarum penunjuk bahan bakar
sudah melewati garis merah. Begitu rajinnya
khawatir menyapa pikiran sampai-sampai tidak tersisa lagi ruang buat logika
untuk beradu argumen, bahkan konyolnya terkadang menggoyah singgasana iman yang
sebelumnya sudah menancap kuat dalam perjalanan hidup.
Bahkan saya curiga, jangan-jangan dulu waktu di kandungan Mama, khawatir
sudah
menggerayangi pikiran saya selaku janin yang cemas akan dilahirkan di sebuah
keluarga prajurit rendahan, dengan gaji pas-pasan yang untuk beli susu formula
saja harus cashbon dulu dari koperasi
Batalyon, yang pembayarannya dicicil dengan pemotongan gaji Bapak tiap
bulannya. Kekhawatiran yang membuat mama saya sering kontraksi karena janinnya
kebanyakan bergetar stress dan ketika dilahirkan normal di rumah sakit tentara
DKT (Dinas Kesehatan Tentara) Bogor (sekarang RS. Salak) ternyata leher saya
terlilit tali ari sebanyak 2 lingkaran. Apakah ada hubungannya? Sungguh lebay
kan efek dari kekhawatiran itu!
Dulu waktu masih
makan bangku kuliahan, saya juga selalu resah dan gelisah bila memasuki akhir pekan.
Pasalnya, terlalu bosan kamar kost saya menampung jiwa raga yang merana
menjerit lirih karena belum juga punya pacar! Sebenarnya waktu itu mudah bagi
saya untuk memikat lawan jenis karena menurut kebanyakan anak kost -minimal
kata mama saya-, tampang saya di atas rata-rata, dan sebagai anak kuliahan di
perguruan tinggi negeri tentunya otak saya terklasifikasi encer. Saya juga
lumayan jago main gitar dan fasih melantunkan tembang-tembang sekelas
Kla-Project sampai The Beatles. Lumayanlah kalau sekedar bersaing dengan anak
muda kota Medan yang jago nyanyi karena mendapat pendidikan dan pelatihan di “Akademi Lapo Tuak” setiap malam. Saya
juga piawai menyusun kalimat-kalimat sastra yang memerah jambukan dunia cinta
anak muda. Selain itu, asal muasal saya yang dari kota kecil di kabupaten Bogor
tentunya dapat menjadi daya tarik tersendiri karena bagi orang Medan siapapun
yang berasal dari Pulau Jawa, semuanya dianggap mereka dari Jakarta! Dengan
berbagai latar belakang tersebut bukankah itu menjadi daya tarik yang menggemaskan
bagi para perempuan di Medan?
Tapi saya terlalu
khawatir berlebihan termakan isu yang menyebar bagai kanker di kota Medan,
bahwa para Butet disana tidak akan sudi melirik pejantan kere jika tidak
memakai “Ajian Pelet Jepang!” Nah
loh, apa pulak itu maksudnya?
Sudah menjadi
rahasia umum di Medan jika anak muda mau pedekate
harus memakai “Pelet Jepang”, suatu istilah yang digunakan untuk menyebut
sepeda motor. Jadi bila anda anak muda, lumayan ganteng, otak encer tapi
kemana-mana hanya menggunakan GL-Pro (Goyang Lutut Profesional alias jalan
kaki) maka persentase keberhasilan menggaet si Butet akan meluncur deras
terhempas ke nilai terendah.
Inilah bentuk
kekhawatiran yang membuat saya sering nyengir imut-imut sendirian sekarang ini,
karena ternyata sekalipun tidak pakai “Ajian
Pelet Jepang” toh saya berhasil memikat seorang Butet dari Medan yang
sangat cantik, berpendidikan tinggi dari keluarga terhormat yang faktanya punya
nilai idealisme tinggi dan sejati soal asmara yang dalam implementasinya benar-benar
anti pelet Jepang itu!
Suatu bukti nyata
dan sahih akan kebenaran formula Illahi dalam mencari jodoh yang berbunyi:
“…..tetapi baginya sendiri ia tidak menjumpai penolong yang sepadan dengan dia.
Lalu TUHAN ALLAH membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur, TUHAN
ALLAH mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan
daging. Dan dari rusuk yang diambil TUHAN ALLAH dari manusia itu,
dibangun-NYAlah seorang perempuan lalu dibawa-NYA kepada manusia itu” (Kejadian
2 : 20b – 22).
Maka hai para
Jombloers, TOHOKLAH KHAWATIR itu, karena Adam yang tidur dan tidak melakukan pedekate alias manuver apapun, ternyata
disediakan bahkan diantar sendiri jodoh untuknya! Yang penting Yakin Bro!
Tapi tunggu dulu,
sebelum lebih jauh Filosofi Motor 3 ini berpetualang dengan kalimat-kalimatnya,
saya tiba-tiba tersadar akan penggunaan kata Khawatir ini. Adakah sama dalam
pikiran anda seperti apa yang saya pikirkan, yaitu sebenarnya mana yang benar
untuk digunakan: khawatir, Kuatir, atau
Kawatir?
Taruhlah bukan
hujatan tapi cuma kritikan. Nah, kalau cuma kritikan rasanya oke-oke sajalah,
karna baik materi maupun teknis penulisan yang disampaikan sarat dengan peluang
untuk dikritik habis-habisan.
Saya
setuju sekali dengan apa yang pernah dikatakan oleh profesor yang juga penyair Henry Wadsworth Longfellow tentang
kritik. Katanya: “Kekuatan kritik
terletak pada kelemahan dari hal yang dikritik.” Karena saya memang penuh
dengan kelemahan, maka wajar-wajar saja kalau hujan kritik baik berupa gerimis
sampai yang lebat bahkan berwujud badai akan mengguyur saya.
Kalau tidak mau
dikritik berarti tidak mau diperbaiki dan sungguh munafiklah saya ketika
menjabarkan makna filosofi yang berusaha mencapai dan mencintai kebenaran di
bagian pertama serial filosofi ini, namun cuma karena kritik yang sebenarnya
dapat menuai berbagai kebenaran dari pembaca, saya menampiknya.
Kalau memang alergi
pada kritik, maka telanlah kata-kata dari penulis, artis sekaligus filsuf
kelahiran Illinois Amerika Serikat Elbert
Green Hubbard ini: “Agar tidak
dikritik, jangan berbuat apa-apa, jangan berkata apa-apa, dan jangan menjadi
orang yang berguna!”
Kritik adalah
Nasihat dan didikan yang berotot dan bergigi dalam penyampaiannya. Ibarat jenis
suara, kalau nasihat dan didikan adalah alto maka kritik adalah tenor yang
terkesan tinggi dan keras. Ibarat sosok, nasihat dan didikan adalah Menteri
Luar Negeri Republik Indonesia Retno Marsudi, sedangkan kritik adalah Menteri
Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Baik Kritik, nasihat dan didikan
Ketiganya adalah kembar identik karena sangat dibutuhkan dan bagaikan pelangi
kehidupan yang menuntun kepada kebijakan hidup. Sungguh berkilau kalimat bijak
Illahi yang berbunyi: “Dengarkanlah nasihat dan terimalah didikan, supaya
engkau menjadi bijak di masa depan!” (Amsal 19 : 20). Juga perhatikanlah
kata-kata yang ditujukan kepada rohaniwan muda Timotius yang diberikan oleh
mentornya: “Tujuan nasihat itu ialah kasih yang timbul dari hati yang suci,
dari hati nurani yang murni dan dari iman yang tulus ikhlas” (1 Timotius 1 :
5). Jadi jika anda mengkritik semua serial filosofi ini, berarti anda sedang
menasihati, mendidik dan mengasihi saya dari hati yang suci dan murni dengan
tulus ikhlas.
Kembali ke masalah
tiga kata yang mirip untuk membangun judul serial ini, maka demi mendapatkan
kebenaran –sesuatu yang saya sudah gembar-gemborkan dalam Filosofi Motor 1:
Sebuah Pengantar- saya bersegera membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia yang
diterbitkan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008. Setelah
saya telusuri, ketiga kata tersebut ternyata dicantumkan, namun penjelasan akan
maknanya diuraikan pada kata Khawatir.
Kata kuatir dan kawatir sendiri tidak menguraikan penjelasan apapun hanya
diberi tanda panah yang menunjuk atau mengarahkan kepada kata Khawatir. Jadi tidak salah jika saya
menggunakan kata Khawatir untuk
seluruh tulisan ini kecuali untuk kutipan kata-kata Illahi, saya menggunakan
kata Kuatir karena memang kata itulah
yang digunakan oleh Lembaga Alkitab Indonesia.
Sekarang, mari kita
melangkah ke persoalan berikutnya. Sesuai dengan jati dirinya, manusia
senantiasa pandai mencari-cari persoalan (kasarnya: “Kesalahan”) pada apapun
yang belum, sedikit atau bahkan telah banyak diketahui tentang sesuatu.
Termasuk juga picingan mata menyelidik dan garukan pada otak intelektualitas
pembaca, tentang penggunaan kata “Menohok” pada judul serial kali ini. Untuk
menjinakkan liarnya argumen yang tidak perlu atas satu kata yang tidak
bersalah, maka ijinkan saya mengungkapkan makna dan alasan pemilihan kata
“Menohok” didepan kata Khawatir.
Saya sengaja
memakai kata “Menohok” awalnya demi mengguncang rasa penasaran pembaca akan
Filosofi Motor 3 ini. Setelah saya renungkan dengan mendalam, rasanya akan jauh
lebih spektakuler digunakan kata “Menohok” sebagai rekanan kata “Khawatir”
ketimbang kata-kata: Jangan, Menyingkirkan, Menghalau, Mengatasi, Mengentaskan,
Membuang, dan lain-lain yang dapat mengesankan pembaca untuk memposisikan saya
sebagai rabbi tua berjenggot atau praktisi konsultan masalah kejiwaan di
berbagai rumah sakit jiwa ataupun juga para Professor di Department of Psychological Universitas sekaliber Harvard.
Mudah-mudahan
pembaca setuju dengan penggunaan kata Menohok ini karena disadari atau tidak,
sebenarnya belum banyak orang tahu arti kata Menohok itu sendiri. Nah, kalau
belum tahu, silahkan lanjutkan membaca Filosofi Motor 3 ini.
Menohok dalam kamus
Bahasa Indonesia berarti menusuk miring (dengan lembing, tombak). Menusuk
dilakukan dengan melemparkan alat penusuk kearah bawah. Seperti perburuan ikan
Paus oleh nelayan tradisional, maka menohok ini dimaksudkan adalah untuk
menangkap dan mematikan buruannya. Jadi Menohok Khawatir diartikan secara
ekstrim adalah untuk menusuk/mematikan kekhawatiran sehingga terjadi penaklukan
dan penguasaan total atasnya.
Sampai di sini
terlebih dahulu saya harus melakukan klarifikasi bahwa Filosofi Motor 3 ini
bukanlah ajang untuk berteori ataupun menawarkan berbagai solusi bagaimana
Menohok Khawatir. Saya hanya mencoba menceritakan pengalaman hidup yang
melintas, menggaung, bahkan mengendap dalam pikiran ketika berada di atas jok
motor yang sedang melaju. Sekali lagi saya ingatkan sebagaimana yang sudah dituturkan
dalam Filosofi Motor 1 bahwa cara pengisahan adalah dengan menggunakan pisau
bedah dan kaca pembesar filsafat, hikmat manusiawi dan terutama hikmat sorgawi,
untuk mempertegas dan memperdalam makna sehingga diperolehlah kemanfaatan yang
holistik dan murni, setidaknya menurut saya.
Khawatir pertama
yang terjauh dan masih dapat diingat dari masa lalu saya adalah ketika pertama
kali masuk sekolah dasar katolik di Cibinong. Di hari pertama sekolah, mama
mengantar dan ketika disuruh berbaris untuk masuk kelas, saya tidak mau bahkan
menangis karena khawatir akan ditinggalkan mama. Bayangkan, anak lelaki sulung
dari prajurit ABRI yang tinggal di Asrama militer menangis ketakutan untuk
masuk sekolah dan ditinggal pulang sama Mamanya. Pada hari kedua sekolah lebih
parah lagi. Mungkin karena khawatir ruang kelas itu akan membantai saya seperti
kamp konsentrasi NAZI Jerman di Auswitch, hari itu saya ngompol di celana!
Suatu pengalaman trauma kejiwaan sebagai buah dari kekhawatiran anak usia 5
tahun yang memori otaknya saja belum terisi seperseratusnya. Karena peristiwa
tersebut, terpaksa Mama menunggui saya sekolah selama satu minggu.
Setelah
satu minggu barulah saya berani berangkat dan pulang sendirian dengan
menggunakan becak langganan yang dikemudikan oleh Bang Udin seorang pria paruh
baya yang bangga akan profesinya sebagai tukang becak dan dengan penuh tekad
serta kesetiaan pada profesi, melakoni kayuh mengayuh kendaraan roda tiga itu
seumur hidupnya. Baginya yang penting eksis sekalipun kebanyakan pembayaran
ongkos becaknya dihutangi oleh Mama.
Sekali waktu ketika
duduk di kelas 4 SD, saya terburu-buru pergi ke sekolah tanpa sarapan istimewa seperti biasanya (Jenis
sarapan silahkan lihat di Filosofi Motor 2: Belajar Bermotor) karena khawatir
terlambat. Perlu diketahui bahwa asrama tempat tinggal kami, masih masuk ke
dalam wilayah Bogor yang bergelar kota hujan sehingga lumayan adem apalagi di
malam hari, dan air PAM super dingin yang mengalir melewati pipa kecil karatan yang
disambung dari pipa berdiameter 2 cm-an dari tempat mandi bersama yang terletak
di belakang barak perumahan dan digunakan untuk 7 rumah yang dibuat dengan
menyekat barak panjang tersebut. Pagi itu terjadilah kembali peristiwa yang
sulit untuk saya pastikan apakah memalukan, menyenangkan atau menggemaskan?
Pagi itu di
sekolah, saya yang kurus dengan leher panjang laksana angsa – istilah yang
selalu dilontarkan Bapak ketika marah bercampur prihatin setiap tersadar ketika
melihat bentuk badan saya – mendadak terjadi penambahan besar badan hanya di
bagian perut yang bukan dikarenakan perbaikan gizi melainkan dikarenakan
kembung belum sarapan.
Tidak menunggu
lama, dalam tempo satu jam, akhirnya angin yang menggeliat liar di perut itu, memaksa melontarkan diri
sekaligus membawa serta hasil olahan lambung terhadap makanan yang dikonsumsi
malam sebelumnya. Muntahan yang memalukan karena selain banyak dan encer, materinya
pun jauh dari standar kesehatan perorangan yang ditetapkan oleh WHO. Melihat
saya muntah dan tidak berdaya, seorang kakak kelas dari SMP membawa saya ke
ruangan kepala sekolah dan bertemu dengan suster Anna yang cantik, putih dan
bersih dibalut seragam biarawatinya yang sangat saya hormati karena kelembutan
dan kewibawaannya. Karena figur suster Anna inilah saya jadi mudah membayangkan
dan meyakini kecantikan sosok Nona Anna yang dinyanyikan dengan sepenuh jiwa
oleh penyanyi Ambon Ade Manuhuttu yang meledak terkenal di tahun tujuh puluhan.
Sebagai suster yang
merangkap sebagai kepala sekolah, tidak perlu terlebih dahulu konsultasi ke
dokter atau membaca buku panduan kesehatan untuk memastikan apa yang terjadi
denganku. Beliau mahfum dan
tentu memori otaknya langsung terkoneksi dengan logika untuk kemudian
menyimpulkan siswa kere agak kehitaman dan kurus ini pasti belum sarapan pagi. Setelah diberi
minum air putih hangat, beliau membawakan sepiring nasi hangat dengan sayur,
telor dadar dan tempe tahu sebagai aksesorinya. Pucuk dicinta ulam
tiba! Menu yang termasuk high class
untuk keluarga kami ini, langsung tandas tanpa sisa dan segera saya pulih
kembali untuk kemudian diijinkan pulang lebih cepat sambil diantar menyeberang
jalan oleh kakak kelas tadi.
Peristiwa yang
dipicu oleh kekhawatiran terlambat masuk sekolah itu sebenarnya sering terjadi.
Sebetulnya jika saya sekolah di sekolah dasar negeri mungkin kekhawatiran
sejenis jarang terjadi karena dari yang saya dengar di SDN di seputar wilayah kami, masuk sekolah adalah pukul
08.00 dan untuk setingkat saya biasanya jam 10.00 sudah pulang.
Berbeda dengan
sekolahku yang kinclong dan mahal ini, jam masuk sekolah adalah pukul 07.00.
Jika terlambat 10 detik saja, maka serta merta Satpam langsung menutup gerbang
sekolah. Untuk bisa masuk diperlukan ijin khusus yang ditandai dengan selembar
surat sebagai passport dari guru piket dan apabila berulang sampai tiga kali
maka orang tua akan dipanggil ke sekolah. Jam sekolah berakhir pada pukul
13.00.
Begitu disiplin dan
padatnya pembelajaran di sekolahku sampai-sampai jika ada guru yang berhalangan
hadir untuk mengajar dikarenakan sakit atau masalah lainnya, maka pasti selalu
tersedia guru pengganti di jam pelajaran tersebut. Sesuatu yang tidak bisa
membuat kami berhura-hura karena guru tidak masuk, sebagaimana yang dialami
oleh teman-teman di SDN yang bebas tidak belajar jika tidak ada guru, dan
senantiasa dengan bangga diceritakan kepadaku sebagai suatu keunggulan dari
sekolah teman-teman tersebut.
Sekolah Dasar
Katolik kami juga biasa mengadakan senam kesegaran jasmani sebelum memulai jam
pelajaran. Biasanya senam ini dilakukan seminggu sekali. Semua murid dari kelas
1 sampai 6 wajib mengikuti senam ini dipelataran depan sekolah yang cukup luas. Setelah senam
biasanya para murid langsung bergegas lari beramai-ramai menuju kelas
masing-masing. Sekali waktu ketika saya duduk di kelas 5, selesai senam kami
bergegas lari berebutan lebih cepat untuk masuk kelas.
Menjelang beberapa
meter dari pintu kelas, seorang teman bernama Helmy, anak perwira dari AURI
(Angkatan Udara Republik Indonesia) Cilangkap terjatuh dan keningnya menghantam
lantai. Akibat dari jatuh tersebut, di jidat sebelah kirinya muncul daging
tambahan berupa benjol kebiruan yang lumayan besar. Helmy menangis kesakitan
karena benjol dan malu. Setiba di kelas
guru menanyakan mengapa kepalanya benjol. Saya tidak tahu ketika itu siapa yang
memberitahu ke guru tentang kejatuhan Helmy dan dikatakan karena saya
menyengkal kakinya sehingga dia terjatuh. Tanpa mencoba
mencari penyebab yang sebenarnya, Pak Subagyo yang wali kelas saya, langsung
menjatuhkan hukuman yang bagi anak-anak seusia saya saat itu sungguh sangat
mengerikan dan memalukan, tapi bila di bangku SMA tentu sangat saya harapkan.
Saya dihukum duduk
di bangku paling depan, tapi diapit diantara 2 siswi. Waktu itu memang bangku
belajar berupa sebuah papan panjang yang juga menyatu dengan mejanya. Kedua
siswi itu sebenarnya adalah siswi-siswi ter-kece
di kelas kami. Salah satunya bernama Tenny yang baru bergabung dengan sekolah
sebagai murid baru pindahan di kelas 4. Anaknya cakep, rambutnya
kemerah-merahan jagung karena mungkin ada darah Londo-nya. Satunya lagi kalau tidak salah bernama Lidya. Bidadari
cilik yang kalem dengan topografi wajah oriental namun kulitnya tidak sekuning
gading. Yang saya ingat dari teman yang satu ini adalah senyum ramahnya dan
sangat kalem. Cocok kalau disangka putri kraton dengan gelar Kanjeng Ratu Ayu.
Tapi memang dasar
anak tentara miskin, saya merasa hukuman itu begitu sangat menyiksa dan
memalukan. Saya khawatir kedua anak kaya di kanan kiri ini akan mencium bau
tidak sedap, minimal dari pakaian lusuhku yang tiap harinya cuma mampu dicuci
dengan sabun batangan ber-merk B-29, yang biasa diiklankan di TV oleh artis
gendut bernama Ratmi B-29. Andaikanlah saat itu saya sudah tahu ada kalimat
bijak yang mengatakan: “Dan mengapa kamu kuatir akan pakaian? Perhatikanlah
bunga bakung di ladang, yang tumbuh tanpa bekerja dan tanpa memintal” (Matius 6
: 28), pasti pakaian lusuh bukan penghalang pikiran saya untuk tetap pede seperti Raja Salomo, raja terkaya
yang pernah ada di muka bumi ini, yang justru digambarkan bahwa dalam
kemegahannya tidak berpakaian seindah salah satu dari bunga bakung itu (Matius
6 : 29).
Sabun mandipun dari
yang termurah, kalau tidak Lux atau Lifebuoy dan sering juga tidak pakai sabun
karena tidak mampu beli sabun atau malas pakai sabun. Belum lagi soal menyikat
gigi. Sikat gigi kami biasanya dari kelas yang paling murah dan karenanya bulu
sikatnya keras laksana kawat. Sedangkan odol dibeli jika Bapak baru gajian dan
biasanya ber merk Pepsodent dari jenis yang termurah. Tapi soal sikatan gigi
pakai odol, 3 kali seminggu rasanya sudah bagus. Tidak heran kami anak-anak
kolong variasi warna giginya biasanya lebih indah karena kebanyakan didominasi
dengan warna kuning plus plak-plak diseputar gusi. Tapi memang seingat saya,
jarang sekali mulut kami tercium bau tak sedap. Mungkin kemurahan Yang Maha
Kuasa meminimalisirkan rantai penderitaan kami. Kondisi kebersihan
badan seperti inilah yang membuat saya khawatir berada diantara dua bidadari kece ditambah perlengkapan sekolah
berupa buku dan alat tulis yang minim dan murahan.
Satu lagi yang
membuat saya khawatir dengan penampilan diri adalah efek dari olokan teman
perempuan bernama Yanthi. Dia sering meledek saya dengan panggilan si Tonggos.
Memang saat itu dua gigi depan atas terlihat lebih besar dari lainnya dan
posisinya agak sedikit lebih menjorok ke depan sehingga tidak heran jika Yanthi
memanggilku dengan si Tonggos. Bahkan dia ‘memuji’ saya dengan mengatakan bahwa
gigi saya tidak kalah hebat dengan gigi kelinci. Karena ejekan ini,
saya jadi lebih sering bercermin memandangi dengan pilu kedua gigi tersebut.
Bahkan dengan konyolnya sering menekan-nekannya agar bersedia untuk sedikit
mundur sehingga sekalipun menonjol lebih besar dari gigi lainnya namun jika
barisannya rata bukankah agak sedikit mengurangi aib? Pikirku, betapa kelamnya
dunia asmaraku di masa depan karena pertumbuhan hyperactive dari gigi masa kanak-kanak ini. Kekhawatiran yang tak
terbukti sedikitpun karena pada 1993 teman kostku Robin Simanjuntak dari
fakultas kedokteran gigi mengatakan, bahwa gigiku memiliki warna yang bagus dan
sehat serta ukuran dan posisi yang perfect
dari sudut dunia per-gigi-an!
Ternyata memang
benar sekali apa yang disabdakan oleh Rabbi agung dahulu di sebuah bukit,
tanyanya: “Siapakah di antara kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan
sehasta saja pada jalan hidupnya?” (Matius 6 : 27). Jangankan sehasta (+
45cm) jalan hidup, memundurkan gigi 0,5 cm kebelakang saja saya tidak bisa. Mensyukuri
apa yang ada dan sudah terjadi, disadari atau tidak, sebenarnya jadi solusi
mujarab menjawab kekhawatiran. Pada bagian ini kita mendapatkan senjata untuk
menohok khawatir yaitu BERSYUKUR.
Jitu sekali Sang
Khalik mengilhamkan kepada tokoh kontroversial kelahiran Tarsus yaitu Paulus,
resep mujarab menohok khawatir yang didokumentasikannya berupa surat kepada
orang-orang di Filipi yang berbunyi: “Janganlah kamu kuatir tentang apapun
juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa
dan permohonan dengan UCAPAN SYUKUR!” (Filipi 4 : 6).
Tapi memang kalau
disuruh bersyukur rasanya sulit sekali. Logika selalu dominan memainkan peran.
Mari perhatikan beberapa kenyataan sejarah berikut ini. Pada 1985 ketika
tamat SMP, cukup lama saya menyesali diri tidak melanjutkan sekolah ke SMA yang
sangat bagus kualitasnya di Kotamadya Bogor yaitu Regina Pacis.
Ceritanya, saya
tamat SMP dengan nilai EBTANAS lumayan bagus pada saat itu yaitu 42 koma
sekian. Pemberlakuan Nilai EBTANAS murni (NEM) sebagai syarat memasuki jenjang
pendidikan lebih tinggi sudah diberlakukan saat itu untuk tahun yang kedua
secara nasional. Tidak heran kebanyakan siswa baik SD sampai SMA nilai NEM di
masa itu rendah-rendah. Untuk NEM sebesar
42, saya masuk peringkat 9 dari seluruh siswa SMP Katolik yang lulus di tahun
1985. Jadi termasuk tinggi karena kualitas SMP kami berada di papan atas baik
sekolah negeri maupun swasta se kabupaten Bogor. Guru dan beberapa
teman menyarankan saya untuk mendaftar ke SMA Regina Pacis karena kemungkinan
besar saya pasti diterima saat itu. Ternyata benar, untuk tahun 1985, SMA
Regina Pacis Bogor mensyaratkan NEM minimal 36 untuk dapat diterima, dan untuk
mendaftar siswa diharuskan datang sendiri ke sekolah tersebut.
Sayangnya saya
tidak pergi mendaftar karena di hari terakhir keterlambatan mendaftar itu, saya
takut untuk meminta uang dari Bapak sebagai ongkos ke kota Bogor dari Cibinong.
Saya cukup tahu dirilah beban Bapak dengan enam anak. Selain itu saya yakin,
pasti sebagai sekolah swasta unggulan, uang sekolah dan uang tetek bengek
lainnya pasti besar. Pengalaman 9 tahun dari SD sampai SMP membentuk saya
menjadi pribadi yang rendah diri karena ketidak mampuan memenuhi standar
minimal biaya-biaya pendidikan. Karena kekhawatiran
tersebut, saya akhirnya mendaftar ke SMAN 1 Cibinong yang adalah SMA Negeri
terbaik di Kabupaten Bogor.
Sebenarnya ada hal
lain lagi yang akhirnya membuat saya pergi mendaftar ke SMAN 1 Cibinong. Hal
lain itu berkaitan dengan hati dan perasaan “biru” campur “pink” dari seorang
anak kolong miskin yang eksis di sekolah swasta mahal dan kinclong. Bukan hanya
kinclong gedung sekolah, biaya pendidikan dan kurikulumnya. Ada lagi kinclong
lainnya yang berkaitan dengan siswi-siswi di SMP saya.
Dari sekian banyak
siswi tersebut, ada satu yang memerah-jambukan cinta monyet dari Anak Baru Gede
(ABG) seperti saya. Siswi tersebut
adalah adik kelas satu tingkat di bawah saya. Orangnya sangat pintar, berkaca
mata, rambut pendek mengikuti style Lady Diana yang memang sangat nge-trend saat itu, berhidung mancung, kulit
rada-rada sawo muda mengarah ke putih, dan orang Batak! Namanya:
……………mmmhhhh….sebaiknya tidak usah disebut kali ya? Yang pasti dia boru Batak,
tapi entah bermarga (boru) Saragi atau Saragih saya sendiri nggak tahu. Nama
belakangnya adalah nama buah dan nama depannya nama Batak yang bila di bahasa
Indonesia-kan artinya cahaya.
Dasar cinta monyet
(really?) maka apapun yang saya lihat
dari dirinya, semuanya indah dan manis. Makhluk Tuhan yang indah ini juga
sangat rapih dalam berseragam. Jam tangan bertali coklat di pergelangan tangan
kirinya-pun terlihat pas dan manis sekali. Sepatunya selalu berwarna hitam dan terlihat
bersih dengan kaos kaki putih menutupi sampai tiga perempat betisnya. Tepat di
masa SMP tersebut dia pun sedang berjuang hebat melawan gejolak hormonal yang
tanpa kompromi mengotori wajah manisnya dengan jerawat. Saya perhatikan
jerawat-jerawat ini rajin bersilaturahmi ke wajahnya namun mungkin orang tuanya
cukup mampu, sehingga terapi yang dilakukan nampaknya cukup ampuh membendung
dan menghalau jerawat-jerawat nakal tersebut. Sekalipun dalam masa serangan
jerawat yang sedang intensif, tapi di mata saya dia tetap …uuhhh…pokoknya
Marini Sardi yang bintang iklan Lux waktu itupun rasanya lewatlah!
Sekali waktu kami
pernah sama-sama ada di perpustakaan sekolah. Jangan salah, kami tidak punya
janjian sama-sama ke perpustakaan atau punya minat yang sama terhadap jenis
buku tertentu. Yang saya tahu, karena dia memang pintar sekali, bahkan juara
kelas, tidak heran jika dia doyan membaca. Saya pun doyan membaca (biasalah,
mencoba mencari kecocokan) tapi karena tak pernah dibelikan buku, maka
perpustakaan adalah pemuas nafsu intelektualitas dari otak saya yang konten
memorinya masih rakus menyimpan data. Tapi memang kalau dia ke perpustakaan,
saya perhatikan buku-buku yang dibaca di tempat atau dipinjamnya biasanya yang
cukup serius untuk anak SMP sepertinya, sedangkan saya sibuk memburu buku-buku Lucky Luke, Tin Tin dan komik wayang
karya R.A. Kosasih. Semuanya masih berkisar komik.
Pada hari dimana
kami ada dalam perpustakaan tersebut, saya yang selalu khawatir dengan performa diri, tentunya sudah patut
diduga tidak berani sama sekali untuk bicara dengannya. Paling hebat cuma
memandanginya, itupun tanpa sepengetahuannya. Mungkin di saat itulah saya baru
mengerti makna leksikon dari kata “Bidadari” dan kisah tentang Joko Tarub yang
sedetikpun tidak berkedip ketika menyaksikan para bidadari kurang kerjaan, yang
bisa-bisanya datang ke bumi, pulau Jawa pula, hanya untuk mandi di sebuah setu,
yang saya yakin tidak satupun Professor Sastra, Arkeologi maupun Geografi dari
Universitas Gajah Mada tahu di mana letaknya! Yang pasti gara-gara visualitas
dari optik alami manusia tersebut, membuat Joko Tarub nekad mendobrak sopan
santun dan kesusilaan manusia Jawa dengan mencuri pakaian salah satu bidadari,
mengawininya untuk kemudian, katanya, menurunkan raja-raja di Jawa. Nasib baik
pemuda Jawa yang mendadak nekad dan happy
ending namun tidak dapat menginspirasi dan memotivasi remaja Batak kere
seperti saya.
Apa yang istimewa
dari pertemuan tersebut? Tidak ada! Lah wong,
ngobrol kagak, bertatapan mata dengan mata kagak, pinjam judul buku yang sama
kagak, apalagi duduk berdampingan bersama membaca buku!
Tapi bagi saya
tetap sangat istimewa karena entah disengaja atau tidak (saya yakin 1000% tidak
disengaja, entahlah kalau menurut anda) saat itu saputangannya ketinggalan!
Sapu tangan putih selebar 30x30 cm dengan corak bunga-bunga yang berwarna
coklat muda lembut tersebut tertinggal dalam keadaan terlipat rapih. Saya
langsung mengambilnya, tapi tidak mengembalikannya. Entahlah, apakah karena
takut dan malu mengembalikannya atau merasa bahagia setinggi langit berhasil
memiliki sesuatu darinya. Yang pasti sapu tangan itu saya simpan baik-baik
didompet selama bertahun-tahun kemudian, sampai akhirnya dapat gebetan baru saat di SMA! Suatu kisah
yang mirip dengan Joko Tarub, sama-sama dapat sesuatu, tapi ending-nya, yang satu menurunkan
Raja-Raja Jawa, satunya lagi tetap asyik bermandi lumpur kekhawatiran akan
asmara, sampai pada akhirnya berakhir juga ketika berhasil menikahi bidadari
yang jauh lebih cantik dibandingkan bini-nya
Joko Tarub.
Ups, maaf
kepanjangan membahas Joko Tarub. Mari balik lagi ke kisah perempuan Batak tadi.
Pengalaman satu-satunya pernah komunikasi dengannya adalah saat-saat terakhir
di kelas 3 SMP yaitu saat pembagian NEM.
Waktu itu saya sedang berada di kelas, dan tiba-tiba dia sudah berada di pintu
dan menyapa serta minta lihat NEM saya. Dia hanya bicara singkat dengan
mengatakan bahwa NEM saya bagus. Wah, berbunga-bunga sekali hati ini waktu itu.
Sayangnya momen berharga tersebut di penggal terakhir petualangan saya di SMP
tersebut. Coba kalau peristiwa tersebut terjadi lebih awal, mungkin pengisahan
bagian sejarah asmara monyet tersebut bisa lebih panjang di dokumentasikan
untuk anda.
Jadi keputusan mendaftar
ke SMAN 1 Cibinong sebenarnya memiliki motivasi lain, yaitu berharap sekali
waktu bisa bertemu perempuan Batak yang sudah menggeliatkan romansa cinta
monyet masa ABG saya karena jarak SMAN 1 dengan SMP Katolik hanya sekitar lima
ratus meter-an. Sayangnya, ternyata selama di bangku SMA sampai tamat, tidak
sekalipun saya pernah bertemu dengannya lagi, bahkan sampai detik ini.
Belakangan ini saya tahu melalui Facebook
bahwa dia ternyata kemudian melanjutkan sekolah ke SMAN 3 Jakarta dan berhasil
lulus dari Universitas Indonesia serta menjadi istri dari pejabat yang berada
di lingkaran satu presiden Joko Widodo.
Begitulah, rendah
diri dan kekhawatiran ternyata berteman akrab, bahkan mungkin saudara kembar
siam! Andaikanlah waktu itu saya sedikit punya keberanian menyatakan perasaan
kepada perempuan Batak Smart itu dan
berhasil membina hubungan serius, mungkin saya tidak mengajukan diri mendaftar
di SMAN 1 Cibinong tapi ke SMA Regina Pacis Bogor. Loh kok bisa?
Siswi Batak yang
pintar itu ternyata rumahnya tidak jauh dari SMAN 1 Cibinong. Waktu itu saya
berpikir, kalau saya melanjutkan sekolah di SMAN 1 Cibinong, maka peluang untuk
bisa bertemu dengannya tentu sangat besar. Tapi boro-boro mau ketemuan dekat
rumah, yang tiap hari ketemu di sekolah saja saya tidak berani menyapanya.
Apalagi kalau sampai ke rumahnya. Selain itu, romansa SMA rupanya mampu memikat
mata dan hati saya ke lingkungan pendidikan yang baru tersebut. Kekhawatiran
tidak bisa lagi bertemu dengannya musnah begitu saja dimakan waktu seiring
masuknya saya ke suasana baru dengan orang-orang yang baru. Dari sini saya
mendapat hikmat bahwa satu lagi cara menohok khawatir adalah membiarkannya
seiring dengan waktu yang berlalu. Istilah yang sering saya gunakan untuk
senjata menohok khawatir ini adalah: BIARKAN WAKTU YANG MENJAWAB.
Dalam versi
Heraclitos, kelahiran Ephesus (535 – 475 SM), yang terkenal dengan julukan “Si
Gelap” karena memang cukup sulit untuk menelusuri dan mengerti gerak pikirannya
sehingga dianggap samar atau gelap, dalam memandang segala sesuatu yang
terjadi, dia berpendapat biarkan semuanya mengalir dan berubah untuk menjadi
sesuatu. Pemikiran Filsafat Heraclitos terkenal sebagai istilah “Filsafat
Menjadi”. Ucapannya yang sangat terkenal adalah “Panta Rhei Kai Uden Menci” yang artinya: Segala sesuatu mengalir
bagaikan arus sungai dan tidak ada seorangpun yang bisa masuk ke sungai yang
sama dua kali, karena air sungai yang pertama yang mengalir membawa sesuatu
tadi sudah tergantikan oleh air yang berada di belakangnya. Jadi semua terus
berjalan dan berganti dari suatu keadaan menjadi keadaan yang baru demikian
seterusnya. Semua yang berubah menjadi sesuatu tersebut tidak akan pernah
kembali menjadi mutlak sama dengan keadaan masa lalunya dan untuk semua
perubahan ini waktu lah yang mengantar dan menjawabnya.
Saya sering me-review perjalanan hidup dan menyadari
ternyata seiring jalannya waktu, banyak kekhawatiran ternyata tidak memerlukan
terapi apapun dan menghanyutkan diri dengan waktu yang berjalan ke depan,
ternyata menjawab dan menyelesaikan semua kekhawatiran yang pernah singgah
dalam hidup ini. Jadi seperti kisah jodoh yang saya tuliskan di atas, ternyata
jawaban atau solusi atas kekhawatiran, otomatis diberikan oleh Sang Pencipta
tubuh jiwa dan roh, atau diantarkanNYA seiring perjalanan bersama waktu dan
tidak perlu repot-repot memperjuangkannya. Cukup dengan berdoa dan pasrah dalam
pengharapan menuju ke masa depan.
Romansa asmara di
penggalan akhir masa peralihan dari SMP ke SMA ini ternyata tidak menguap tanpa
bekas dan hilang dari ingatanku. Kadang saat mengendarai motor, kenangan itu
tiba-tiba melintas dalam benak. Jauh lebih kuat untuk diingat kembali ketimbang
mengingat berbagai kekesalan yang terjadi di jalan dikarenakan angkot yang
menghalangi jalan sehingga menyebabkan kemacetan panjang, ibu-ibu tanpa helm
yang tiba-tiba memotong seenaknya dari sebelah kanan untuk berbelok ke kiri,
ataupun ulah anak-anak SMP yang seenaknya main selap-selip, ngebut dengan nekad
tanpa helm, jaket dan masker pelindung, ataupun mobil yang tanpa perasaan
seenaknya mengebut dari arah berlawanan menghantam kubangan air sehingga
membasahi sekujur tubuh. Untuk berbagai insiden ini, dalam tempo beberapa jam
biasanya saya sudah tidak ingat lagi. Mungkin karena kebanyakan melamunkan masa
lalu sambil mengemudikan motor, memori otak saya malas mendokumentasikan
hal-hal kecil yang terjadi di sepanjang jalan. Tapi untuk kondisi jalan
tertentu yang rusak parah dan harus sering dilewati biasanya saya memaksa mata
dan otak ini untuk bersama bekerja keras mengidentifikasinya.
Jalan yang biasa
saya gunakan untuk pergi ke gereja adalah jalan negara yang melewati dua
kabupaten yang masuk kedalam dua propinsi. Saya beribadah di
Gereja Methodist Indonesia Efrata di wilayah Parung Panjang Kabupaten Bogor
Provinsi Jawa Barat. Sementara saya tinggal di sebuah perumahan yang masuk ke
wilayah Kabupaten Tangerang provinsi Banten. Minimal dua kali
saya harus pulang pergi ke gereja dalam satu minggu baik pagi maupun malam hari
jika mengikuti cell group, malam
pujian dan doa ataupun kegiatan persiapan latihan-latihan untuk pelayanan
mingguan.
Rute perjalanan
yang ditempuh dari Jalan Raya Karawachi kearah Legok dan kemudian menyusuri
jalan Parung Panjang. Jalan negara ini biasa dilewati oleh truk pengangkut
pasir, truk pengangkut sembako, truk pengangkut hasil industri baik untuk
kebutuhan lokal maupun ekspor sampai truk pengangkut hewan ternak. Artinya,
jalan tersebut sebenarnya sangat vital bagi kegiatan ekonomi negara ini Tapi hebatnya,
jalan tersebut luarbiasa hancurnya. Tidak layak dilewati untuk ukuran negara
yang sudah merdeka lebih dari tujuh puluh tahun. Saya sering ngomel dalam hati
karena jangankan kendaraan roda empat, roda dua saja ngos-ngosan dan merinding
untuk melewati jalur tersebut. Sudah terlalu
banyak korban baik luka maupun jiwa karena kecelakaan di jalan tersebut.
Andaikata Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-36 Herman
Willem Daendels yang membangun De Grote
Postweg (Jalan Raya Pos) yang menghubungkan Anyer (Banten) sampai Panarukan
(Jawa Timur) di sepanjang wilayah utara pulau Jawa sejauh 1.000 kilometer pada
1808 sampai 1810 atau cucu cicitnya jalan-jalan di rute ini, maka mereka pasti
tertawa terkencing-kencing melihat kinerja pejabat di dua kabupaten ini yaitu
Tangerang dan Bogor. Bagaimana tidak? Kalau Daendels membangun dengan tangan
besi namun hasilnya dinikmati dan disyukuri oleh bangsa ini hingga beribu tahun
ke depan, tapi dua bupati di kabupaten ini yang memerintah sambil tebar senyum
dan gombal janji saat kampanye, mengurus jalan yang begitu vital saja tidak
becus. Memang yang saya dengar bupati yang mengurusi wilayah Parung itu paling
rajin ber safari Jumat menyambangi tempat-tempat ibadah sebagai kamuflase dan
ternyata terbukti karena akhirnya parkir di tahanan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) sedangkan yang satunya lagi waktu kampanye sibuknya
menyelenggarakan turnamen bola dan keasyikan terus bikin turnamen kejuaraan
sepak bola antar kampung sebagai bukti keberhasilan program-programnya, dan
tentunya tidak lupa memajang spanduk ukuran 3x5 meter dengan potret diri ukuran
besar yang tersenyum puas mendominasi spanduk-spanduk tersebut di tiap lapangan
bola tempat penyelenggaraan kejuaraan antar kampung, yang sampai dunia kiamat
pun tidak akan pernah bisa menghasilkan pemain yang bisa minimal tampil di tim
nasional, apalagi di kancah piala dunia. Mungkin mereka tidak tahu atau tidak
mau tahu, kalau sudah terlalu banyak cucuran air mata dari korban maupun
keluarga korban kecelakaan di jalur maut ini. Mungkin karena di perbatasan ke
dua wilayah, maka para pimpinan daerah ini saling lempar tanggung jawab.
Padahal kalau mereka mengerjakan pada bagian masing-masing saja, tentunya tidak
perlu saya repot-repot menuliskan kondisi jalan tersebut di Filosofi Motor kali
ini.
Heran, otak penjajah kok justru lebih manfaat
dibandingkan otak anak bangsa yang lebih kental mudaratnya. Doa saya, semoga
Presiden Jokowi yang pro rakyat, sekali waktu kesasar dari istana Bogor hendak
ke kawasan Karawachi milik konglomerat keluarga Riyadi melewati jalur ini.
Supaya mata beliau dan hati sang konglomerat bisa terpecut dan eling untuk
membereskan wilayah antah berantah ini.
Mari kembali kita ikuti kisahan jalur jalan yang biasa
saya lewati kalau ke gereja. Selepas dari kecamatan Legok, jalur jalan langsung
memasuki jalan Parung Panjang. Sebelum SMP Negeri 1 Parung Panjang ada satu
jembatan yang luarbiasa parah keadaan jalannya. Ini jalur yang paling banyak
memakan korban. Jalanan sebelum dan sesudah melewati jembatan untuk dilalui
oleh kaki saja sudah sulit, apalagi kendaraan bermotor.
Tepat di Simpang
ke kiri sebelum SMPN 1 tersebut, terbentang jalan Konblok yang dibangun oleh pengembang perumahan. Andai saja tidak
ada perumahan dijamin kerbau sekalipun ogah hilir mudik di jalur tersebut.
Jalan Konblok ini hanya bagus sampai
kurang lebih 1 kilometer ke dalam. Selebihnya, hancur tidak karuan. Saya kadang
takjub dengan masyarakat di sana yang masih bisa bertahan waras dengan jalan
seperti itu. Atau mungkin mereka sudah mati rasa, karena kalaupun mau
teriak-teriak demo, percuma saja mendemo bupatinya yang lagi melamun
cengar-cengir di penjara KPK. Bupati penggantipun mungkin juga tidak tahu kalau
wilayah ini ada di wilayah tanggung jawabnya. Andaikanlah pilar-pilar megah
yang berdiri angkuh di jalan masuk ke kawasan pemerintahan kabupaten Bogor di
Cibinong itu bisa dijual dan uangnya dipakai untuk membangun jalan di kawasan
perbatasan ini, saya rela jadi volunteer
untuk ikut serta memperbaiki jalan ini.
Melewati satu kilometer ke dalam, selanjutnya kita akan
disuguhi jalan porak-poranda karena dari lebarnya yang kurang lebih lima meter,
jalan ini terdiri dari batu, pasir, tanah, lubang yang jadi kubangan bila hujan
dan pecahan-pecahan aspal yang teraduk sempurna membentang merana berkilo-kilo
meter ke arah yang saya sendiri malas untuk membayangkan apalagi menjalaninya.
Di kanan kiri jalan yang termutilasi ini ada sisa aspal antara 20 sampai 30 cm
yang agak utuh di beberapa tempat yang cukup dilalui roda motor. Dalam versi
bumi, jalan ini bagaikan Siratal mustakim
tapi belum setipis rambut dibelah tujuh, melainkan jalan tipis hasil
belahan dari badan jalan yang hancur. Terkadang ada bagian patahan juga
gundukan bekas polisi tidur sehingga
bila melewatinya harus pelan karena kecepatan 20 km/jam saja bisa menghempaskan
motor kebagian luar jalan yang berupa parit, pekarangan ataupun sawah, atau ke
bagian badan jalan yang mengalahkan Grand
Canyon dari sudut konturnya.
Bayangkan bila melewati jalur sempit ini saat hujan dan
atau malam apalagi jika harus berboncengan. Seorang Valentino Rossi pun tidak
akan berani menggeber dengan kecepatan 30 km/jam. Diperlukan kesabaran,
ketelitian dan kekuatan hati yang ekstra untuk melalui jalur sepanjang 500
meter-an ini sebelum masuk ke perumahan Griya Parung Panjang yang sama
berantakan jalan-jalannya dari ujung ke ujung.
Melewati jalan inilah yang ingin saya tekankan sesuai
dengan judul Filosofi Motor 3 kali ini. Jika anda diperhadapkan dengan dua
pilihan, tentunya yang terbaiklah yang akan dipilih, kan? Nah untuk jalan ini,
pilihannya adalah yang ter’”lumayan” dari dua alternatif terburuk. Di dalamnya
sama sekali tidak ada yang baik. Kekhawatiran sering melanda pikiran saat
melewati jalur ini. Apalagi kalau sedang atau sehabis hujan dan di malam hari
pula.
Seluruh kemampuan bermotor yang telah diperoleh
sepanjang lebih dari 30 tahun dikerahkan habis-habisan. Pihak kepolisian
seharusnya tidak perlu lagi menguji para premotor yang melalui jalur ini jika
hendak mendapatkan SIM C. Bahkan seharusnya SIM C yang diberikan harus diberi
tanda dua plus, sehingga di kartu SIM terpampang tulisan SIM C++ sebagai apresiasi atas kemahiran bermotor ini.
Demikian pula kepada produsen motor seperti Honda, Yamaha atau Suzuki diberikan
tanda penghargaan dari Bupati Bogor sebagai apresiasi atas ketangguhan
motor-motor mereka melewati jalur ini sekaligus sebagai kompensasi menutupi rasa
malu karena ketidak becusan mengurusi hal sepele seperti ini di wilayah
pemerintahannya.
Beberapa kali saya hampir terjatuh ketika melewati jalur
sempit tersebut. Biasanya hal tersebut terjadi kalau saya sudah khawatir duluan
ketika memasuki lintasannya. Kekhawatiran tersebut mempengaruhi syaraf-syaraf
keseimbangan dan keluwesan tangan dalam mengendalikan stang motor. Semakin saya
khawatir, semakin oleng lajunya motor. Di saat yang demikian saya biasanya
mengalihkan pikiran ke hal-hal lain atau mencoba bersenandung, dan ini terbukti
manjur. Paling buruk yang pernah terjadi cuma terhempasnya motor ke badan jalan
dan tidak sampai terjatuh. Dari pengalaman ini saya mendapatkan pembelajaran
bahwa khawatir bisa ditohok dengan MENGALIHKAN PIKIRAN kepada hal-hal yang
baik, manis, sedap di dengar atau sama sekali tidak fokus dengan masalah yang
mungkin dapat terjadi di jalur tersebut. BERSENANDUNG memuji Yang Maha Kuasa
juga sangat efektif menohok kekhawatiran akan jatuh. Hati yang tenang dan
nyaman melonggarkan tiap urat syaraf keseimbangan dan meluweskan otot tangan
dalam mengendalikan lajunya motor. Kehebatan kata-kata kudus berikut ini
benar-benar nyata untuk menohok kekhawatiran. Bunyinya: “Jadi akhirnya,
saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua
yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut
kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu” (Filipi 4 : 8).
Kekhawatiran adalah manusiawi dan semua manusia pasti
pernah mengalaminya. Orang sekaliber raja Daud saja pernah khawatir (Mazmur 13
: 3), demikian pula mereka yang sibuk dalam pelayanan seperti Marta yang sibuk
melayani Kristus dan para murid ketika datang ke rumahnya (Lukas 10 : 41), sementara
para rasul-pun diberi peringatan oleh Sang Mesias supaya jangan khawatir akan
kehidupan ini (Lukas 12 : 22), bahkan Paulus penulis sebagian besar kitab
Perjanjian baru dan yang memberikan senjata untuk menohok khawatir yaitu dengan
bersyukur sebagaimana yang tercantum di atas, tanpa tedeng aling menyatakan
bahwa diapun juga memiliki kekhawatiran bahkan diungkapkannya secara tertulis
dalam 2 Korintus 12 : 20-21, Galatia 4 : 11 dan juga 1 Tesalonika 3 : 5.
Menohok Khawatir dengan menggunakan formula sebagaimana
yang telah dikisahkan di atas, dipastikan tidak dapat langsung mencapai hasil
optimal. Diperlukan pelatihan diri yang intens dan berkelanjutan sepanjang
hidup. Oleh karena itu, jika menghadapi suatu keadaan yang serta merta
melahirkan kekhawatiran, sambutlah dengan senyum iman yang paling manis.
Pandanglah kekhawatiran tersebut sebagai ajang pertandingan bahkan peperangan
yang harus anda hadapi. Jangan lari daripadanya dan selalu siapkan senjata
pamungkas, agar tohokan langsung mematikannya.
Akhirnya sebelum anda bosan membaca tulisan ini karena
kepanjangan atau karena mata anda mulai berdenyut nyeri ataupun kepala
perlahan-lahan mengalami ekskalasi pening, maka mari kita sudahi dengan memahat
kalimat berikut ini dalam memori dan iman anda: “Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-NYA, sebab IA yang memelihara
kamu” (1 Petrus 5 : 7). Tuhan Yesus Memberkati.
*SP*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar