Translate

Selasa, 26 April 2016

FILOSOFI MOTOR 3: MENOHOK KHAWATIR SAOR R.S.S.S. PANJAITAN



FILOSOFI MOTOR 3: MENOHOK
SAOR R.S.S.S. PANJAITAN



Ada satu kata yang begitu akrab bahkan intim dalam pikiran manusia. Kata ini abstrak namun efeknya menguras energi dan daya nalar manusia. Bahkan saking supernya kata ini, sampai-sampai Sang Pemberi akal budipun mengulasnya di kitab suci. Suatu ulasan yang detail disertai contoh bahkan sanksi bila dilanggar. Kata itu adalah Khawatir.

Khawatir adalah suatu bentuk perasaan takut atau gelisah akan sesuatu yang sesungguhnya sama sekali belum terjadi. Masalah utama dari perasaan ini adalah bahwa peristiwanya belum terjadi!
Khawatir dikonsumsi dengan rakus oleh semua kalangan. Tidak peduli anda sekaliber Adolf Hitler sang sutradara Perang Dunia kedua yang sangat ditakuti oleh orang Yahudi, namun ironinya Hitler sendiri khawatir Yahudi menguasai Jerman, ataupun raja pop Michael Jackson yang selalu khawatir hidungnya terlihat jelek sehingga berkali-kali dimodifikasi.
Khawatir tidak mengenal usia. Mulai dari anak-anak yang selalu khawatir bila mainannya diambil temannya, sampai nenek-nenek renta yang stress berat karena khawatir digusur dari gubuk kumuhnya yang ilegal menempati lahan negara di kawasan Penjaringan Jakarta Utara.

Khawatirpun tidak mengenal etnis. Si Poltak Panjaitan selalu khawatir dicap tidak beradat dan oleh karena itu dia berusaha menghadiri semua acara adat yang dilakukan oleh keluarga-keluarga yang mengklaim punya hubungan peradatan dengannya, seperti acara perkumpulan satu marga, marga dari istrinya, marga dari ibu kandungnya, marga dari ibu kandung bapaknya, marga dari tulang (paman) istrinya, teman satu kampung, saudara dari satu opung tertentu, kelahiran, pernikahan, kematian sampai urusan memindahkan tulang belulang dari nenek moyang semua harus dikejar dan dihadiri sekalipun mengabaikan golden time dengan anak istri. Berbeda kalau soal ibadah ke gereja, sekali-sekali menurutnya tidak apa-apalah bila tidak datang, toh Tuhan-kan maha pemaaf, sedangkan manusia yang mengundangnya tidak akan memaafkan jika dia tidak hadir dalam acara adat yang dilakukan.
Demikian pula dengan si Asiong, sarjana cum laude jurusan Astro Fisika Institut Teknologi Bandung, stress berat karena terlalu khawatir tidak bakalan dapat menikahi si Ponirah yang asli Jawa dari Brebes, karena papi dan maminya yang asli Singkawang hanya akan memberikan restu jika Asiong menikahi perempuan Cina seperti si Melan yang cuma tamat SMP dan sedikit budek, tapi adalah putri satu-satunya Koh Lie Foe Huan pedagang sembako di tempat maminya Asiong biasa ngutang beras.

Khawatir juga terlalu sering membonceng pikiran kemanapun saya pergi bermotor terutama saat jalan licin, rusak parah, macet, sampai masalah jarum penunjuk bahan bakar sudah melewati garis merah. Begitu rajinnya khawatir menyapa pikiran sampai-sampai tidak tersisa lagi ruang buat logika untuk beradu argumen, bahkan konyolnya terkadang menggoyah singgasana iman yang sebelumnya sudah menancap kuat dalam perjalanan hidup.

Bahkan saya curiga, jangan-jangan dulu waktu di kandungan Mama, khawatir
sudah menggerayangi pikiran saya selaku janin yang cemas akan dilahirkan di sebuah keluarga prajurit rendahan, dengan gaji pas-pasan yang untuk beli susu formula saja harus cashbon dulu dari koperasi Batalyon, yang pembayarannya dicicil dengan pemotongan gaji Bapak tiap bulannya. Kekhawatiran yang membuat mama saya sering kontraksi karena janinnya kebanyakan bergetar stress dan ketika dilahirkan normal di rumah sakit tentara DKT (Dinas Kesehatan Tentara) Bogor (sekarang RS. Salak) ternyata leher saya terlilit tali ari sebanyak 2 lingkaran. Apakah ada hubungannya? Sungguh lebay kan efek dari kekhawatiran itu!

Dulu waktu masih makan bangku kuliahan, saya juga selalu resah dan gelisah bila memasuki akhir pekan. Pasalnya, terlalu bosan kamar kost saya menampung jiwa raga yang merana menjerit lirih karena belum juga punya pacar! Sebenarnya waktu itu mudah bagi saya untuk memikat lawan jenis karena menurut kebanyakan anak kost -minimal kata mama saya-, tampang saya di atas rata-rata, dan sebagai anak kuliahan di perguruan tinggi negeri tentunya otak saya terklasifikasi encer. Saya juga lumayan jago main gitar dan fasih melantunkan tembang-tembang sekelas Kla-Project sampai The Beatles. Lumayanlah kalau sekedar bersaing dengan anak muda kota Medan yang jago nyanyi karena mendapat pendidikan dan pelatihan di “Akademi Lapo Tuak” setiap malam. Saya juga piawai menyusun kalimat-kalimat sastra yang memerah jambukan dunia cinta anak muda. Selain itu, asal muasal saya yang dari kota kecil di kabupaten Bogor tentunya dapat menjadi daya tarik tersendiri karena bagi orang Medan siapapun yang berasal dari Pulau Jawa, semuanya dianggap mereka dari Jakarta! Dengan berbagai latar belakang tersebut bukankah itu menjadi daya tarik yang menggemaskan bagi para perempuan di Medan?
Tapi saya terlalu khawatir berlebihan termakan isu yang menyebar bagai kanker di kota Medan, bahwa para Butet disana tidak akan sudi melirik pejantan kere jika tidak memakai “Ajian Pelet Jepang!” Nah loh, apa pulak itu maksudnya?
Sudah menjadi rahasia umum di Medan jika anak muda mau pedekate harus memakai “Pelet Jepang”, suatu istilah yang digunakan untuk menyebut sepeda motor. Jadi bila anda anak muda, lumayan ganteng, otak encer tapi kemana-mana hanya menggunakan GL-Pro (Goyang Lutut Profesional alias jalan kaki) maka persentase keberhasilan menggaet si Butet akan meluncur deras terhempas ke nilai terendah.

Inilah bentuk kekhawatiran yang membuat saya sering nyengir imut-imut sendirian sekarang ini, karena ternyata sekalipun tidak pakai “Ajian Pelet Jepang” toh saya berhasil memikat seorang Butet dari Medan yang sangat cantik, berpendidikan tinggi dari keluarga terhormat yang faktanya punya nilai idealisme tinggi dan sejati soal asmara yang dalam implementasinya benar-benar anti pelet Jepang itu!

Suatu bukti nyata dan sahih akan kebenaran formula Illahi dalam mencari jodoh yang berbunyi: “…..tetapi baginya sendiri ia tidak menjumpai penolong yang sepadan dengan dia. Lalu TUHAN ALLAH membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur, TUHAN ALLAH mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. Dan dari rusuk yang diambil TUHAN ALLAH dari manusia itu, dibangun-NYAlah seorang perempuan lalu dibawa-NYA kepada manusia itu” (Kejadian 2 : 20b – 22).
Maka hai para Jombloers, TOHOKLAH KHAWATIR itu, karena Adam yang tidur dan tidak melakukan pedekate alias manuver apapun, ternyata disediakan bahkan diantar sendiri jodoh untuknya! Yang penting Yakin Bro!

Tapi tunggu dulu, sebelum lebih jauh Filosofi Motor 3 ini berpetualang dengan kalimat-kalimatnya, saya tiba-tiba tersadar akan penggunaan kata Khawatir ini. Adakah sama dalam pikiran anda seperti apa yang saya pikirkan, yaitu sebenarnya mana yang benar untuk digunakan: khawatir, Kuatir, atau Kawatir?
Taruhlah bukan hujatan tapi cuma kritikan. Nah, kalau cuma kritikan rasanya oke-oke sajalah, karna baik materi maupun teknis penulisan yang disampaikan sarat dengan peluang untuk dikritik habis-habisan.

Saya setuju sekali dengan apa yang pernah dikatakan oleh profesor yang juga penyair Henry Wadsworth Longfellow tentang kritik. Katanya: “Kekuatan kritik terletak pada kelemahan dari hal yang dikritik.” Karena saya memang penuh dengan kelemahan, maka wajar-wajar saja kalau hujan kritik baik berupa gerimis sampai yang lebat bahkan berwujud badai akan mengguyur saya.
Kalau tidak mau dikritik berarti tidak mau diperbaiki dan sungguh munafiklah saya ketika menjabarkan makna filosofi yang berusaha mencapai dan mencintai kebenaran di bagian pertama serial filosofi ini, namun cuma karena kritik yang sebenarnya dapat menuai berbagai kebenaran dari pembaca, saya menampiknya.

Kalau memang alergi pada kritik, maka telanlah kata-kata dari penulis, artis sekaligus filsuf kelahiran Illinois Amerika Serikat Elbert Green Hubbard ini: “Agar tidak dikritik, jangan berbuat apa-apa, jangan berkata apa-apa, dan jangan menjadi orang yang berguna!”

Kritik adalah Nasihat dan didikan yang berotot dan bergigi dalam penyampaiannya. Ibarat jenis suara, kalau nasihat dan didikan adalah alto maka kritik adalah tenor yang terkesan tinggi dan keras. Ibarat sosok, nasihat dan didikan adalah Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Retno Marsudi, sedangkan kritik adalah Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Baik Kritik, nasihat dan didikan Ketiganya adalah kembar identik karena sangat dibutuhkan dan bagaikan pelangi kehidupan yang menuntun kepada kebijakan hidup. Sungguh berkilau kalimat bijak Illahi yang berbunyi: “Dengarkanlah nasihat dan terimalah didikan, supaya engkau menjadi bijak di masa depan!” (Amsal 19 : 20). Juga perhatikanlah kata-kata yang ditujukan kepada rohaniwan muda Timotius yang diberikan oleh mentornya: “Tujuan nasihat itu ialah kasih yang timbul dari hati yang suci, dari hati nurani yang murni dan dari iman yang tulus ikhlas” (1 Timotius 1 : 5). Jadi jika anda mengkritik semua serial filosofi ini, berarti anda sedang menasihati, mendidik dan mengasihi saya dari hati yang suci dan murni dengan tulus ikhlas.
Kembali ke masalah tiga kata yang mirip untuk membangun judul serial ini, maka demi mendapatkan kebenaran –sesuatu yang saya sudah gembar-gemborkan dalam Filosofi Motor 1: Sebuah Pengantar- saya bersegera membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008. Setelah saya telusuri, ketiga kata tersebut ternyata dicantumkan, namun penjelasan akan maknanya diuraikan pada kata Khawatir. Kata kuatir dan kawatir sendiri tidak menguraikan penjelasan apapun hanya diberi tanda panah yang menunjuk atau mengarahkan kepada kata Khawatir. Jadi tidak salah jika saya menggunakan kata Khawatir untuk seluruh tulisan ini kecuali untuk kutipan kata-kata Illahi, saya menggunakan kata Kuatir karena memang kata itulah yang digunakan oleh Lembaga Alkitab Indonesia.

Sekarang, mari kita melangkah ke persoalan berikutnya. Sesuai dengan jati dirinya, manusia senantiasa pandai mencari-cari persoalan (kasarnya: “Kesalahan”) pada apapun yang belum, sedikit atau bahkan telah banyak diketahui tentang sesuatu. Termasuk juga picingan mata menyelidik dan garukan pada otak intelektualitas pembaca, tentang penggunaan kata “Menohok” pada judul serial kali ini. Untuk menjinakkan liarnya argumen yang tidak perlu atas satu kata yang tidak bersalah, maka ijinkan saya mengungkapkan makna dan alasan pemilihan kata “Menohok” didepan kata Khawatir.
Saya sengaja memakai kata “Menohok” awalnya demi mengguncang rasa penasaran pembaca akan Filosofi Motor 3 ini. Setelah saya renungkan dengan mendalam, rasanya akan jauh lebih spektakuler digunakan kata “Menohok” sebagai rekanan kata “Khawatir” ketimbang kata-kata: Jangan, Menyingkirkan, Menghalau, Mengatasi, Mengentaskan, Membuang, dan lain-lain yang dapat mengesankan pembaca untuk memposisikan saya sebagai rabbi tua berjenggot atau praktisi konsultan masalah kejiwaan di berbagai rumah sakit jiwa ataupun juga para Professor di Department of Psychological Universitas sekaliber Harvard.

Mudah-mudahan pembaca setuju dengan penggunaan kata Menohok ini karena disadari atau tidak, sebenarnya belum banyak orang tahu arti kata Menohok itu sendiri. Nah, kalau belum tahu, silahkan lanjutkan membaca Filosofi Motor 3 ini.
Menohok dalam kamus Bahasa Indonesia berarti menusuk miring (dengan lembing, tombak). Menusuk dilakukan dengan melemparkan alat penusuk kearah bawah. Seperti perburuan ikan Paus oleh nelayan tradisional, maka menohok ini dimaksudkan adalah untuk menangkap dan mematikan buruannya. Jadi Menohok Khawatir diartikan secara ekstrim adalah untuk menusuk/mematikan kekhawatiran sehingga terjadi penaklukan dan penguasaan total atasnya.

Sampai di sini terlebih dahulu saya harus melakukan klarifikasi bahwa Filosofi Motor 3 ini bukanlah ajang untuk berteori ataupun menawarkan berbagai solusi bagaimana Menohok Khawatir. Saya hanya mencoba menceritakan pengalaman hidup yang melintas, menggaung, bahkan mengendap dalam pikiran ketika berada di atas jok motor yang sedang melaju. Sekali lagi saya ingatkan sebagaimana yang sudah dituturkan dalam Filosofi Motor 1 bahwa cara pengisahan adalah dengan menggunakan pisau bedah dan kaca pembesar filsafat, hikmat manusiawi dan terutama hikmat sorgawi, untuk mempertegas dan memperdalam makna sehingga diperolehlah kemanfaatan yang holistik dan murni, setidaknya menurut saya.
Khawatir pertama yang terjauh dan masih dapat diingat dari masa lalu saya adalah ketika pertama kali masuk sekolah dasar katolik di Cibinong. Di hari pertama sekolah, mama mengantar dan ketika disuruh berbaris untuk masuk kelas, saya tidak mau bahkan menangis karena khawatir akan ditinggalkan mama. Bayangkan, anak lelaki sulung dari prajurit ABRI yang tinggal di Asrama militer menangis ketakutan untuk masuk sekolah dan ditinggal pulang sama Mamanya. Pada hari kedua sekolah lebih parah lagi. Mungkin karena khawatir ruang kelas itu akan membantai saya seperti kamp konsentrasi NAZI Jerman di Auswitch, hari itu saya ngompol di celana! Suatu pengalaman trauma kejiwaan sebagai buah dari kekhawatiran anak usia 5 tahun yang memori otaknya saja belum terisi seperseratusnya. Karena peristiwa tersebut, terpaksa Mama menunggui saya sekolah selama satu minggu.


Setelah satu minggu barulah saya berani berangkat dan pulang sendirian dengan menggunakan becak langganan yang dikemudikan oleh Bang Udin seorang pria paruh baya yang bangga akan profesinya sebagai tukang becak dan dengan penuh tekad serta kesetiaan pada profesi, melakoni kayuh mengayuh kendaraan roda tiga itu seumur hidupnya. Baginya yang penting eksis sekalipun kebanyakan pembayaran ongkos becaknya dihutangi oleh Mama.
Sekali waktu ketika duduk di kelas 4 SD, saya terburu-buru pergi ke sekolah tanpa sarapan istimewa seperti biasanya (Jenis sarapan silahkan lihat di Filosofi Motor 2: Belajar Bermotor) karena khawatir terlambat. Perlu diketahui bahwa asrama tempat tinggal kami, masih masuk ke dalam wilayah Bogor yang bergelar kota hujan sehingga lumayan adem apalagi di malam hari, dan air PAM super dingin yang mengalir melewati pipa kecil karatan yang disambung dari pipa berdiameter 2 cm-an dari tempat mandi bersama yang terletak di belakang barak perumahan dan digunakan untuk 7 rumah yang dibuat dengan menyekat barak panjang tersebut. Pagi itu terjadilah kembali peristiwa yang sulit untuk saya pastikan apakah memalukan, menyenangkan atau menggemaskan?

Pagi itu di sekolah, saya yang kurus dengan leher panjang laksana angsa – istilah yang selalu dilontarkan Bapak ketika marah bercampur prihatin setiap tersadar ketika melihat bentuk badan saya – mendadak terjadi penambahan besar badan hanya di bagian perut yang bukan dikarenakan perbaikan gizi melainkan dikarenakan kembung belum sarapan.
Tidak menunggu lama, dalam tempo satu jam, akhirnya angin yang menggeliat liar  di perut itu, memaksa melontarkan diri sekaligus membawa serta hasil olahan lambung terhadap makanan yang dikonsumsi malam sebelumnya. Muntahan yang memalukan karena selain banyak dan encer, materinya pun jauh dari standar kesehatan perorangan yang ditetapkan oleh WHO. Melihat saya muntah dan tidak berdaya, seorang kakak kelas dari SMP membawa saya ke ruangan kepala sekolah dan bertemu dengan suster Anna yang cantik, putih dan bersih dibalut seragam biarawatinya yang sangat saya hormati karena kelembutan dan kewibawaannya. Karena figur suster Anna inilah saya jadi mudah membayangkan dan meyakini kecantikan sosok Nona Anna yang dinyanyikan dengan sepenuh jiwa oleh penyanyi Ambon Ade Manuhuttu yang meledak terkenal di tahun tujuh puluhan.

Sebagai suster yang merangkap sebagai kepala sekolah, tidak perlu terlebih dahulu konsultasi ke dokter atau membaca buku panduan kesehatan untuk memastikan apa yang terjadi denganku. Beliau mahfum dan tentu memori otaknya langsung terkoneksi dengan logika untuk kemudian menyimpulkan siswa kere agak kehitaman dan kurus ini pasti belum sarapan pagi. Setelah diberi minum air putih hangat, beliau membawakan sepiring nasi hangat dengan sayur, telor dadar dan tempe tahu sebagai aksesorinya. Pucuk dicinta ulam tiba! Menu yang termasuk high class untuk keluarga kami ini, langsung tandas tanpa sisa dan segera saya pulih kembali untuk kemudian diijinkan pulang lebih cepat sambil diantar menyeberang jalan oleh kakak kelas tadi.
Peristiwa yang dipicu oleh kekhawatiran terlambat masuk sekolah itu sebenarnya sering terjadi. Sebetulnya jika saya sekolah di sekolah dasar negeri mungkin kekhawatiran sejenis jarang terjadi karena dari yang saya dengar di SDN di seputar  wilayah kami, masuk sekolah adalah pukul 08.00 dan untuk setingkat saya biasanya jam 10.00 sudah pulang.
Berbeda dengan sekolahku yang kinclong dan mahal ini, jam masuk sekolah adalah pukul 07.00. Jika terlambat 10 detik saja, maka serta merta Satpam langsung menutup gerbang sekolah. Untuk bisa masuk diperlukan ijin khusus yang ditandai dengan selembar surat sebagai passport dari guru piket dan apabila berulang sampai tiga kali maka orang tua akan dipanggil ke sekolah. Jam sekolah berakhir pada pukul 13.00.
Begitu disiplin dan padatnya pembelajaran di sekolahku sampai-sampai jika ada guru yang berhalangan hadir untuk mengajar dikarenakan sakit atau masalah lainnya, maka pasti selalu tersedia guru pengganti di jam pelajaran tersebut. Sesuatu yang tidak bisa membuat kami berhura-hura karena guru tidak masuk, sebagaimana yang dialami oleh teman-teman di SDN yang bebas tidak belajar jika tidak ada guru, dan senantiasa dengan bangga diceritakan kepadaku sebagai suatu keunggulan dari sekolah teman-teman tersebut.

Sekolah Dasar Katolik kami juga biasa mengadakan senam kesegaran jasmani sebelum memulai jam pelajaran. Biasanya senam ini dilakukan seminggu sekali. Semua murid dari kelas 1 sampai 6 wajib mengikuti senam ini dipelataran depan sekolah yang cukup luas. Setelah senam biasanya para murid langsung bergegas lari beramai-ramai menuju kelas masing-masing. Sekali waktu ketika saya duduk di kelas 5, selesai senam kami bergegas lari berebutan lebih cepat untuk masuk kelas.
Menjelang beberapa meter dari pintu kelas, seorang teman bernama Helmy, anak perwira dari AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia) Cilangkap terjatuh dan keningnya menghantam lantai. Akibat dari jatuh tersebut, di jidat sebelah kirinya muncul daging tambahan berupa benjol kebiruan yang lumayan besar. Helmy menangis kesakitan karena benjol dan malu. Setiba di kelas guru menanyakan mengapa kepalanya benjol. Saya tidak tahu ketika itu siapa yang memberitahu ke guru tentang kejatuhan Helmy dan dikatakan karena saya menyengkal kakinya sehingga dia terjatuh. Tanpa mencoba mencari penyebab yang sebenarnya, Pak Subagyo yang wali kelas saya, langsung menjatuhkan hukuman yang bagi anak-anak seusia saya saat itu sungguh sangat mengerikan dan memalukan, tapi bila di bangku SMA tentu sangat saya harapkan.

Saya dihukum duduk di bangku paling depan, tapi diapit diantara 2 siswi. Waktu itu memang bangku belajar berupa sebuah papan panjang yang juga menyatu dengan mejanya. Kedua siswi itu sebenarnya adalah siswi-siswi ter-kece di kelas kami. Salah satunya bernama Tenny yang baru bergabung dengan sekolah sebagai murid baru pindahan di kelas 4. Anaknya cakep, rambutnya kemerah-merahan jagung karena mungkin ada darah Londo-nya. Satunya lagi kalau tidak salah bernama Lidya. Bidadari cilik yang kalem dengan topografi wajah oriental namun kulitnya tidak sekuning gading. Yang saya ingat dari teman yang satu ini adalah senyum ramahnya dan sangat kalem. Cocok kalau disangka putri kraton dengan gelar Kanjeng Ratu Ayu.
Tapi memang dasar anak tentara miskin, saya merasa hukuman itu begitu sangat menyiksa dan memalukan. Saya khawatir kedua anak kaya di kanan kiri ini akan mencium bau tidak sedap, minimal dari pakaian lusuhku yang tiap harinya cuma mampu dicuci dengan sabun batangan ber-merk B-29, yang biasa diiklankan di TV oleh artis gendut bernama Ratmi B-29. Andaikanlah saat itu saya sudah tahu ada kalimat bijak yang mengatakan: “Dan mengapa kamu kuatir akan pakaian? Perhatikanlah bunga bakung di ladang, yang tumbuh tanpa bekerja dan tanpa memintal” (Matius 6 : 28), pasti pakaian lusuh bukan penghalang pikiran saya untuk tetap pede seperti Raja Salomo, raja terkaya yang pernah ada di muka bumi ini, yang justru digambarkan bahwa dalam kemegahannya tidak berpakaian seindah salah satu dari bunga bakung itu (Matius 6 : 29).

Sabun mandipun dari yang termurah, kalau tidak Lux atau Lifebuoy dan sering juga tidak pakai sabun karena tidak mampu beli sabun atau malas pakai sabun. Belum lagi soal menyikat gigi. Sikat gigi kami biasanya dari kelas yang paling murah dan karenanya bulu sikatnya keras laksana kawat. Sedangkan odol dibeli jika Bapak baru gajian dan biasanya ber merk Pepsodent dari jenis yang termurah. Tapi soal sikatan gigi pakai odol, 3 kali seminggu rasanya sudah bagus. Tidak heran kami anak-anak kolong variasi warna giginya biasanya lebih indah karena kebanyakan didominasi dengan warna kuning plus plak-plak diseputar gusi. Tapi memang seingat saya, jarang sekali mulut kami tercium bau tak sedap. Mungkin kemurahan Yang Maha Kuasa meminimalisirkan rantai penderitaan kami. Kondisi kebersihan badan seperti inilah yang membuat saya khawatir berada diantara dua bidadari kece ditambah perlengkapan sekolah berupa buku dan alat tulis yang minim dan murahan.

Satu lagi yang membuat saya khawatir dengan penampilan diri adalah efek dari olokan teman perempuan bernama Yanthi. Dia sering meledek saya dengan panggilan si Tonggos. Memang saat itu dua gigi depan atas terlihat lebih besar dari lainnya dan posisinya agak sedikit lebih menjorok ke depan sehingga tidak heran jika Yanthi memanggilku dengan si Tonggos. Bahkan dia ‘memuji’ saya dengan mengatakan bahwa gigi saya tidak kalah hebat dengan gigi kelinci. Karena ejekan ini, saya jadi lebih sering bercermin memandangi dengan pilu kedua gigi tersebut. Bahkan dengan konyolnya sering menekan-nekannya agar bersedia untuk sedikit mundur sehingga sekalipun menonjol lebih besar dari gigi lainnya namun jika barisannya rata bukankah agak sedikit mengurangi aib? Pikirku, betapa kelamnya dunia asmaraku di masa depan karena pertumbuhan hyperactive dari gigi masa kanak-kanak ini. Kekhawatiran yang tak terbukti sedikitpun karena pada 1993 teman kostku Robin Simanjuntak dari fakultas kedokteran gigi mengatakan, bahwa gigiku memiliki warna yang bagus dan sehat serta ukuran dan posisi yang perfect dari sudut dunia per-gigi-an!
Ternyata memang benar sekali apa yang disabdakan oleh Rabbi agung dahulu di sebuah bukit, tanyanya: “Siapakah di antara kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya?” (Matius 6 : 27).  Jangankan sehasta (+ 45cm) jalan hidup, memundurkan gigi 0,5 cm kebelakang saja saya tidak bisa. Mensyukuri apa yang ada dan sudah terjadi, disadari atau tidak, sebenarnya jadi solusi mujarab menjawab kekhawatiran. Pada bagian ini kita mendapatkan senjata untuk menohok khawatir yaitu BERSYUKUR.

Jitu sekali Sang Khalik mengilhamkan kepada tokoh kontroversial kelahiran Tarsus yaitu Paulus, resep mujarab menohok khawatir yang didokumentasikannya berupa surat kepada orang-orang di Filipi yang berbunyi: “Janganlah kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan UCAPAN SYUKUR!” (Filipi 4 : 6).
Tapi memang kalau disuruh bersyukur rasanya sulit sekali. Logika selalu dominan memainkan peran. Mari perhatikan beberapa kenyataan sejarah berikut ini. Pada 1985 ketika tamat SMP, cukup lama saya menyesali diri tidak melanjutkan sekolah ke SMA yang sangat bagus kualitasnya di Kotamadya Bogor yaitu Regina Pacis.

Ceritanya, saya tamat SMP dengan nilai EBTANAS lumayan bagus pada saat itu yaitu 42 koma sekian. Pemberlakuan Nilai EBTANAS murni (NEM) sebagai syarat memasuki jenjang pendidikan lebih tinggi sudah diberlakukan saat itu untuk tahun yang kedua secara nasional. Tidak heran kebanyakan siswa baik SD sampai SMA nilai NEM di masa itu rendah-rendah. Untuk NEM sebesar 42, saya masuk peringkat 9 dari seluruh siswa SMP Katolik yang lulus di tahun 1985. Jadi termasuk tinggi karena kualitas SMP kami berada di papan atas baik sekolah negeri maupun swasta se kabupaten Bogor. Guru dan beberapa teman menyarankan saya untuk mendaftar ke SMA Regina Pacis karena kemungkinan besar saya pasti diterima saat itu. Ternyata benar, untuk tahun 1985, SMA Regina Pacis Bogor mensyaratkan NEM minimal 36 untuk dapat diterima, dan untuk mendaftar siswa diharuskan datang sendiri ke sekolah tersebut.

Sayangnya saya tidak pergi mendaftar karena di hari terakhir keterlambatan mendaftar itu, saya takut untuk meminta uang dari Bapak sebagai ongkos ke kota Bogor dari Cibinong. Saya cukup tahu dirilah beban Bapak dengan enam anak. Selain itu saya yakin, pasti sebagai sekolah swasta unggulan, uang sekolah dan uang tetek bengek lainnya pasti besar. Pengalaman 9 tahun dari SD sampai SMP membentuk saya menjadi pribadi yang rendah diri karena ketidak mampuan memenuhi standar minimal biaya-biaya pendidikan. Karena kekhawatiran tersebut, saya akhirnya mendaftar ke SMAN 1 Cibinong yang adalah SMA Negeri terbaik di Kabupaten Bogor.
Sebenarnya ada hal lain lagi yang akhirnya membuat saya pergi mendaftar ke SMAN 1 Cibinong. Hal lain itu berkaitan dengan hati dan perasaan “biru” campur “pink” dari seorang anak kolong miskin yang eksis di sekolah swasta mahal dan kinclong. Bukan hanya kinclong gedung sekolah, biaya pendidikan dan kurikulumnya. Ada lagi kinclong lainnya yang berkaitan dengan siswi-siswi di SMP saya.
Dari sekian banyak siswi tersebut, ada satu yang memerah-jambukan cinta monyet dari Anak Baru Gede (ABG) seperti saya. Siswi tersebut adalah adik kelas satu tingkat di bawah saya. Orangnya sangat pintar, berkaca mata, rambut pendek mengikuti style Lady Diana yang memang sangat nge-trend saat itu, berhidung mancung, kulit rada-rada sawo muda mengarah ke putih, dan orang Batak! Namanya: ……………mmmhhhh….sebaiknya tidak usah disebut kali ya? Yang pasti dia boru Batak, tapi entah bermarga (boru) Saragi atau Saragih saya sendiri nggak tahu. Nama belakangnya adalah nama buah dan nama depannya nama Batak yang bila di bahasa Indonesia-kan artinya cahaya.
Dasar cinta monyet (really?) maka apapun yang saya lihat dari dirinya, semuanya indah dan manis. Makhluk Tuhan yang indah ini juga sangat rapih dalam berseragam. Jam tangan bertali coklat di pergelangan tangan kirinya-pun terlihat pas dan manis sekali. Sepatunya selalu berwarna hitam dan terlihat bersih dengan kaos kaki putih menutupi sampai tiga perempat betisnya. Tepat di masa SMP tersebut dia pun sedang berjuang hebat melawan gejolak hormonal yang tanpa kompromi mengotori wajah manisnya dengan jerawat. Saya perhatikan jerawat-jerawat ini rajin bersilaturahmi ke wajahnya namun mungkin orang tuanya cukup mampu, sehingga terapi yang dilakukan nampaknya cukup ampuh membendung dan menghalau jerawat-jerawat nakal tersebut. Sekalipun dalam masa serangan jerawat yang sedang intensif, tapi di mata saya dia tetap …uuhhh…pokoknya Marini Sardi yang bintang iklan Lux waktu itupun rasanya lewatlah!

Sekali waktu kami pernah sama-sama ada di perpustakaan sekolah. Jangan salah, kami tidak punya janjian sama-sama ke perpustakaan atau punya minat yang sama terhadap jenis buku tertentu. Yang saya tahu, karena dia memang pintar sekali, bahkan juara kelas, tidak heran jika dia doyan membaca. Saya pun doyan membaca (biasalah, mencoba mencari kecocokan) tapi karena tak pernah dibelikan buku, maka perpustakaan adalah pemuas nafsu intelektualitas dari otak saya yang konten memorinya masih rakus menyimpan data. Tapi memang kalau dia ke perpustakaan, saya perhatikan buku-buku yang dibaca di tempat atau dipinjamnya biasanya yang cukup serius untuk anak SMP sepertinya, sedangkan saya sibuk memburu buku-buku Lucky Luke, Tin Tin dan komik wayang karya R.A. Kosasih. Semuanya masih berkisar komik.
Pada hari dimana kami ada dalam perpustakaan tersebut, saya yang selalu khawatir dengan performa diri, tentunya sudah patut diduga tidak berani sama sekali untuk bicara dengannya. Paling hebat cuma memandanginya, itupun tanpa sepengetahuannya. Mungkin di saat itulah saya baru mengerti makna leksikon dari kata “Bidadari” dan kisah tentang Joko Tarub yang sedetikpun tidak berkedip ketika menyaksikan para bidadari kurang kerjaan, yang bisa-bisanya datang ke bumi, pulau Jawa pula, hanya untuk mandi di sebuah setu, yang saya yakin tidak satupun Professor Sastra, Arkeologi maupun Geografi dari Universitas Gajah Mada tahu di mana letaknya! Yang pasti gara-gara visualitas dari optik alami manusia tersebut, membuat Joko Tarub nekad mendobrak sopan santun dan kesusilaan manusia Jawa dengan mencuri pakaian salah satu bidadari, mengawininya untuk kemudian, katanya, menurunkan raja-raja di Jawa. Nasib baik pemuda Jawa yang mendadak nekad dan happy ending namun tidak dapat menginspirasi dan memotivasi remaja Batak kere seperti saya.

Apa yang istimewa dari pertemuan tersebut? Tidak ada! Lah wong, ngobrol kagak, bertatapan mata dengan mata kagak, pinjam judul buku yang sama kagak, apalagi duduk berdampingan bersama membaca buku!
Tapi bagi saya tetap sangat istimewa karena entah disengaja atau tidak (saya yakin 1000% tidak disengaja, entahlah kalau menurut anda) saat itu saputangannya ketinggalan! Sapu tangan putih selebar 30x30 cm dengan corak bunga-bunga yang berwarna coklat muda lembut tersebut tertinggal dalam keadaan terlipat rapih. Saya langsung mengambilnya, tapi tidak mengembalikannya. Entahlah, apakah karena takut dan malu mengembalikannya atau merasa bahagia setinggi langit berhasil memiliki sesuatu darinya. Yang pasti sapu tangan itu saya simpan baik-baik didompet selama bertahun-tahun kemudian, sampai akhirnya dapat gebetan baru saat di SMA! Suatu kisah yang mirip dengan Joko Tarub, sama-sama dapat sesuatu, tapi ending-nya, yang satu menurunkan Raja-Raja Jawa, satunya lagi tetap asyik bermandi lumpur kekhawatiran akan asmara, sampai pada akhirnya berakhir juga ketika berhasil menikahi bidadari yang jauh lebih cantik dibandingkan bini-nya Joko Tarub.
Ups, maaf kepanjangan membahas Joko Tarub. Mari balik lagi ke kisah perempuan Batak tadi. Pengalaman satu-satunya pernah komunikasi dengannya adalah saat-saat terakhir di  kelas 3 SMP yaitu saat pembagian NEM. Waktu itu saya sedang berada di kelas, dan tiba-tiba dia sudah berada di pintu dan menyapa serta minta lihat NEM saya. Dia hanya bicara singkat dengan mengatakan bahwa NEM saya bagus. Wah, berbunga-bunga sekali hati ini waktu itu. Sayangnya momen berharga tersebut di penggal terakhir petualangan saya di SMP tersebut. Coba kalau peristiwa tersebut terjadi lebih awal, mungkin pengisahan bagian sejarah asmara monyet tersebut bisa lebih panjang di dokumentasikan untuk anda.

Jadi keputusan mendaftar ke SMAN 1 Cibinong sebenarnya memiliki motivasi lain, yaitu berharap sekali waktu bisa bertemu perempuan Batak yang sudah menggeliatkan romansa cinta monyet masa ABG saya karena jarak SMAN 1 dengan SMP Katolik hanya sekitar lima ratus meter-an. Sayangnya, ternyata selama di bangku SMA sampai tamat, tidak sekalipun saya pernah bertemu dengannya lagi, bahkan sampai detik ini. Belakangan ini saya tahu melalui Facebook bahwa dia ternyata kemudian melanjutkan sekolah ke SMAN 3 Jakarta dan berhasil lulus dari Universitas Indonesia serta menjadi istri dari pejabat yang berada di lingkaran satu presiden Joko Widodo.
Begitulah, rendah diri dan kekhawatiran ternyata berteman akrab, bahkan mungkin saudara kembar siam! Andaikanlah waktu itu saya sedikit punya keberanian menyatakan perasaan kepada perempuan Batak Smart itu dan berhasil membina hubungan serius, mungkin saya tidak mengajukan diri mendaftar di SMAN 1 Cibinong tapi ke SMA Regina Pacis Bogor. Loh kok bisa?

Siswi Batak yang pintar itu ternyata rumahnya tidak jauh dari SMAN 1 Cibinong. Waktu itu saya berpikir, kalau saya melanjutkan sekolah di SMAN 1 Cibinong, maka peluang untuk bisa bertemu dengannya tentu sangat besar. Tapi boro-boro mau ketemuan dekat rumah, yang tiap hari ketemu di sekolah saja saya tidak berani menyapanya. Apalagi kalau sampai ke rumahnya. Selain itu, romansa SMA rupanya mampu memikat mata dan hati saya ke lingkungan pendidikan yang baru tersebut. Kekhawatiran tidak bisa lagi bertemu dengannya musnah begitu saja dimakan waktu seiring masuknya saya ke suasana baru dengan orang-orang yang baru. Dari sini saya mendapat hikmat bahwa satu lagi cara menohok khawatir adalah membiarkannya seiring dengan waktu yang berlalu. Istilah yang sering saya gunakan untuk senjata menohok khawatir ini adalah: BIARKAN WAKTU YANG MENJAWAB.
Dalam versi Heraclitos, kelahiran Ephesus (535 – 475 SM), yang terkenal dengan julukan “Si Gelap” karena memang cukup sulit untuk menelusuri dan mengerti gerak pikirannya sehingga dianggap samar atau gelap, dalam memandang segala sesuatu yang terjadi, dia berpendapat biarkan semuanya mengalir dan berubah untuk menjadi sesuatu. Pemikiran Filsafat Heraclitos terkenal sebagai istilah “Filsafat Menjadi”. Ucapannya yang sangat terkenal adalah “Panta Rhei Kai Uden Menci” yang artinya: Segala sesuatu mengalir bagaikan arus sungai dan tidak ada seorangpun yang bisa masuk ke sungai yang sama dua kali, karena air sungai yang pertama yang mengalir membawa sesuatu tadi sudah tergantikan oleh air yang berada di belakangnya. Jadi semua terus berjalan dan berganti dari suatu keadaan menjadi keadaan yang baru demikian seterusnya. Semua yang berubah menjadi sesuatu tersebut tidak akan pernah kembali menjadi mutlak sama dengan keadaan masa lalunya dan untuk semua perubahan ini waktu lah yang mengantar dan menjawabnya.

Saya sering me-review perjalanan hidup dan menyadari ternyata seiring jalannya waktu, banyak kekhawatiran ternyata tidak memerlukan terapi apapun dan menghanyutkan diri dengan waktu yang berjalan ke depan, ternyata menjawab dan menyelesaikan semua kekhawatiran yang pernah singgah dalam hidup ini. Jadi seperti kisah jodoh yang saya tuliskan di atas, ternyata jawaban atau solusi atas kekhawatiran, otomatis diberikan oleh Sang Pencipta tubuh jiwa dan roh, atau diantarkanNYA seiring perjalanan bersama waktu dan tidak perlu repot-repot memperjuangkannya. Cukup dengan berdoa dan pasrah dalam pengharapan menuju ke masa depan.
Romansa asmara di penggalan akhir masa peralihan dari SMP ke SMA ini ternyata tidak menguap tanpa bekas dan hilang dari ingatanku. Kadang saat mengendarai motor, kenangan itu tiba-tiba melintas dalam benak. Jauh lebih kuat untuk diingat kembali ketimbang mengingat berbagai kekesalan yang terjadi di jalan dikarenakan angkot yang menghalangi jalan sehingga menyebabkan kemacetan panjang, ibu-ibu tanpa helm yang tiba-tiba memotong seenaknya dari sebelah kanan untuk berbelok ke kiri, ataupun ulah anak-anak SMP yang seenaknya main selap-selip, ngebut dengan nekad tanpa helm, jaket dan masker pelindung, ataupun mobil yang tanpa perasaan seenaknya mengebut dari arah berlawanan menghantam kubangan air sehingga membasahi sekujur tubuh. Untuk berbagai insiden ini, dalam tempo beberapa jam biasanya saya sudah tidak ingat lagi. Mungkin karena kebanyakan melamunkan masa lalu sambil mengemudikan motor, memori otak saya malas mendokumentasikan hal-hal kecil yang terjadi di sepanjang jalan. Tapi untuk kondisi jalan tertentu yang rusak parah dan harus sering dilewati biasanya saya memaksa mata dan otak ini untuk bersama bekerja keras mengidentifikasinya.

Jalan yang biasa saya gunakan untuk pergi ke gereja adalah jalan negara yang melewati dua kabupaten yang masuk kedalam dua propinsi. Saya beribadah di Gereja Methodist Indonesia Efrata di wilayah Parung Panjang Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat. Sementara saya tinggal di sebuah perumahan yang masuk ke wilayah Kabupaten Tangerang provinsi Banten. Minimal dua kali saya harus pulang pergi ke gereja dalam satu minggu baik pagi maupun malam hari jika mengikuti cell group, malam pujian dan doa ataupun kegiatan persiapan latihan-latihan untuk pelayanan mingguan.
Rute perjalanan yang ditempuh dari Jalan Raya Karawachi kearah Legok dan kemudian menyusuri jalan Parung Panjang. Jalan negara ini biasa dilewati oleh truk pengangkut pasir, truk pengangkut sembako, truk pengangkut hasil industri baik untuk kebutuhan lokal maupun ekspor sampai truk pengangkut hewan ternak. Artinya, jalan tersebut sebenarnya sangat vital bagi kegiatan ekonomi negara ini Tapi hebatnya, jalan tersebut luarbiasa hancurnya. Tidak layak dilewati untuk ukuran negara yang sudah merdeka lebih dari tujuh puluh tahun. Saya sering ngomel dalam hati karena jangankan kendaraan roda empat, roda dua saja ngos-ngosan dan merinding untuk melewati jalur tersebut. Sudah terlalu banyak korban baik luka maupun jiwa karena kecelakaan di jalan tersebut.

Andaikata Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-36 Herman Willem Daendels yang membangun De Grote Postweg (Jalan Raya Pos) yang menghubungkan Anyer (Banten) sampai Panarukan (Jawa Timur) di sepanjang wilayah utara pulau Jawa sejauh 1.000 kilometer pada 1808 sampai 1810 atau cucu cicitnya jalan-jalan di rute ini, maka mereka pasti tertawa terkencing-kencing melihat kinerja pejabat di dua kabupaten ini yaitu Tangerang dan Bogor. Bagaimana tidak? Kalau Daendels membangun dengan tangan besi namun hasilnya dinikmati dan disyukuri oleh bangsa ini hingga beribu tahun ke depan, tapi dua bupati di kabupaten ini yang memerintah sambil tebar senyum dan gombal janji saat kampanye, mengurus jalan yang begitu vital saja tidak becus. Memang yang saya dengar bupati yang mengurusi wilayah Parung itu paling rajin ber safari Jumat menyambangi tempat-tempat ibadah sebagai kamuflase dan ternyata terbukti karena akhirnya parkir di tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedangkan yang satunya lagi waktu kampanye sibuknya menyelenggarakan turnamen bola dan keasyikan terus bikin turnamen kejuaraan sepak bola antar kampung sebagai bukti keberhasilan program-programnya, dan tentunya tidak lupa memajang spanduk ukuran 3x5 meter dengan potret diri ukuran besar yang tersenyum puas mendominasi spanduk-spanduk tersebut di tiap lapangan bola tempat penyelenggaraan kejuaraan antar kampung, yang sampai dunia kiamat pun tidak akan pernah bisa menghasilkan pemain yang bisa minimal tampil di tim nasional, apalagi di kancah piala dunia. Mungkin mereka tidak tahu atau tidak mau tahu, kalau sudah terlalu banyak cucuran air mata dari korban maupun keluarga korban kecelakaan di jalur maut ini. Mungkin karena di perbatasan ke dua wilayah, maka para pimpinan daerah ini saling lempar tanggung jawab. Padahal kalau mereka mengerjakan pada bagian masing-masing saja, tentunya tidak perlu saya repot-repot menuliskan kondisi jalan tersebut di Filosofi Motor kali ini.

Heran, otak penjajah kok justru lebih manfaat dibandingkan otak anak bangsa yang lebih kental mudaratnya. Doa saya, semoga Presiden Jokowi yang pro rakyat, sekali waktu kesasar dari istana Bogor hendak ke kawasan Karawachi milik konglomerat keluarga Riyadi melewati jalur ini. Supaya mata beliau dan hati sang konglomerat bisa terpecut dan eling untuk membereskan wilayah antah berantah ini.
Mari kembali kita ikuti kisahan jalur jalan yang biasa saya lewati kalau ke gereja. Selepas dari kecamatan Legok, jalur jalan langsung memasuki jalan Parung Panjang. Sebelum SMP Negeri 1 Parung Panjang ada satu jembatan yang luarbiasa parah keadaan jalannya. Ini jalur yang paling banyak memakan korban. Jalanan sebelum dan sesudah melewati jembatan untuk dilalui oleh kaki saja sudah sulit, apalagi kendaraan bermotor.

Tepat di Simpang  ke kiri sebelum SMPN 1 tersebut, terbentang jalan Konblok yang dibangun oleh pengembang perumahan. Andai saja tidak ada perumahan dijamin kerbau sekalipun ogah hilir mudik di jalur tersebut. Jalan Konblok ini hanya bagus sampai kurang lebih 1 kilometer ke dalam. Selebihnya, hancur tidak karuan. Saya kadang takjub dengan masyarakat di sana yang masih bisa bertahan waras dengan jalan seperti itu. Atau mungkin mereka sudah mati rasa, karena kalaupun mau teriak-teriak demo, percuma saja mendemo bupatinya yang lagi melamun cengar-cengir di penjara KPK. Bupati penggantipun mungkin juga tidak tahu kalau wilayah ini ada di wilayah tanggung jawabnya. Andaikanlah pilar-pilar megah yang berdiri angkuh di jalan masuk ke kawasan pemerintahan kabupaten Bogor di Cibinong itu bisa dijual dan uangnya dipakai untuk membangun jalan di kawasan perbatasan ini, saya rela jadi volunteer untuk ikut serta memperbaiki jalan ini.
Melewati satu kilometer ke dalam, selanjutnya kita akan disuguhi jalan porak-poranda karena dari lebarnya yang kurang lebih lima meter, jalan ini terdiri dari batu, pasir, tanah, lubang yang jadi kubangan bila hujan dan pecahan-pecahan aspal yang teraduk sempurna membentang merana berkilo-kilo meter ke arah yang saya sendiri malas untuk membayangkan apalagi menjalaninya. Di kanan kiri jalan yang termutilasi ini ada sisa aspal antara 20 sampai 30 cm yang agak utuh di beberapa tempat yang cukup dilalui roda motor. Dalam versi bumi, jalan ini bagaikan Siratal mustakim tapi belum setipis rambut dibelah tujuh, melainkan jalan tipis hasil belahan dari badan jalan yang hancur. Terkadang ada bagian patahan juga gundukan bekas polisi tidur sehingga bila melewatinya harus pelan karena kecepatan 20 km/jam saja bisa menghempaskan motor kebagian luar jalan yang berupa parit, pekarangan ataupun sawah, atau ke bagian badan jalan yang mengalahkan Grand Canyon dari sudut konturnya.

Bayangkan bila melewati jalur sempit ini saat hujan dan atau malam apalagi jika harus berboncengan. Seorang Valentino Rossi pun tidak akan berani menggeber dengan kecepatan 30 km/jam. Diperlukan kesabaran, ketelitian dan kekuatan hati yang ekstra untuk melalui jalur sepanjang 500 meter-an ini sebelum masuk ke perumahan Griya Parung Panjang yang sama berantakan jalan-jalannya dari ujung ke ujung.
Melewati jalan inilah yang ingin saya tekankan sesuai dengan judul Filosofi Motor 3 kali ini. Jika anda diperhadapkan dengan dua pilihan, tentunya yang terbaiklah yang akan dipilih, kan? Nah untuk jalan ini, pilihannya adalah yang ter’”lumayan” dari dua alternatif terburuk. Di dalamnya sama sekali tidak ada yang baik. Kekhawatiran sering melanda pikiran saat melewati jalur ini. Apalagi kalau sedang atau sehabis hujan dan di malam hari pula.

Seluruh kemampuan bermotor yang telah diperoleh sepanjang lebih dari 30 tahun dikerahkan habis-habisan. Pihak kepolisian seharusnya tidak perlu lagi menguji para premotor yang melalui jalur ini jika hendak mendapatkan SIM C. Bahkan seharusnya SIM C yang diberikan harus diberi tanda dua plus, sehingga di kartu SIM terpampang tulisan SIM C++ sebagai apresiasi atas kemahiran bermotor ini. Demikian pula kepada produsen motor seperti Honda, Yamaha atau Suzuki diberikan tanda penghargaan dari Bupati Bogor sebagai apresiasi atas ketangguhan motor-motor mereka melewati jalur ini sekaligus sebagai kompensasi menutupi rasa malu karena ketidak becusan mengurusi hal sepele seperti ini di wilayah pemerintahannya.
Beberapa kali saya hampir terjatuh ketika melewati jalur sempit tersebut. Biasanya hal tersebut terjadi kalau saya sudah khawatir duluan ketika memasuki lintasannya. Kekhawatiran tersebut mempengaruhi syaraf-syaraf keseimbangan dan keluwesan tangan dalam mengendalikan stang motor. Semakin saya khawatir, semakin oleng lajunya motor. Di saat yang demikian saya biasanya mengalihkan pikiran ke hal-hal lain atau mencoba bersenandung, dan ini terbukti manjur. Paling buruk yang pernah terjadi cuma terhempasnya motor ke badan jalan dan tidak sampai terjatuh. Dari pengalaman ini saya mendapatkan pembelajaran bahwa khawatir bisa ditohok dengan MENGALIHKAN PIKIRAN kepada hal-hal yang baik, manis, sedap di dengar atau sama sekali tidak fokus dengan masalah yang mungkin dapat terjadi di jalur tersebut. BERSENANDUNG memuji Yang Maha Kuasa juga sangat efektif menohok kekhawatiran akan jatuh. Hati yang tenang dan nyaman melonggarkan tiap urat syaraf keseimbangan dan meluweskan otot tangan dalam mengendalikan lajunya motor. Kehebatan kata-kata kudus berikut ini benar-benar nyata untuk menohok kekhawatiran. Bunyinya: “Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu” (Filipi 4 : 8).

Kekhawatiran adalah manusiawi dan semua manusia pasti pernah mengalaminya. Orang sekaliber raja Daud saja pernah khawatir (Mazmur 13 : 3), demikian pula mereka yang sibuk dalam pelayanan seperti Marta yang sibuk melayani Kristus dan para murid ketika datang ke rumahnya (Lukas 10 : 41), sementara para rasul-pun diberi peringatan oleh Sang Mesias supaya jangan khawatir akan kehidupan ini (Lukas 12 : 22), bahkan Paulus penulis sebagian besar kitab Perjanjian baru dan yang memberikan senjata untuk menohok khawatir yaitu dengan bersyukur sebagaimana yang tercantum di atas, tanpa tedeng aling menyatakan bahwa diapun juga memiliki kekhawatiran bahkan diungkapkannya secara tertulis dalam 2 Korintus 12 : 20-21, Galatia 4 : 11 dan juga 1 Tesalonika 3 : 5.
Menohok Khawatir dengan menggunakan formula sebagaimana yang telah dikisahkan di atas, dipastikan tidak dapat langsung mencapai hasil optimal. Diperlukan pelatihan diri yang intens dan berkelanjutan sepanjang hidup. Oleh karena itu, jika menghadapi suatu keadaan yang serta merta melahirkan kekhawatiran, sambutlah dengan senyum iman yang paling manis. Pandanglah kekhawatiran tersebut sebagai ajang pertandingan bahkan peperangan yang harus anda hadapi. Jangan lari daripadanya dan selalu siapkan senjata pamungkas, agar tohokan langsung mematikannya.

Akhirnya sebelum anda bosan membaca tulisan ini karena kepanjangan atau karena mata anda mulai berdenyut nyeri ataupun kepala perlahan-lahan mengalami ekskalasi pening, maka mari kita sudahi dengan memahat kalimat berikut ini dalam memori dan iman anda: “Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-NYA, sebab IA yang memelihara kamu” (1 Petrus 5 : 7). Tuhan Yesus Memberkati.

*SP*



























Tidak ada komentar:

Posting Komentar