Translate

Senin, 10 Agustus 2015

MUSA TIDAK PERCAYA DAN BERDOSA?



MUSA TIDAK PERCAYA DAN BERDOSA?
BILANGAN 20 : 2 – 13
By: Saor R.S.S.S. Panjaitan

 
Bagi yudaisme (istilah yang yang digunakan untuk agama dan kebudayaan bangsa yahudi) atau Israel, Musa adalah tokoh sentral yang darinya hukum dan peraturan bahkan kitab suci orang Yahudi diturunkan. Segala aturan yang berkenaan dengan kehidupan rohani bangsa Israel merujuk kepada Perjanjian Lama khususnya pada 5 kitab pertama yaitu Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan dan Ulangan.
Khusus kitab Bilangan (Arithmoi, Yun; Bemidbar, Ibr) yang diperkirakan ditulis oleh Musa sendiri sekitar 1445 – 1405 SM bertemakan tentang pengembaraan bangsa Israel di Padang Gurun.
Menarik untuk dipelajari, di Kitab Bilangan inilah justru terdapat kisah tentang berdosanya Musa dan Harun karena ketidak percayaannya kepada ALLAH.
Lembaga Alkitab Indonesia dalam Bilangan 20 : 2 -13 memberikan judul yang tegas yaitu “Dosa Musa dan Harun” yang disebabkan karena ketidak percayaan mereka kepada Allah.

Dikisahkan saat bangsa Israel sampai di padang gurun Zin mereka mengalami krisis air yang berimbas pada pertengkaran bangsa itu dengan pemimpinnya yaitu Musa dan Harun (ayat 2-5). Bila kita membayangkan keadaan tersebut, tentu sangat menggentarkan bagi Musa dan Harun dikerumuni oleh begitu banyaknya manusia yang mudah marah dan ahli dalam berperang.
Bila kita perhatikan dengan seksama, pertengkaran adalah antara dua pihak, dalam ayat-ayat ini Allah belum dilibatkan atau melibatkan diri sekalipun mungkin Musa adalah sasaran antara oleh bangsa Israel sebelum terang-terangan menghujat Allah yang telah mengeluarkan mereka dari perbudakan Mesir.

Bila kita mencoba masuk ke dalam kisah ini, mungkin kita berpikir wajar jika bangsa itu marah karena krisis air dan Musa seharusnya peka dan langsung mengambil inisiatif sebelum bangsa itu datang mengerumuninya, tapi Musa pasif sampai kemudian tersadar bahwa ada yang tidak beres dalam perjalanan mereka di padang gurun. Untuk hal ini kita bisa belajar bahwa sebagai pemimpin seharusnyalah peka dan aktif mengambil inisiatif (preventif) karena otoritas dan kapabilitas seorang pemimpin akan dipertanyakan jika dia tidak memperhatikan keadaan dari yang dipimpinnya.
Perhatikan ayat 6, setelah Musa dan Harun di complain, mereka tidak mencoba untuk membela diri dari bangsa itu namun segera sujud meminta pertolongan dari Allah.

Ayat 7 sampai 9 jelas memperlihatkan bahwa tidak ada kemarahan Allah, ketika DIA memberikan solusi kepada Musa dan Harun. Artinya pertengkaran dalam ayat sebelumnya adalah antara pihak Musa/Harun dan dengan bangsa Israel di pihak lainnya, bukan dengan Allah. Tentunya Allah yang maha tahu, mengerti dengan keadaan krisis air itu bahkan sebelum krisis itu sendiri datang, namun DIA tidak serta merta menyatakan diriNYA untuk mengatasi masalah air tersebut. Allah menginginkan ketergantungan total bangsa Israel terutama Musa dan Harun sebagai pemimpin. Ketergantungan yang semestinya melakukan permohonan setiap saat untuk dilalukan dari suatu krisis atau segera meminta pertolonganNYA di saat gejala-gejala krisis sudah mendekat.
Allah memberikan instruksi kepada Musa dan Harun untuk memperlihatkan betapa peduli dan bertanggung jawabnya DIA kepada mereka sekaligus memperlihatkan kemahakuasaan dan kemahakudusanNYA yang harus dihormati oleh Musa dan seluruh bangsa itu.

Namun apa yang terjadi? Ini dia keberdosaan Musa dan Harun! Ayat 10 dan 11 membeberkan perkataan dan perbuatan yang memperlihatkan ketidak percayaan mereka. Ketidak percayaan yang dimaksud bukanlah berarti ketidak adaan iman, tetapi ketidak taatan. Kata ketidak percayaan dalam perikop ini menggunakan kata Apistia dan Apeitheia yang bermakna tidak taat, durhaka, berontak ataupun degil. Ini merupakan kealpaan dari iman dan kepercayaannya. Musa tentunya mengenal dan percaya kepada Allah, namun lewat suatu peristiwa atau keadaan tertentu ia dikategorikan sebagai tidak percaya atau tidak taat dan ini adalah dosa.
Setidaknya ada 4 kesalahan Musa dan Harun yang didasari atas ketidak percayaan mereka kepada Allah.

Pertama, di ayat 10 disebutkan ketika mereka telah mengumpulkan bangsa itu, mereka memurkai (marah besar) umat Israel bahkan dengan kata-kata yang tidak senonoh dengan menyebut mereka sebagai “orang-orang durhaka”. Bayangkan, dalam ayat yang sebelumnya jelas tertulis tidak ada sama sekali kemarahan Allah pada bangsa itu, mengapa Musa harus seemosi itu, padahal 8 pasal sebelum Pasal 20 ditegaskan bahwa Musa adalah seorang yang sangat lembut hatinya, bahkan dikatakan, lebih dari setiap manusia yang di atas bumi! (Bil 12 : 3).
Apakah mentang-mentang dia sudah ketemu Allah, tidak dimurkaiNYA lalu merasa punya backing sehingga dia kelepasan emosi kata-kata sampai sedemikian tidak senonohnya?

Kedua, dosa melalui kata-kata dilanjutkannya lagi dengan tindakan kasar yang membuat rantai dosanya memanjang. Ayat 11 melukiskan kemurkaan Musa dimana dia lalu mengangkat tangannya dan memukul bukit batu dengan tongkat, bukan hanya sekali, tapi dua kali! Artinya bertubi-tubi dan membuktikan memang dia benar-benar marah besar. Selain jatuh ke dalam dosa karena kemarahan yang emosional, Musa juga jatuh dalam dosa ketidak taatan. Inilah dia ketidak percayaannya itu. Disuruh hanya bicara pada bukit batu tapi malah memukulnya dengan sekuat tenaga. Yakobus 1 : 20 menegaskan bahwa amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah oleh karenanya Efesus 4 : 26 mengingatkan bahwa jika kita marah, janganlah berbuat dosa dan jangan matahari terbenam sebelum padam kemarahan itu.
Pada bagian ini, mari kita renungkan bahwa sekalipun dari tindakan pertama dan kedua dia sudah dalam keadaan berdosa, namun keajaiban masih bisa terjadi. Kita harus menyadari bahwa jika Allah sudah menjanjikan terjadinya mukjizat maka akan Dia genapi, namun waspadai juga mukjizat-mukjizat palsu dengan dalang yang meragukan dibalik terjadinya tanda-tanda itu.

Ketiga, Kalau diperhatikan baik-baik pada ayat 10 di akhir ayat tertulis “....apakah KAMI harus mengeluarkan air bagimu dari bukit batu ini?”
Ini menyiratkan bahwa Musa dan Harun dengan jumawa sedang show of force bahwa merekalah yang melakukan keajaiban tersebut. Mereka telah mencuri kemuliaan Allah, mereka memperlihatkan bahwa mereka luarbiasa. Ini tindakan dosa!
Dalam konteks kontemporer, bagi umat Tuhan, hendaknya mengerti dengan baik dan benar bahwa siapapun hamba Tuhan yang melakukan perbuatan-perbuatan ajaib, harus disadari bahwa dia hanya alat atau hamba yang tidak mungkin melakukan perbuatan ajaib tanpa seijin Allah. Ini menghindarkan diri kita terhadap pemujaan individual, eksklusifitas denominasi tertentu berdasarkan tanda-tanda yang dikejar-kejar dan carilah serta berharap hanya pada Tuhan, bukan hanya berkat-berkat atau mukjizat-mukjizatnya saja.

Keempat, semua kesalahan di atas dilakukan dihadapan seluruh umat Israel, artinya Musa dan Harun tidak menghormati kekudusan Tuhan.
Hal lain yang harus dicermati adalah peranan Harun. Dia adalah Imam besar bangsa Israel pertama yang langsung ditetapkan oleh Allah sendiri (keluaran 28 : 1). Waktu Allah menyampaikan solusi atas krisis air kepada Musa, Harun ada bersama-sama dengannya, demikian pula ketika Musa tidak taat dan jatuh dalam dosa dia juga ada di sisinya. Seharusnya sebelum Musa jatuh ke dalam dosa ketidak taatan dan kemarahan, Harun mengingatkannya dan mencegah terjadinya dosa itu. Namun karena dia hanya diam saja, maka diapun turut bersalah atas ketidak taatan itu.

Kita tahu pada akhirnya Musa dan Harus harus memikul konsekuensi dari keberdosaannya dengan menjadi bagian dari orang-orang yang tidak boleh masuk ke tanah perjanjian. Sungguh ironis sekali, kedua orang ini memimpin bangsa Israel keluar dari perbudakan, melakukan perbuatan-perbuatan ajaib yang diperintahkan Tuhan, melalui Musa hukum dan peraturan umat Israel diturunkan, Musa juga adalah hakim bagi bangsa itu, mereka menjadi jurubicara Allah, pengatur strategi perang, mengatur tata dan tempat ibadah, namun hanya tinggal selangkah lagi masuk ke tanah perjanjian, mereka tidak diperkenankan masuk. Diperkirakan kisah Bilangan 20 ini terjadi sekitar di 38-39 tahun dalam perjalanan mereka di padang gurun yang memakan waktu 40 tahun.

Tuhan menyatakan dalam Imamat 10 : 3 bahwa kepada orang yang karib kepadaNYA, IA menyatakan kekudusanNYA, artinya semakin kita dekat kepada Allah, maka semakin kita harus menghormati kekudusan Allah. Bukan sebaliknya, malah meremehkan ataupun lupa akan fungsi dan peranan diri di hadapan Tuhan dan jatuh dalam dosa ketidak taatan yang menggambarkan ketidak percayaan ataupun ketidak bergantungan total kepada Allah. Amin. TYM.

*SP*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar