Translate

Selasa, 29 Maret 2016

FILOSOFI MOTOR 2: BELAJAR BERMOTOR SAOR R.S.S.S. PANJAITAN


FILOSOFI MOTOR 2: BELAJAR BERMOTOR
SAOR R.S.S.S. PANJAITAN

Keluarga kami tumbuh dan besar di sebuah asrama militer bagian dari Angkatan Darat Republik ini. Sudah sejak 1967 kami tinggal di sana. Bapak memulai karier militernya dengan pangkat terendah yaitu Prajurit Dua (Prada) setelah dididik di sebuah Resimen Induk Daerah Militer (RINDAM) di Sumatera Utara tepatnya di Pematang siantar di tahun 1965.
Mama hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa tanpa pendidikan tinggi. Beliau yatim piatu sejak usia 8 tahunan untuk kemudian tumbuh besar karena “dipelihara” oleh keluarga dari adik bapaknya (dalam istilah Batak disebut Namboru). Mungkin terlalu kasar jika saya harus memilih kata dipelihara. Memang demikian adanya, karena beliau dibesarkan yang artinya diberi tempat bernaung, diberi makan namun tidak disekolahkan dan harus menjadi pengasuh, pembersih dan pelayan di tempatnya bernaung.

Pasangan suami istri yang hanya memiliki modal pendidikan dasar ini, harus menghadapi kerasnya kehidupan dan lingkungan militer dengan ekonomi morat-marit karena harus memberi makan enam mulut keturunannya, 2 laki-laki dan 4 perempuan.

Bukti nyata dari serba kekurangan tersebut adalah dalam hal kebutuhan pokok yaitu makan. Masa itu, bukan hal yang biasa bagi kami untuk sarapan pagi. Andaikanpun bisa sarapan, biasanya karena ada nasi sisa malam sebelumnya yang karena cukup mahal untuk beli telor dan minyak goreng sehingga nasi itupun tidak bertransformasi menjadi nasi goreng melainkan menjadi nasi kuah yang panas. Loh, bagaimana bisa? Saya paling senang makan nasi sisa semalam yang dicampur dengan air panas baru mendidih dan dimakan dengan lahap dengan lauk berupa ikan teri dari kasta yang terendah yaitu teri sampah yang digoreng dengan menggunakan sisa-sisa minyak goreng yang sudah menghitam dan cabe yang diambil dari belakang rumah. Kalaupun bisa beli cabe atau minyak goreng, pasti pola ini terjadi diantara tanggal 2 sampai 15 tiap bulannya. Itulah sarapan mewah kami!
Menu “enak” ini terpenuhi syarat kuantitasnya yaitu banyak nasi, oleh karena itu kebanggaannya adalah kenyang walau tidak bergizi sehingga tidak mengherankan jika diantara kami anak-anaknya kalau tidak kurang darah (amnesia), kurus, cacingan dan punya hobi menyambangi rumah tetangga dengan harapan mendapat limpahan makanan alternatif di luar menu andalan di atas.
Masa itu, beras bagi anggota ABRI (sekarang TNI) adalah beras yang mempunyai gelar istimewa yaitu “beras catu yang berhiaskan batu-batu kecil berwarna hitam, padi, dan kutu!

Tiap bulan Bapak mendapat pembagian 1 karung ukuran 50 liter yang biasanya diangkat dengan bahu tentaranya yang kokoh dan dibawa kerumah setelah diangkut dari kantornya dengan menggunakan truk fuso. Melihat Bapak mengangkat karung berisi makanan pokok itu, rasanya bangga dengan kekuatan dan kekokohannya. Pejuang sejati keluarga, dan negara tercinta yang tega memberi beras catu kepada laskarnya yang miskin namun setia.

Saya sendiri adalah anak sulung, satu lagi yang laki-laki adalah si bungsu yang lahir ketika saya sudah menginjak bangku SMP. Empat anak dilahirkan sebelum Bapak tugas ke Timor-Timur satu tahun pasca bergabungnya propinsi termuda itu dengan Indonesia. Sedangkan anak kelima dan si bungsu lahir pasca bapak pulang tugas dari Timor-Timur (Timtim).

Saat Bapak bertugas ke Timor-Timur, mama yang adalah wanita yatim piatu sederhana yang hanya berpendidikan 2 tahun saja di tingkat dasar pontang-panting menjaga dan mengasuh kami dengan modal rumah tangga dari gaji Bapak yang hanya cukup untuk 2 sampai 3 minggu saja tiap bulannya. Tidak heran bila beliau terjerat rentenir yang menjerat leher dan mematikan logika ekonominya.

Hebatnya, para rentenir wanita itu adalah teman-temannya di team koor dan ibadah pada persekutuan wanita di salah satu Gereja dengan latar belakang etnis Batak di daerah kami. Saya bertahun-tahun kadang bertanya-tanya sambil geleng-geleng kepala, apakah para wanita rentenir itu tidak pernah diperdengarkan atau disuruh membaca ataupun dikhotbahi kalimat: “Jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang dari umatKu, orang yang miskin di antaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai seorang penagih hutang terhadap dia: janganlah kamu bebankan bunga uang kepadanya” (Keluaran 27 : 25)? atau kata-kata Illahi yang kudus yang berbunyi: “Apabila engkau meminjamkan sesuatu kepada sesamamu, janganlah engkau masuk ke rumahnya untuk mengambil gadai dari padanya” (Ulangan 24 : 10)?
Masih tebal membekas dalam memori otak saya ketika pada satu sore, kedua wanita super itu mendatangi rumah kami untuk menagih hutang. Sama seperti hari lainnya, seperti biasa mama tidak dapat membayarnya dan sambil memelas memohon untuk penundaan pembayaran. Tapi sore itu begitu spesial, karena kedua wanita perkasa tersebut memaki-maki mama, menjambak (menarik) rambut panjang hitam kebanggaannya dan sekaligus kebanggaan Bapak, menamparinya dan melemparnya dengan piring kaleng yang biasa kami pakai untuk makan nasi catu jatah dari negara tercinta yang dibela mati-matian di front medan perang Timtim.
Saya hanya terkesiap pucat pasi tidak berdaya karena selain memang masih anak-anak berusia 7 tahun, juga tidak punya energi untuk membela lantaran kurang gizi. Yang ada hanya kemarahan, tapi tidak menangis sekalipun wanita mulia yang melahirkanku ditindas sedemikian rupa. Hikmat yang saya dapat bertahun-tahun kemudian dari peristiwa yang tertoreh sangat dalam di lapisan memori otak saya itu adalah: komitmen untuk senantiasa bermurah hati meminjamkan atau memberi sesuatu kepada mereka yang berkekurangan dan tidak akan pernah meribakan apapun yang saya pinjamkan.
Komitmen kuat ini pernah teruji berpuluh tahun kemudian tepatnya pada 2006 ketika kami bertiga, saya dan dua partner lainnya, menjalankan suatu kantor hukum dan terpaksa harus bubar karena salah satu partner saya, bersikeras dengan cita-cita untuk menjadi kuasa hukum dari para rentenir di Jakarta dan sekitarnya!
Selain pengalaman hidup, hikmat sorgawi mengingatkan bahwa pemungut uang dan yang mengambil riba tidak akan hidup, karena perbuatan itu adalah kekejian dan harus dihukum mati; darahnya akan tertimpa kepada dirinya sendiri (Yehezkiel 18 : 13).

Begitu miskinnya kami di masa itu namun Bapak yang hanya tentara berpangkat rendah, mempunyai pemikiran yang cemerlang dan visioner. Buktinya adalah beliau menyekolahkan saya waktu SD dan SMP di sebuah sekolah swasta Katolik terbaik se kabupaten Bogor, yang uang masuk dan SPP bulanannya terhitung mahal di daerah kami. Sekolah yang diperuntukkan bagi kalangan menengah ke atas ini biasanya hanya dapat dinikmati oleh mereka yang beretnis Tionghoa ataupun yang ber-bapak-an seorang perwira ABRI. Saya ingat waktu itu dari 5 atau 6 orang teman seangkatan saya yang non Tionghoa, semuanya anak para perwira ABRI. Lalu bagaimana saya bisa disekolahkan di sekolah mahal tersebut?
Sekalipun seorang Kopral dua, Bapak saya tergolong cerdik. Beliau datang sendiri menghadap kepala sekolah SD dan SMP tentunya dengan mengenakan seragam ABRI kebanggaannya - untuk meminta keringanan biaya uang masuk dan uang sekolah bulanan. Beruntung sekolah mempunyai kebijakan subsidi silang untuk beberapa siswa yang tidak mampu. Maka terpujilah Tuhan karena saya bisa menikmati sekolah bagus, mahal dan berkualitas. Namun perjalanan SD sampai tamat SMP tidaklah berjalan semulus jalan tol Jagorawi yang fenomenal itu. Ya, fenomenal karena saya sendiripun hampir tidak pernah melewati jalan mulus berbayar menuju ibukota ini.
Sebagai sekolah papan atas di daerah kami, tentunya kurikulum yang disusunpun dijejali dengan berbagai kegiatan kurikuler, co dan extra kurikuler yang membutuhkan biaya di luar pengeluaran rutin bulanan. Contohnya kegiatan renang sebulan sekali, melukis atau prakarya yang harus membeli peralatannya, sampai praktek mengetik dan menjahit yang juga diajarkan di sekolah. Pada kegiatan pembelajaran seperti ini saya sering stress karena tidak punya biaya untuk membeli setidaknya bahan-bahan utamanya.

Contohnya pelajaran menggambar. Jangankan membeli cat air dan kuasnya, untuk membeli buku gambarnyapun saya kesulitan karena ketiadaan biaya. Apalagi untuk praktek prakarya yang harus membeli triplek, gergaji triplek, lem merk Aica aibon dan perlengkapan lainnya. Tidak heran saya tidak suka dengan pelajaran ini padahal darah seni cukup deras mengalir dalam darah saya. Hasilnya, untuk nilai maksimal 6 di raport adalah prestasi tertinggi dan membanggakan yang bisa saya raih.

Sebetulnya hal tersebut adalah konsekuensi logis dari si miskin yang digodok di lingkungan sekolah kinclong. Jangankan membeli bahan-bahan praktek, bayaran uang sekolah saja biasanya dilakukan 6 bulan sekali. Loh kok bisa? Banyak duit, sehingga bisa membayar di muka langsung 6 bulan ke depannya? Jangan keliru!

Mama yang pontang-panting mengurus 6 anak dengan gaji yang hanya cukup untuk 2 sampai 3 minggu, tentunya tidak sanggup untuk membayar uang sekolah tiap bulannya, demikian juga uang sekolah adik-adik yang sebenarnya cukup murah karena bersekolah di SD Negeri di dalam asrama. Uniknya, ini jadi trending topic orang tua kami untuk membuka front perseteruan yang hingar bingar dalam keluarga kami. Solusi tetap ada, yaitu uang sekolah sekaligus dilunasi dengan tunggakan selama 6 bulan saat pengambilan raport atau kenaikan kelas. Karena raport hanya bisa diambil jika bayaran sudah lunas, maka dengan gagah perkasa dengan terkadang menggunakan seragam lusuh ketentaraannya, Bapak mengambil rapor ke sekolah kami masing-masing. Entah darimana beliau mendapatkan uang-uang bayaran itu, yang kami tahu beliau sangat rajin menabung dari sumber manapun yang didapat diluar gaji bulanan kopralnya.
Beliau mungkin pengagum semut dan walaupun saya tidak yakin apakah beliau pernah membaca atau andaikanpun pernah membaca namun mungkin belum tentu disadari atau dipahaminya kalimat-kalimat hikmat yang berbunyi: “semut, bangsa yang tidak kuat, tetapi yang menyediakan makanannya di musim panas” (Amsal 30 : 25).

Yang pasti kala itu saya sendiripun belum mengerti dengan kalimat di atas, yang saya mengerti dan lakoni adalah mencabut batang rumput yang panjang, lalu menekan batangnya agar keluar cairan di ujung bawah pada bagian yang di cabut, lalu memasukkannya ke lobang semut dengan harapan mendapatkan semut-semut hitam berukuran besar di lapangan bola tempat para tentara dan penghuni asrama bermain bola dan tempat kami anak-anak asrama lempar-lemparan sekepal tanah sambil mandi hujan dan lumpur sepulang sekolah sampai ujung senja, dan berakhir pada gagang sapu yang menghentak bokong kami karena diayun-ayunkan mama sembari melantunkan omelan-omelan keras dalam bahasa Batak.

Drama kehidupan ini biasanya terjadi mulai dari pintu belakang rumah (karena tidak berani masuk lewat pintu depan) sampai ke dalam kamar mandi. Tapi Mama sangat baik, sudahpun angkara murka disemprotkannya, namun selesai itu beliau pasti menyuruh kami makan malam dengan menu kebanggaan keluarga yaitu nasi catu panas berbatu, sayur daun singkong tanpa santan dan teri sampah yang nikmatnya mengalahkan steak sapi terbaik yang diimpor langsung dari Australia. Miskin tapi happy.

Sesungguhnya dunia anak-anak yang kujalani sangat manis, saking manisnya membuat beberapa diantara kami anak-anak Bapak-Mama menderita Diabetes, menurun dari Mama.

Saya dengan bangga meng-amin-kan semuanya adalah manis dan baik sekalipun makan saja sulit ditambah lagi suasana di rumah yang lebih sering bagaikan padang Kurusetra (medan pertempuran Pandawa-Kurawa pada perang Bharatayudha) namun faktanya, kami semua bisa bertahan bahkan jauh lebih makmur sampai saat ini, dan jangan lupa, karena semua itu Filosofi Motor bisa anda nikmati!
Sekalipun hampir tidak pernah membeli mainan anak-anak sebagaimana kebanyakan anak tentara lainnya yang mayoritas memang pas-pasan, kami dapat dengan mudah menggunakan akal budi untuk memanfaatkan bahan-bahan dari sekeliling kami demi memuaskan imajinasi dunia anak-anak dengan berbagai permainan.
Sebagai “anak-anak kolong” permainan favorit kami tentunya adalah perang-perangan. Sebenarnya kami hampir tiap hari melihat senjata asli di rumah masing-masing karena memang di jaman Panglima ABRI Jenderal Maraden Panggabean, tiap anggota ABRI diperkenankan membawa senjata kerumahnya masing-masing. Karena hanya seorang kopral, maka Bapak diijinkan membawa pulang bedil panjang dan bukan pistol yang memang dikhususkan hanya untuk para perwira saja.
Adanya senjata itu di rumah sering memuaskan khayalan saya sebagai tentara sejati. Biasanya kalau Bapak sedang tidak di rumah, maka segera saya memakai baju kopral dan celana hijaunya, memasang kopelrim (ikat pinggang besar tentara) pada pinggang sambil menyangkutkan sangkur dan termos minuman tentara di kanan dan kirinya. Kegagahan tentara cilik ini dipercantik lagi dengan helm tentara pada kepala dan sepatu lars hitam kebesaran. Bayangkan, tentara cilik dengan pakaian kedodoran ini dengan bangganya mondar-mandir membopong bedil panjang pada bahu dari depan ke belakang rumah kami yang kecil tapi panjang berukuran 3 x 12 meter, dan berdindingkan papan-papan panjang yang dipakukan berderet dari atas ke bawah untuk memisahkan satu rumah dengan rumah anggota ABRI di sebelahnya.
Tapi parade kejayaan ini hanya dapat kulakukan dalam rumah, karena bila ketahuan sama Bapak maka kopelrim kedodoran yang kukenakan itu akan mendarat darurat di bokongku
Peran sebagai tentara yang berperang di luar rumah bersama teman-teman biasanya kami perlengkapi dengan perangkat “Alutsista”(alat utama sistem persenjataan) yang dimodifikasi sedemikian rupa demi memenuhi hasrat kepemilikan atas mainan seperti yang dimiliki oleh para anak perwira di asrama kami.
Perlengkapan itu meliputi batang daun pisang yang setelah dibuang lembaran daunnya lalu ditekuk sekitar 30 cm dari bagian pangkal lalu diikat dengan tali kulit pohon pisang menyerupai tali pengekang kuda. Inilah kendaraan kuda kavaleri kami yang jalannya menggunakan mesin kaki-kaki kecil kami yang terlatih berlari di berbagai medan baik rumput, duri,  bebatuan, maupun lumpur karena memang bagi ibu kami masing-masing lebih baik beli setengah kilo telor ayam daripada membeli sandal untuk mengalasi kaki anak-anak kebanggaannya ini.

Untuk pistol dan bedil panjang kami juga menggunakan batang daun pisang yang dibentuk seperti pistol dan untuk bedil lebih istimewa karena bisa mengeluarkan suara yang dihasilkan dari sayatan di bagian batang tersebut sebanyak 4 – 5 dari bawah ke atas, lalu ditekuk dan diberdirikan. Untuk menghasilkan bunyi tembakan caranya dengan menyapukannya dengan tangan ke arah bagian bawah batang daun pisang tersebut. Sensasi suara yang dihasilkan biasanya makin meyakinkan hati kami masing-masing bahwa kami memang tentara infanteri sungguhan.

Alutsista lainnya yang sering kami buat adalah senjata dari batang bambu kecil yang tua dan kuat, yang terdiri dari 2 bagian yaitu bagian laras panjang berukuran 30 cm-an dan laras pendek sebagai penyodok sepanjang 10 cm-an yang telah ditambahkan dengan hasil serutan kayu berdiameter 0,50 cm yang ditanamkan ke lobang bambu yang pendek. Senjata ini namanya Peletok Bambu. Untuk mesiu biasanya digunakan kertas koran atau kertas pembungkus cabe atau tomat dari warung, yang dibasahi air lalu dipadatkan dan disumpalkan kemulut laras panjang bambu, diketok dengan bambu laras pendek untuk kemudian dilesakkan dengan cepat dan kuat kedalam laras panjang sambil diarahkan ke sasaran. Senjata ini bisa menimbulkan suara yang lebih keras daripada batang pisang tadi. Ini adalah perlengkapan senjata personil favorit saya karena bisa ditembakkan sejauh 5 – 7 meter.

Pada bulan ramadhan kami juga membuat senjata artileri dari bambu berdiameter 10 cm-an dengan panjang 120 cm an yang diisi dengan air dan karbit, dilobangi bagian pangkalnya dan untuk menghasilkan letusan ditiup terlebih dahulu melalui lobang kecil dipangkalnya untuk kemudian disundut dengan api. Sensasi bunyi yang dihasilkannya sangat luarbiasa bagi telinga kecil kami. Senjata artileri ini biasanya kami mainkan pada malam hari. Saking hebatnya, kami sering “diamuk” warga asrama karena menimbulkan bunyi letusan perang yang memekakkan telinga dan terdengar sampai  ke kampung-kampung di sekeliling asrama.

Biasanya jika “amukan” warga sudah ter-teropong oleh dua tangan kecil kami yang dibulatkan membentuk teropong, maka jalan terbaik adalah kabur sambil ketawa hebat sampai-sampai lupa membawa senjata artileri tersebut yang kemudian menjadi pampasan perang oleh warga asrama yang telah dirugikan telinganya karena hasrat perang yang menggebu-gebu dari para anak kolong ini.

Pada matra Angkatan Laut, Alutsista yang kami gunakan sebagai KRI (Kapal Republik Indonesia-Singkatan yang digunakan di depan nama kapal-kapal perang Indonesia) sekelas Korvet (Istilah yang digunakan untuk jenis kapal perang berukuran kecil) adalah dengan memotong 3 atau 4 batang pohon pisang (gedebok) sepanjang 180 cm-an yang disusun berjejer lalu disatukan dengan menancapkan kayu pada kedua bagian pinggirnya dan diperkuat dengan ikatan tali kulit batang pohon pisang. Korvet ini kami layarkan di dua sungai kecil di pinggir asrama atau di-situ (danau atau telaga yang berukuran kecil) yang jaraknya 500 meter-an di samping belakang asrama. Jika sudah menaiki korvet ini rasanya bagaikan berada di anjungan KRI Hang Tuah ataupun Pati Unus! Pelayaran akan lebih intens jika memasuki musim penghujan karena sungai melimpah dengan air dan arusnya cukup deras.
Untuk kapal sekelas Fregat (kapal perang berukuran sedang berbobot antara 1.100 – 2.800 ton) kami menggunakan batang pohong pisang utuh yang ditebang dari pangkalnya. Resikonya sangat besar untuk pembuatan kapal Fregat ini karena segera setelah pemotongan akan menjadi target operasi penangkapan dari para pemilik pohon pisang yang kala itu masih banyak tumbuh di dalam asrama. Selain itu diperlukan lebih banyak personil untuk menggotongnya kesungai maupun ke-situ.

Pohon pisang memang pohon kesayangan kami kala itu. Bagi pramuka -dimana sebagian besar dari kami adalah pramuka di sekolah masing-masing- pohon kelapa adalah pohon idola yang sulit kami bayangkan ke-multiguna-annya karena memang di daerah kami jarang pohon kelapa dan sangat jauh dari pantai. Pohon kesayangan kami adalah pohon pisang dan pohon-pohon buah seperti mangga, rambutan dan alpukat yang tumbuh di depan atau belakang rumah yang biasanya menjadi target operasi malam ketika kami memasuki masa remaja.

Pohon pisang bukan hanya dapat memuaskan hasrat perang-perangan kami dari bagian-bagian tubuhnya, namun buah yang dihasilkannya memberikan asupan gizi ekstra tanpa harus membeli dan mengolahnya yang penting tahu kapan saat yang tepat untuk menjarahnya. Selain itu jantung pisangpun katanya bisa dijadikan sayuran walaupun saya belum pernah melihat langsung tetangga yang memakan jantung pisang. Maklumlah, keluarga tentara yang pas-pasan harus piawai memanfaatkan semua sumber daya yang ada disekeliling asrama.
Bagian lain yang bermanfaat dari pohon pisang adalah daunnya. Selain untuk membungkus ikan, tempe ataupun makanan jajanan, daun pisang yang sudah kering kerontangpun masih dapat dimanfaatkan.

Diakhir tahun 70-an, di asrama kami masih terdapat beberapa empang yang memang sudah ada sebelum Republik ini merdeka. Pemilik empang biasanya langsung mengklaim berdasarkan kedekatan rumahnya dengan empang tersebut. Memang ada yang agak jauh, namun klaim kepemilikan didasarkan atas seringnya yang bersangkutan memasuki empang tersebut atau di pinggirnya dibuatkannya sebuah “kamar khusus” untuk pelepasan atau jamban mengapung. Hebatnya, empang-empang ini dipakai oleh pemilik tanpa surat kepemilikan untuk memelihara ikan. Karena memang tanpa modal, maka ikan yang ada di empang tersebut biasanya bukan karena disebar tapi memang ikan-ikan tersebut sudah ada dari sananya dan beranak cucu di empang-empang tersebut. Konon lagi membeli bibit ikan, memberi makanpun para pemilik mengandalkan pada alam yang menyediakan lumut air, cacing, serangga dan makanan ikan lainnya.

Ada satu penganan yang disumbang secara sukarela oleh para penghuni asrama. Sumbangan penganan ikan ini biasanya dilakukan sambil berjongkok mengedan di kamar-kamar atau jamban terapung di pinggir empang. Bentuk kamar ini biasanya selebar 1,2 m x 1 m, sedangkan tempat menongkrong digunakan potongan balok kayu yang agak lebar yang ditancapkan pada dasar empang dan dihubungkan dengan kayu cukup lebar dan kuat yang dipasang sejajar dengan tanah di pinggir empang. Cukup kuat dan nyaman jika penyumbang penganan ikan berlama-lama merenung di atasnya sembari mengisap rokok kretek murahan yang manis di lidah dan bungkusnya berwarna merah.

Dindingnya dibuat dari lembaran bambu yang dibentuk persegi empat dengan empat pilar yang tertancap ke dalam empang dan diikat dengan tali batang daun pisang. Untuk menutup kotak permenungan ini selalu digunakan daun-daun pisang yang sudah kering yang dijejerkan menutupi seluruh dindingnya. Tinggi dinding ini berkisar 1 – 1,5 m, pokoknya cukup menutupi kepala para pemberi makan ikan-ikan dan aman karena identitas berdasarkan wajah tidak akan terlihat dari luar.

Ada pengalaman seru dan menegangkan yang kulakukan di kamar pelepasan ini. Suatu siang, saya tidak kuasa untuk menahan keinginan menyumbangkan makanan bagi ikan-ikan di empang yang berada di depan asrama. Dasar anak-anak yang doyan main korek api, saat itu saya melakukan pelepasan sambil membawa korek api. Bosan menunggu ritual pelepasan, iseng-iseng saya menyalakan korek api sambil diarahkan ke daun-daun pisang yang kering kerontang itu. Tak dinyana ternyata api melahap habis daun-daun kering tersebut sampai semua dinding tinggal hanya kerangkanya saja. Karena panik, sambil berusaha menahan celana, saya kabur meninggalkan monumen pelepasan ini. Celana terpaksa dipegangi karena belum cebok dan berlari kearah sungai dekat empang tersebut untuk kemudian membasuh lobang pelepasan di sana.

Hampir 1 minggu saya menyembunyikan diri dari incaran Kopral satu Jono yang adalah pemilik empang dan petilasan pelepasan tersebut. Kopral yang botak dengan kumis lebat ini hampir tidak pernah tersenyum sama sekali. Barangkali sudah bawaan lahir atau terpaksa demikian karena memang jarang ada thema kehidupan yang dapat di senyumi oleh seorang kopral bergaji pas-pasan. Sebenarnya saya tidak perlu takut sama Kopral Jono, karena selain teman Bapak, toh beliau juga tidak tahu siapa yang telah membakar petilasan kramat tempat memberi makan ikan-ikannya itu.

Saya sempat mengintai hasil perbuatan iseng pembakaran tersebut dan takjub akan kerusakan yang dibuat karena ternyata yang tersisa hanya tempat nongkrongnya saja. Mungkin karena kesal, Kopral Jono tidak pernah lagi memperbaiki bilik perenungan tersebut. Sejak 1988 ketika saya harus merantau jauh untuk menimba ilmu di perguruan tinggi negeri di luar jawa, saya sudah tidak tahu lagi dimana keberadaan Kopral Jono dan keluarganya, apakah masih hidup atau sudah meninggal, yang pasti sampai saat ini saya belum pernah meminta maaf atas perbuatan tersebut.

Meskipun demikian, saya sudah minta ampun kok atas semua perbuatan dosa dan kekhilafan di masa lalu, langsung kepada pencipta Kopral Jono. Saya percaya dengan sabda yang berbunyi: “ Jika kita mengaku dosa kita, maka IA adalah setia dan adil, sehingga IA akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan” (1 Yohanes 1 : 9).

Waktu makan bangku kuliahan dan mendapat kesempatan menyelami dunia Filsafat umum, Filsafat Agama, Filsafat Pancasila dan Filsafat Hukum dengan total jumlah SKS (Sistem Kredit Semester) sebanyak 16 kredit, saya terkesan dengan peristiwa kisah para filsuf yang mewarnai dunia filsafat.

Ada satu kisah yang sangat mengesankan yang dilakukan oleh seorang filsuf saat dia mengimplementasikan idealisme alirannya dengan cara yang sama dengan yang saya lakukan saat nongkrong di bilik pelepasan di awal tahun 80-an itu. Dia adalah Diogenes, murid dari Anthistenes pencetus filsafat Sinis di Athena sekitar 400 SM. Diogenes pernah hidup dalam sebuah tong dan tidak memiliki apapun kecuali sebuah mantel, tongkat dan kantung roti. Memang sangat sederhana karena itulah yang diyakini dan dijalani para filsuf aliran Sinis ini. Bagi mereka kebahagiaan tertinggi ada pada ketidaktergantungan pada segala sesuatu yang acak dan mengambang sehingga semua orang dapat meraihnya dan tidak akan pernah lepas lagi.

Suatu saat Diogenes yang sedang duduk di sebelah tongnya sambil menikmati cahaya matahari didatangi oleh Alexander Agung. Raja besar ini berdiri di depan Diogenes dan mungkin karena keprihatinannya Alexander bertanya apakah ada yang dapat dilakukannya untuk menolong Diogenes.

Serta-merta Diogenes menjawab Ya dan melanjutkan perkataannya yaitu agar Alexander Agung bergeser dari hadapannya karena dia telah menghalangi Diogenes menikmati sinar matahari. Suatu kenikmatan sederhana yang gratis dan membahagiakannya. Suatu kebahagiaan dan kekayaan yang tidak kalah dengan kekayaan dan kebahagiaan yang dimiliki sang raja besar tersebut.

Para penganut aliran Sinis yakin bahwa orang tidak perlu memikirkan kesehatan bahkan penderitaan dan kematianpun tidak boleh menggangu mereka. Hebatnya lagi kaum Sinis tidak boleh membiarkan diri tersiksa karena memikirkan kesengsaraan orang lain. Kaum Sinisme tidak peduli terhadap penderitaan sesamanya.

Ritual Diogenes sesungguhnya sama dengan yang kulakukan di bilik pelepasan. Kesamaan pertama dan paling utama adalah kami sama-sama miskin. Kedua, kalau sudah duduk nongkrong di bilik itu, aku pasti sudah tidak peduli lagi akan sekelilingku. Tidak pada ikan-ikan yang bersorak-sorai berdesakan menanti dropping dari “langit” di atasnya, tidak juga pada pemilik empang yang mendapat “rejeki gratis” untuk ikan-ikannya,  dan tentunya saat itu aku tidak peduli apa yang akan terjadi di masa depan.

Yang penting kenikmatan sesaat harus maksimal dihayati pada prosesi pelepasan ini. Suatu kekayaan batiniah dan jasmaniah yang saling mengkontaminasi dan eksklusif hanya milikku. Tidak heran, jika di saat ritual seperti ini, seluruh jaringan syaraf masa kanak-kanak-ku melonggar sejenak dari ketegangan rutinnya yang dipicu kemiskinan dan “perang Bharatayudha” yang berlarut-larut di rumah.

Tentu anda berpikir darimana saya bisa bermotor karena sekedar beli mainan murahan yang sederhana saja tidak mampu. Memang saat itu, di asrama kami belumlah banyak yang punya motor. Sekali lagi, andaikanpun ada pasti milik salah seorang perwira.

Keterampilan dasar bermotor sebenarnya saya dapat dari kemampuan mengemudikan sepeda. Sampai tamat Sekolah Dasar, saya sebenarnya belum pernah mencoba menggunakan sepeda. Memang ada beberapa keluarga yang sudah punya sepeda, tetapi karena termasuk barang mewah dan diperlakukan bak Harley Davidson CVO Ultra yang limited edition oleh pemiliknya, maka jangan harap bisa meminjamnya apalagi peruntukkannya untuk sekedar belajar naik sepeda.

Kalau sudah demikian, maka Social Jealously (kecemburuan sosial) ternyata bisa juga berlaku diantara kaum miskin seperti kami. Rasanya penstrataan sosial serta merta terjadi di antara keluarga para tentara setia ini, jika ada diantara mereka yang mampu membeli barang-barang yang terkualifikasi mewah untuk ukuran tentara saat itu. Barang yang tergolong mewah selain sepeda adalah Televisi, seperangkat meja makan, sofa, perhiasan bahkan kemampuan makan di sebuah restoran yang diceritakan kepada warga asrama lainnya, otomatis dianggap telah terjadi gradasi strata sosial yang cukup signifikan.

Andaikan Sigmund Freud yang pakar psikologi sosial itu tinggal di asrama kami, mungkin beliau tidak perlu repot-repot mencari responden untuk obyek penelitian keilmuannya!

Sekali lagi saya harus sampaikan kehebatan Bapak yang visioner. Beliau mungkin juga merasa tidak nyaman ketika anak-anaknya hanya bisa menjadi penonton lalu lalangnya sepeda-sepeda milik teman-teman kami. Daripada anak-anaknya yang setengah lusin itu mengalami gangguan kejiwaan rendah diri, maka beliau harus segera mengambil tindakan cepat sebagai penghayatan atas slogan militer yaitu: “Tan Hana Wighna Tan Sirna” yang artinya “tak ada rintangan yang tak dapat dilalui” – Slogan Korps Pasukan Katak Angkatan laut Republik Indonesia -. Inilah hebatnya sang kopral!

Tiba-tiba suatu hari beliau membawa sepeda baru ke rumah dan dengan bangganya memproklamasikan kepemilikan sah atas sepeda tersebut kepada kami anak-anaknya, serta menugaskan saya sebagai penanggung jawab operasionalnya.

Bayangkan, sepeda ber-merk Crown dengan bangku panjang yang memiliki sandaran punggung tersebut tentunya mahal harganya untuk ukuran keluarga kami. Entah darimana beliau mendapatkan dana pembeliannya (mungkin cashbon dari koperasi di kantor?), yang saya tahu dengan pangkat kebanggaannya itu, Bapak sama sekali bukanlah koruptor, karena memang tidak punya posisi strategis sebagai pembuat dan pemutus suatu kebijakan.

Dalam tingkat implementatifnya, saya pernah merasakan ke-idealis-an Bapak ini. Suatu kali, saya yang sudah duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama diwajibkan mengikuti pelajaran co-kurikuler yaitu mengetik. Untuk mesin ketik, disediakan oleh pihak sekolah, namun untuk praktek dan ujian praktek, para siswa diwajibkan membawa kertas sendiri.

Saya yang pernah ikut ke kantor Bapak tahu benar bahwa di kantornya banyak kertas-kertas yang bisa dipakai untuk mengetik. Saya pernah meminta kepada Bapak untuk membawa beberapa lembar kertas tersebut dari kantornya, tapi beliau menjawab: “Kertas-kertas itu bukan punya Bapak tapi punyanya Negara, kita tidak boleh mengambilnya sekalipun cuma satu lembar!” Jawaban menyebalkan bagiku saat itu, namun menginspirasi seluruh perjalanan hidupku untuk tidak pernah mengambil yang bukan merupakan hakku. Nilai idealisme hidup yang berpadanan dengan perintah pemilik langit dan bumi yang berbunyi: “Jangan mencuri!” dan “Jangan mengingini apapun yang dipunyai sesamamu!” (Keluaran 20 : 15, 17b).

Segera setelah kami memiliki sepeda tersebut, saya melakukan pelatihan mengendarai yang intensif. Tidak hanya pagi, siang atau sore bahkan malampun saya schedule-kan untuk menguasai The Crown yang masih kinclong itu. Dasar anak kolong, kurang dari seminggu, saya sudah mampu bermanuver dan ngepot” di jalan aspal asrama yang penuh lubang karena KW 3. Saya bersikeras harus mampu menstimulasi seluruh jaringan syaraf keseimbangan di tubuh ini agar mahir mengendarainya dan mampu membonceng adik-adik. Kerja keras mengendalikan The Crown menjadikan saya sebagai salah satu anak kolong yang jago ngebut. Saking jagonya terkadang saya show of force mengendarai The Crown tanpa memegang kemudi!

Terobosan besar kemampuan mengendarai kendaraan beroda dua kembali terbuka lebar dan masuk ke kelas kendaraan yang bermesin alias motor.
Saya ingat sekali ketika kelas 3 SMP sering datang ke rumah kami saudara yang memiliki motor. Saat itu Bapak sudah berpangkatkan Sersan Dua (Serda). Perubahan warna pada pangkat garis bengkok dari merah ke kuning ini sangat membanggakan bagi Bapak. Perubahan tersebut telah menaikkan derajat dan kewibawaannya yang semula di level Tamtama masuk ke level Bintara. Kenaikan pangkat ini bukan hanya menaikkan gajinya yang pas-pasan –walaupun sebenarnya kenaikan gajinya tidak seberapa- namun untuk level ini berarti beliau setidaknya punya anak buah di lingkungan kantornya. Level Serda apalagi yang diraih dengan susah payah cukup lama biasanya mendapatkan tugas sebagai Komandan Regu!
Biarpun cuma regu, yang penting KOMANDAN!

Dalam kehidupan sosial, efek berantai garis bengkok kuning ini cukup luarbiasa. Masyarakat Batak yang belum terlalu banyak saat itu di daerah kami, menjadikan Bapak sebagai “Komandan” juga dalam komunitas ini. Selain sebagai ketua perkumpulan marga Panjaitan, Tuan Dibangarna (nama nenek moyang orang Batak yang menurunkan 4 marga besar yaitu: Panjaitan, Silitonga, Siagian dan Sianipar) juga beliau didaulat menjadi Penasehat perkumpulan orang-orang Batak se Kecamatan di daerah kami.

Pamor sebagai anggota ABRI  di masa itu sangatlah besar. Orde baru memang sangat memanjakan ABRI, oleh karenanya mulai dari RT sampai menteri (bahkan Presiden) biasanya diangkat dari anggota ABRI.

Anggota ABRI pun dianggap tahu segalanya, sehingga tidak heran menjadi tempat bertanya, mengadu bahkan “menyetor” demi mendapatkan perlindungan (backing) untuk semua masalah.

Demikian juga dengan Bapak, saat itu makin banyak keluarga-keluarga Batak yang berkunjung ke rumah. Mulai dari urusan mencari pekerjaan, mendamaikan mereka yang berkelahi, suami-istri yang terancam bubar rumah tangganya, menjadi wali bagi yang menikah, bahkan sampai urusan masuk rumah baru dan mereka yang berurusan dengan polisi pun, Bapak selalu diminta pertolongannya.

Sekali lagi saya harus akui Bapak memang hebat. Di mata saya waktu itu, Bapak adalah superhero dan tidak ada satupun makhluk yang berani melawan Bapak. Apakah kemudian perpindahan status ini membuat kami lebih makmur? Sama sekali tidak! Karena Bapak memang bila membantu siapapun selalu tulus dan tidak mengharapkan imbalan apapun.

Sikap idealis ini mendapat tentangan super keras dari Mama yang memang masih tetap setia morat-marit memikirkan gaji Bintara rendah yang harus kuat melangkah dari tanggal 1 sampai 31 tiap bulannya, sebelum Bapak gajian kembali. Mama sering bilang bahwa Bapak terlalu baik kepada siapapun, sementara mereka yang sudah berhasil ditolong Bapak pasti lupa sama jasanya Bapak. Mendapat kritikan pedas ini Bapak Cuma bilang: “Biar saja, toh nanti anak-anakku yang akan merasakan hasilnya di masa depan!”

Diantara para saudara yang datang itu, satu dua diantaranya membawa sepeda motor. Saya sering terpesona melihat sepeda bermesin yang tidak perlu capek-capek digowes tapi sudah dapat meluncur kencang.
Sekali waktu saya minta pinjam salah satu motor tersebut. Saya yakin pasti dipinjamkan karena bukankah mereka datang pun kebanyakan untuk meminta bantuan sama Bapak?

Inilah awal pengenalanku terhadap ke-aji mumpung-an lantaran fungsi dan kedudukan Bapak. Terpujilah Tuhan karena Bapak bukan seorang Bupati atau Gubernur atau bahkan seorang Panglima Daerah Militer, karena kalau tidak, mungkin saya akan masuk ke memorabilia sejarah Republik ini sebagai pengusaha instant memanfaatkan kedudukan orang tua seperti banyak dilakukan kaum “berpangkat” di negara ini.

Sebetulnya Bapak dan Mama selalu melarang jika saya meminjam motor dari saudara yang datang. Tapi dasar anak kolong, belumpun selesai omelan pada kalimat kedua, saya sudah lompat dan sampai di motor.

Pertama kali motor yang saya pakai untuk uji coba adalah dari kelas bebek. Kalau tidak salah dari Honda Bebek C-70. Saya lupa siapa saudara pemilik sepeda bermesin ini. Yang pasti ketika pertama kali mengemudikannya, saya tidak sampai terjatuh, hanya terlonjak sedikit karena memang belum biasa meng-gas motor. Karena tidak menggunakan kopling dan hanya memindahkan dari gigi satu ke gigi dua dan seterusnya, motor ini sangat mudah dikemudikan.

Begitupun, karena minimnya pengetahuan dan keterampilan menggunakan motor, saya hanya menggunakan gigi 1 dan 2 selama mengendarainya. Jika  sudah masuk ke gigi 2 maka saya matikan dulu mesinnya, lalu memulainya lagi dari gigi 1. Untunglah sipemilik tidak tahu.
Tapi andaikanpun tahu, saya yakin garis kuning bengkok sang Sersan akan membungkam sang pemilik untuk protes!

Sensasi bermotor luarbiasa nikmatnya! Lebih nikmat dari semua sensasi zat adiktif yang memang tidak pernah saya coba. Jangankan narkoba, rokok saja belum pernah diisap seumur hidup saya. Jadi wajarlah kalau saya meng-klaim lebih nikmat sensasi bermotor ini daripada memakai zat adiktif apapun.

Selain takjub karena tidak perlu mengayuh, angin dingin yang menerjang tubuh karena ter-terobos oleh motor sungguh nikmat sekali. Belum lagi perasaan dikagumi oleh tetangga-tetangga yang melongo sambil meneteskan air liur karena ingin juga mencoba motor pinjaman ini.

Perasaan hebat dan kaya mengalir deras di benakku dan melahirkan gaya tubuh yang sombong dari si miskin yang mendadak sontak kaya sejenak. Laksana dagelan “Petruk dadi Raja” itulah kondisi kejiwaanku saat itu.

Kondisi kejiwaan di atas motor ini mengingatkan saya pada kata-kata bijak yang berbunyi: “Ada orang yang berlagak kaya, tetapi tidak mempunyai apa-apa, ada pula yang berpura-pura miskin, tetapi hartanya banyak.” (Amsal 13 : 7).

Saat itu saya memang berlagak kaya, suatu kesempatan emas yang jarang terjadi dan faktanya, sejarah membuktikan bahwa keluarga kami memang tidak pernah punya motor sampai di kemudian hari saya mampu membelinya sendiri. Ketidak punyaan motor sebenarnya bukan hanya karena miskin, tapi belakangan saya tahu bahwa Bapak yang superhero ternyata tidak bisa mengendarai motor! Jadi andaikanpun beliau punya banyak uang, katakanlah dari menemukan emas berlian di medan perang Timor-timur, namun rasa-rasanya mustahil beliau membeli motor karena memang tidak bisa mengendarainya. Kecurigaan saya terjawab sudah, saat teringat di masa The Crown, beliau tidak pernah mencobanya bahkan sekedar mengajari saya naik sepeda!

Filosofi motor menuntun hati, pikiran dan sikap rohani saya untuk semakin respek atas pengorbanan, idealisme dan kepolosan Bapak sang My Superhero!
Filosofi motor juga menjadi kunci pembuka pintu masa lalu dan membongkarnya dengan hikmat sorgawi. Semua pada akhirnya terasa indah dan menyenangkan. Bahkan saat mengetik tulisan inipun bibir saya tersenyum sembari mata berkaca-kaca dan hati menaikkan rasa syukur kepada Tuhan yang maha pengasih dan penyayang.

Pada Filosofi Motor edisi ini, saya mendapatkan hikmat dan keyakinan mendalam akan kebenaran kalimat Illahi yang berbunyi: “Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah” (Roma 8 : 28). Tuhan Yesus memberkati.
*SP*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar