FILOSOFI MOTOR 2: BELAJAR BERMOTOR
SAOR
R.S.S.S. PANJAITAN
Keluarga kami
tumbuh dan besar di sebuah asrama militer bagian dari Angkatan Darat Republik
ini. Sudah sejak 1967 kami tinggal di sana. Bapak memulai karier militernya
dengan pangkat terendah yaitu Prajurit Dua (Prada) setelah dididik di sebuah
Resimen Induk Daerah Militer (RINDAM) di Sumatera Utara tepatnya di Pematang
siantar di tahun 1965.
Mama hanyalah
seorang ibu rumah tangga biasa tanpa pendidikan tinggi. Beliau yatim piatu
sejak usia 8 tahunan untuk kemudian tumbuh besar karena “dipelihara” oleh
keluarga dari adik bapaknya (dalam istilah Batak disebut Namboru). Mungkin terlalu kasar jika saya harus memilih kata
dipelihara. Memang demikian adanya, karena beliau dibesarkan yang artinya
diberi tempat bernaung, diberi makan namun tidak disekolahkan dan harus menjadi
pengasuh, pembersih dan pelayan di tempatnya bernaung.
Pasangan suami
istri yang hanya memiliki modal pendidikan dasar ini, harus menghadapi kerasnya
kehidupan dan lingkungan militer dengan ekonomi morat-marit karena harus
memberi makan enam mulut keturunannya, 2 laki-laki dan 4 perempuan.
Bukti nyata dari serba kekurangan tersebut adalah dalam
hal kebutuhan pokok yaitu makan. Masa itu, bukan hal yang
biasa bagi kami untuk sarapan pagi. Andaikanpun bisa sarapan, biasanya karena
ada nasi sisa malam sebelumnya yang karena cukup mahal untuk beli telor dan
minyak goreng sehingga nasi itupun tidak bertransformasi menjadi nasi goreng
melainkan menjadi nasi kuah yang panas. Loh, bagaimana bisa? Saya
paling senang makan nasi sisa semalam yang dicampur dengan air panas baru
mendidih dan dimakan dengan lahap dengan lauk berupa ikan teri dari kasta yang terendah yaitu teri sampah yang
digoreng dengan menggunakan sisa-sisa minyak goreng yang sudah menghitam dan
cabe yang diambil dari belakang rumah. Kalaupun bisa beli cabe atau minyak
goreng, pasti pola ini terjadi diantara tanggal 2 sampai 15 tiap bulannya.
Itulah sarapan mewah kami!
Menu “enak” ini terpenuhi syarat kuantitasnya yaitu banyak nasi,
oleh karena itu kebanggaannya adalah kenyang walau tidak
bergizi sehingga tidak mengherankan jika diantara kami anak-anaknya kalau tidak
kurang darah (amnesia), kurus, cacingan dan punya hobi menyambangi rumah
tetangga dengan harapan mendapat limpahan makanan alternatif di luar menu
andalan di atas.
Masa itu, beras
bagi anggota ABRI (sekarang TNI) adalah beras yang mempunyai gelar istimewa yaitu “beras
catu” yang berhiaskan
batu-batu kecil berwarna hitam, padi, dan kutu!
Tiap bulan Bapak
mendapat pembagian 1 karung ukuran 50 liter yang biasanya diangkat dengan bahu
tentaranya yang kokoh dan dibawa kerumah setelah diangkut dari kantornya dengan
menggunakan truk fuso. Melihat Bapak mengangkat karung berisi makanan pokok
itu, rasanya bangga dengan kekuatan dan kekokohannya. Pejuang sejati keluarga, dan negara tercinta yang tega memberi beras catu kepada laskarnya yang miskin
namun setia.
Saya sendiri adalah
anak sulung, satu lagi yang laki-laki adalah si bungsu yang lahir ketika saya
sudah menginjak bangku SMP. Empat anak dilahirkan sebelum Bapak tugas ke
Timor-Timur satu tahun pasca bergabungnya propinsi termuda itu dengan
Indonesia. Sedangkan anak kelima dan si bungsu lahir pasca bapak pulang tugas
dari Timor-Timur (Timtim).
Saat Bapak bertugas
ke Timor-Timur, mama yang adalah wanita yatim piatu sederhana yang hanya
berpendidikan 2 tahun saja di tingkat dasar pontang-panting menjaga dan
mengasuh kami dengan modal rumah tangga dari gaji Bapak yang hanya cukup untuk
2 sampai 3 minggu saja tiap bulannya. Tidak heran bila beliau terjerat rentenir
yang menjerat leher dan mematikan logika ekonominya.
Hebatnya, para
rentenir wanita itu adalah teman-temannya di team koor dan ibadah pada
persekutuan wanita di salah satu Gereja dengan latar belakang etnis Batak di
daerah kami. Saya bertahun-tahun kadang bertanya-tanya sambil geleng-geleng
kepala, apakah para wanita rentenir itu tidak pernah diperdengarkan atau
disuruh membaca ataupun dikhotbahi kalimat: “Jika engkau meminjamkan uang
kepada salah seorang dari umatKu, orang yang miskin di antaramu, maka janganlah
engkau berlaku sebagai seorang penagih hutang terhadap dia: janganlah kamu
bebankan bunga uang kepadanya” (Keluaran 27 : 25)? atau kata-kata Illahi yang
kudus yang berbunyi: “Apabila engkau meminjamkan sesuatu kepada sesamamu,
janganlah engkau masuk ke rumahnya untuk mengambil gadai dari padanya” (Ulangan
24 : 10)?
Masih tebal
membekas dalam memori otak saya ketika pada satu sore, kedua wanita super itu
mendatangi rumah kami untuk menagih hutang. Sama seperti hari lainnya, seperti
biasa mama tidak dapat membayarnya dan sambil memelas memohon untuk penundaan pembayaran.
Tapi sore itu begitu spesial, karena kedua wanita perkasa tersebut memaki-maki
mama, menjambak (menarik) rambut panjang hitam kebanggaannya dan sekaligus
kebanggaan Bapak, menamparinya dan melemparnya dengan piring kaleng yang biasa
kami pakai untuk makan nasi catu jatah dari negara tercinta yang dibela
mati-matian di front medan perang Timtim.
Saya hanya
terkesiap pucat pasi tidak berdaya karena selain memang masih anak-anak berusia
7 tahun, juga tidak punya energi untuk membela lantaran kurang gizi. Yang ada
hanya kemarahan, tapi tidak menangis sekalipun wanita mulia yang melahirkanku
ditindas sedemikian rupa. Hikmat yang saya dapat bertahun-tahun kemudian dari
peristiwa yang tertoreh sangat dalam di lapisan memori otak saya itu adalah:
komitmen untuk senantiasa bermurah hati meminjamkan atau memberi sesuatu kepada
mereka yang berkekurangan dan tidak akan pernah meribakan apapun yang saya
pinjamkan.
Komitmen kuat ini
pernah teruji berpuluh tahun kemudian tepatnya pada 2006 ketika kami bertiga,
saya dan dua partner lainnya, menjalankan suatu kantor hukum dan terpaksa harus
bubar karena salah satu partner saya, bersikeras dengan cita-cita untuk menjadi kuasa hukum
dari para rentenir di Jakarta dan sekitarnya!
Selain pengalaman
hidup, hikmat sorgawi mengingatkan bahwa pemungut uang dan yang mengambil riba
tidak akan hidup, karena perbuatan itu adalah kekejian dan harus dihukum mati;
darahnya akan tertimpa kepada dirinya sendiri (Yehezkiel 18 : 13).
Begitu miskinnya
kami di masa itu namun Bapak yang hanya tentara berpangkat rendah, mempunyai
pemikiran yang cemerlang dan visioner. Buktinya adalah beliau menyekolahkan
saya waktu SD dan SMP di sebuah sekolah swasta Katolik terbaik se kabupaten Bogor, yang uang masuk dan SPP bulanannya
terhitung mahal di daerah kami. Sekolah yang diperuntukkan bagi kalangan
menengah ke atas ini biasanya hanya dapat dinikmati oleh mereka yang beretnis
Tionghoa ataupun yang ber-bapak-an seorang
perwira ABRI. Saya ingat waktu itu dari 5 atau 6 orang teman seangkatan saya
yang non Tionghoa, semuanya anak para perwira ABRI. Lalu bagaimana saya bisa
disekolahkan di sekolah mahal tersebut?
Sekalipun seorang
Kopral dua, Bapak saya tergolong cerdik. Beliau datang sendiri menghadap kepala
sekolah SD dan SMP –
tentunya dengan mengenakan seragam ABRI kebanggaannya
- untuk meminta keringanan biaya uang masuk
dan uang sekolah bulanan. Beruntung sekolah mempunyai kebijakan subsidi silang
untuk beberapa siswa yang tidak mampu. Maka terpujilah Tuhan karena saya bisa
menikmati sekolah bagus, mahal dan berkualitas. Namun perjalanan SD sampai
tamat SMP tidaklah berjalan semulus jalan tol Jagorawi yang fenomenal itu. Ya, fenomenal karena saya sendiripun hampir tidak pernah
melewati jalan mulus berbayar menuju ibukota ini.
Sebagai sekolah
papan atas di daerah kami, tentunya kurikulum yang disusunpun dijejali dengan
berbagai kegiatan kurikuler, co dan extra kurikuler yang membutuhkan biaya
di luar pengeluaran rutin bulanan. Contohnya kegiatan renang sebulan sekali,
melukis atau prakarya yang harus membeli peralatannya, sampai praktek mengetik
dan menjahit yang juga diajarkan di sekolah. Pada kegiatan pembelajaran seperti
ini saya sering stress karena tidak punya biaya untuk membeli setidaknya
bahan-bahan utamanya.
Contohnya pelajaran
menggambar. Jangankan membeli cat air dan kuasnya, untuk membeli buku
gambarnyapun saya kesulitan karena ketiadaan biaya. Apalagi untuk praktek
prakarya yang harus membeli triplek, gergaji triplek, lem merk Aica aibon
dan perlengkapan lainnya. Tidak heran saya tidak suka dengan pelajaran ini
padahal darah seni cukup deras mengalir dalam darah saya. Hasilnya, untuk nilai
maksimal 6 di raport adalah prestasi tertinggi dan membanggakan yang bisa saya
raih.
Sebetulnya hal
tersebut adalah konsekuensi logis dari si miskin yang digodok di lingkungan sekolah
kinclong. Jangankan membeli bahan-bahan praktek, bayaran uang sekolah saja
biasanya dilakukan 6 bulan sekali. Loh kok bisa? Banyak duit, sehingga bisa
membayar di muka langsung 6 bulan ke depannya? Jangan keliru!
Mama yang
pontang-panting mengurus 6 anak dengan gaji yang hanya cukup untuk 2 sampai 3
minggu, tentunya tidak sanggup untuk membayar uang sekolah tiap bulannya, demikian
juga uang sekolah adik-adik yang sebenarnya cukup murah karena bersekolah di SD
Negeri di dalam asrama. Uniknya, ini jadi trending
topic orang tua kami untuk membuka front perseteruan yang hingar bingar
dalam keluarga kami. Solusi tetap ada, yaitu uang sekolah sekaligus dilunasi
dengan tunggakan selama 6 bulan saat pengambilan raport atau kenaikan kelas.
Karena raport hanya bisa diambil jika bayaran sudah lunas, maka dengan gagah
perkasa dengan terkadang menggunakan seragam lusuh ketentaraannya, Bapak
mengambil rapor ke sekolah kami masing-masing. Entah darimana beliau
mendapatkan uang-uang bayaran itu, yang kami tahu beliau sangat rajin menabung
dari sumber manapun yang didapat diluar gaji bulanan kopralnya.
Beliau mungkin
pengagum semut dan walaupun saya tidak yakin apakah beliau pernah membaca atau
andaikanpun pernah membaca namun mungkin belum tentu disadari atau dipahaminya
kalimat-kalimat hikmat yang berbunyi: “semut, bangsa yang tidak kuat, tetapi
yang menyediakan makanannya di musim panas” (Amsal 30 : 25).
Yang pasti kala itu
saya sendiripun belum mengerti dengan kalimat di atas, yang saya mengerti dan
lakoni adalah mencabut batang rumput yang panjang, lalu menekan batangnya agar
keluar cairan di ujung bawah pada bagian yang di cabut, lalu memasukkannya ke
lobang semut dengan harapan mendapatkan semut-semut hitam berukuran besar di
lapangan bola tempat para tentara dan penghuni asrama bermain bola dan tempat
kami anak-anak asrama lempar-lemparan sekepal tanah sambil mandi hujan dan
lumpur sepulang sekolah sampai ujung senja, dan berakhir pada gagang sapu yang
menghentak bokong kami karena diayun-ayunkan mama sembari melantunkan
omelan-omelan keras dalam bahasa Batak.
Drama kehidupan ini
biasanya terjadi mulai dari pintu belakang rumah (karena tidak berani masuk
lewat pintu depan) sampai ke dalam kamar mandi. Tapi Mama sangat baik, sudahpun
angkara murka disemprotkannya, namun selesai itu beliau pasti menyuruh kami makan
malam dengan menu kebanggaan keluarga yaitu nasi catu panas berbatu, sayur daun
singkong tanpa santan dan teri sampah yang nikmatnya mengalahkan steak sapi
terbaik yang diimpor langsung dari Australia. Miskin tapi happy.
Sesungguhnya dunia anak-anak yang kujalani sangat manis,
saking manisnya membuat beberapa diantara kami anak-anak Bapak-Mama menderita
Diabetes, menurun dari Mama.
Saya dengan bangga meng-amin-kan semuanya adalah manis
dan baik sekalipun makan saja sulit ditambah lagi suasana di rumah yang lebih
sering bagaikan padang Kurusetra
(medan pertempuran Pandawa-Kurawa pada perang Bharatayudha) namun faktanya, kami semua bisa bertahan bahkan jauh
lebih makmur sampai saat ini, dan jangan lupa, karena semua itu Filosofi Motor
bisa anda nikmati!
Sekalipun hampir tidak pernah membeli mainan anak-anak
sebagaimana kebanyakan anak tentara lainnya yang mayoritas memang pas-pasan,
kami dapat dengan mudah menggunakan akal budi untuk memanfaatkan bahan-bahan
dari sekeliling kami demi memuaskan imajinasi dunia anak-anak dengan berbagai
permainan.
Sebagai “anak-anak kolong” permainan favorit kami
tentunya adalah perang-perangan. Sebenarnya kami hampir tiap hari melihat
senjata asli di rumah masing-masing karena memang di jaman Panglima ABRI
Jenderal Maraden Panggabean, tiap anggota ABRI diperkenankan membawa senjata
kerumahnya masing-masing. Karena hanya seorang kopral, maka Bapak diijinkan
membawa pulang bedil panjang dan bukan pistol yang memang dikhususkan hanya
untuk para perwira saja.
Adanya senjata itu di rumah sering memuaskan khayalan
saya sebagai tentara sejati. Biasanya kalau Bapak sedang tidak di rumah, maka
segera saya memakai baju kopral dan celana hijaunya, memasang kopelrim (ikat pinggang besar tentara) pada
pinggang sambil menyangkutkan sangkur dan termos minuman tentara di kanan dan
kirinya. Kegagahan tentara cilik ini dipercantik lagi dengan helm tentara pada
kepala dan sepatu lars hitam kebesaran. Bayangkan, tentara cilik dengan pakaian
kedodoran ini dengan bangganya mondar-mandir membopong bedil panjang
pada bahu dari depan ke
belakang rumah kami yang kecil tapi panjang berukuran 3 x 12 meter, dan berdindingkan papan-papan panjang yang dipakukan
berderet dari atas ke bawah untuk memisahkan satu rumah dengan rumah anggota
ABRI di sebelahnya.
Tapi parade kejayaan ini hanya dapat kulakukan dalam
rumah, karena bila ketahuan sama Bapak maka kopelrim
kedodoran yang kukenakan itu akan mendarat darurat di bokongku
Peran sebagai tentara yang berperang di luar rumah
bersama teman-teman biasanya kami perlengkapi dengan perangkat “Alutsista”(alat
utama sistem persenjataan) yang dimodifikasi sedemikian rupa demi memenuhi
hasrat kepemilikan atas mainan seperti yang dimiliki oleh para anak perwira di asrama
kami.
Perlengkapan itu meliputi batang daun pisang yang setelah
dibuang lembaran daunnya lalu ditekuk sekitar 30 cm dari bagian pangkal lalu
diikat dengan tali kulit pohon pisang menyerupai tali pengekang kuda. Inilah
kendaraan kuda kavaleri kami yang jalannya menggunakan mesin kaki-kaki kecil
kami yang terlatih berlari di berbagai medan baik rumput, duri, bebatuan, maupun lumpur karena memang bagi
ibu kami masing-masing lebih baik beli setengah kilo telor ayam daripada
membeli sandal untuk mengalasi kaki anak-anak kebanggaannya ini.
Untuk pistol dan bedil panjang kami juga menggunakan
batang daun pisang yang dibentuk seperti pistol dan untuk bedil lebih istimewa
karena bisa mengeluarkan suara yang dihasilkan dari sayatan di bagian batang
tersebut sebanyak 4 – 5 dari bawah ke atas, lalu ditekuk dan diberdirikan. Untuk
menghasilkan bunyi tembakan caranya dengan menyapukannya dengan tangan ke arah
bagian bawah batang daun pisang tersebut. Sensasi suara yang dihasilkan
biasanya makin meyakinkan hati kami masing-masing bahwa kami memang tentara infanteri
sungguhan.
Alutsista lainnya yang sering kami buat adalah senjata
dari batang bambu kecil yang tua dan kuat, yang terdiri dari 2 bagian yaitu bagian laras panjang berukuran
30 cm-an dan laras pendek
sebagai penyodok sepanjang 10 cm-an yang
telah ditambahkan dengan hasil serutan kayu berdiameter 0,50 cm yang ditanamkan
ke lobang bambu yang pendek. Senjata ini namanya Peletok Bambu. Untuk mesiu biasanya digunakan kertas koran atau kertas
pembungkus cabe atau tomat dari warung, yang dibasahi air lalu dipadatkan dan
disumpalkan kemulut laras panjang
bambu, diketok dengan bambu laras pendek untuk kemudian dilesakkan
dengan cepat dan kuat kedalam laras panjang sambil diarahkan ke sasaran. Senjata ini bisa
menimbulkan suara yang lebih keras daripada batang pisang tadi. Ini adalah
perlengkapan senjata personil favorit saya karena bisa ditembakkan
sejauh 5 – 7 meter.
Pada bulan ramadhan kami juga membuat senjata artileri
dari bambu berdiameter 10 cm-an dengan panjang 120 cm an yang diisi dengan air
dan karbit, dilobangi bagian pangkalnya dan untuk menghasilkan letusan ditiup
terlebih dahulu melalui lobang kecil dipangkalnya untuk kemudian disundut
dengan api. Sensasi bunyi yang dihasilkannya sangat luarbiasa bagi telinga
kecil kami. Senjata artileri ini biasanya kami mainkan pada malam hari. Saking
hebatnya, kami sering “diamuk” warga asrama karena menimbulkan bunyi letusan
perang yang memekakkan telinga dan terdengar sampai ke kampung-kampung di sekeliling asrama.
Biasanya jika “amukan” warga sudah ter-teropong oleh dua
tangan
kecil kami yang dibulatkan membentuk
teropong, maka jalan terbaik adalah kabur sambil ketawa hebat sampai-sampai
lupa membawa senjata artileri tersebut yang kemudian menjadi pampasan perang
oleh warga asrama yang telah dirugikan telinganya karena hasrat perang yang
menggebu-gebu dari para anak kolong ini.
Pada matra Angkatan Laut, Alutsista yang kami gunakan
sebagai KRI (Kapal Republik Indonesia-Singkatan yang digunakan di depan nama
kapal-kapal perang Indonesia) sekelas Korvet
(Istilah yang digunakan untuk jenis kapal perang berukuran kecil) adalah dengan
memotong 3 atau 4 batang pohon pisang (gedebok) sepanjang 180 cm-an yang
disusun berjejer lalu disatukan dengan menancapkan kayu pada kedua bagian
pinggirnya dan diperkuat dengan ikatan tali kulit batang pohon pisang. Korvet ini kami layarkan di dua sungai
kecil di pinggir asrama atau di-situ (danau atau telaga yang berukuran kecil)
yang jaraknya 500 meter-an di samping belakang asrama. Jika sudah menaiki korvet ini rasanya bagaikan berada di
anjungan KRI Hang Tuah ataupun Pati Unus! Pelayaran akan lebih intens jika memasuki
musim penghujan karena sungai melimpah dengan air dan arusnya cukup deras.
Untuk kapal sekelas Fregat
(kapal perang berukuran sedang berbobot antara 1.100 – 2.800 ton) kami
menggunakan batang pohong pisang utuh yang ditebang dari pangkalnya. Resikonya
sangat besar untuk pembuatan kapal Fregat
ini karena segera setelah pemotongan akan menjadi target operasi penangkapan
dari para pemilik pohon pisang yang kala itu masih banyak
tumbuh di dalam asrama. Selain itu diperlukan lebih banyak personil untuk
menggotongnya kesungai maupun ke-situ.
Pohon pisang memang pohon kesayangan kami kala itu. Bagi
pramuka -dimana sebagian besar dari kami adalah pramuka di sekolah
masing-masing- pohon kelapa adalah pohon idola yang sulit kami bayangkan
ke-multiguna-annya karena memang di daerah kami jarang pohon kelapa dan sangat jauh dari
pantai. Pohon kesayangan kami adalah pohon pisang dan pohon-pohon buah seperti
mangga, rambutan dan alpukat yang tumbuh di depan atau belakang rumah yang
biasanya menjadi target operasi malam ketika kami memasuki masa remaja.
Pohon pisang bukan hanya dapat memuaskan hasrat
perang-perangan kami dari bagian-bagian tubuhnya, namun buah yang dihasilkannya
memberikan asupan gizi ekstra tanpa harus membeli dan mengolahnya yang penting
tahu kapan saat yang tepat untuk menjarahnya. Selain itu jantung pisangpun
katanya bisa dijadikan sayuran walaupun saya belum pernah melihat langsung
tetangga yang memakan jantung pisang. Maklumlah, keluarga tentara yang
pas-pasan harus piawai memanfaatkan semua sumber daya yang ada disekeliling asrama.
Bagian lain yang bermanfaat dari pohon pisang adalah
daunnya. Selain untuk membungkus ikan, tempe ataupun makanan jajanan, daun pisang yang sudah kering
kerontangpun masih dapat dimanfaatkan.
Diakhir tahun 70-an, di asrama kami masih terdapat
beberapa empang yang memang sudah ada sebelum Republik ini merdeka. Pemilik
empang biasanya langsung mengklaim berdasarkan kedekatan rumahnya dengan empang
tersebut. Memang ada yang agak jauh, namun klaim kepemilikan didasarkan atas
seringnya yang bersangkutan memasuki empang tersebut atau di pinggirnya
dibuatkannya sebuah “kamar khusus” untuk pelepasan atau jamban mengapung.
Hebatnya, empang-empang ini dipakai oleh pemilik tanpa surat kepemilikan untuk
memelihara ikan. Karena memang tanpa modal, maka ikan yang ada di empang
tersebut biasanya bukan karena disebar tapi memang ikan-ikan tersebut sudah ada
dari sananya dan beranak cucu di empang-empang tersebut. Konon lagi membeli
bibit ikan, memberi makanpun para pemilik mengandalkan pada alam yang
menyediakan lumut air, cacing, serangga dan makanan ikan lainnya.
Ada satu penganan yang disumbang secara sukarela oleh
para penghuni asrama. Sumbangan penganan ikan ini biasanya dilakukan sambil
berjongkok mengedan di kamar-kamar atau jamban terapung di pinggir empang.
Bentuk kamar ini biasanya selebar 1,2 m x 1 m, sedangkan tempat menongkrong
digunakan potongan balok kayu yang agak lebar yang ditancapkan pada dasar empang
dan dihubungkan dengan kayu cukup lebar dan kuat yang dipasang sejajar dengan
tanah di pinggir empang. Cukup kuat dan nyaman jika penyumbang penganan ikan
berlama-lama merenung di atasnya sembari mengisap rokok kretek murahan yang
manis di lidah dan bungkusnya berwarna merah.
Dindingnya dibuat dari lembaran bambu yang dibentuk
persegi empat dengan empat pilar yang tertancap ke dalam empang dan diikat
dengan tali batang daun pisang. Untuk menutup kotak permenungan ini selalu
digunakan daun-daun pisang yang sudah kering yang dijejerkan menutupi seluruh
dindingnya. Tinggi dinding ini berkisar 1 – 1,5 m, pokoknya cukup menutupi
kepala para pemberi makan ikan-ikan dan aman karena identitas berdasarkan wajah
tidak akan terlihat dari luar.
Ada pengalaman seru dan menegangkan yang kulakukan di
kamar pelepasan ini. Suatu siang, saya tidak kuasa untuk menahan keinginan
menyumbangkan makanan bagi ikan-ikan di empang yang berada di depan asrama.
Dasar anak-anak yang doyan main korek api, saat itu saya melakukan pelepasan
sambil membawa korek api. Bosan menunggu ritual pelepasan, iseng-iseng saya
menyalakan korek api sambil diarahkan ke daun-daun pisang yang kering kerontang
itu. Tak dinyana ternyata api melahap habis daun-daun kering tersebut sampai semua dinding tinggal hanya
kerangkanya saja. Karena panik, sambil berusaha menahan celana, saya kabur meninggalkan monumen pelepasan ini. Celana
terpaksa dipegangi karena belum cebok dan berlari kearah sungai dekat empang
tersebut untuk kemudian membasuh lobang pelepasan di sana.
Hampir 1 minggu saya menyembunyikan diri dari incaran Kopral
satu Jono yang adalah pemilik empang dan petilasan pelepasan tersebut. Kopral
yang botak dengan kumis lebat ini hampir tidak pernah tersenyum sama sekali.
Barangkali sudah bawaan lahir atau terpaksa demikian karena memang jarang ada
thema kehidupan yang dapat di senyumi oleh seorang kopral bergaji pas-pasan.
Sebenarnya saya tidak perlu takut sama Kopral Jono, karena selain teman Bapak,
toh beliau juga tidak tahu siapa yang telah membakar petilasan kramat tempat
memberi makan ikan-ikannya itu.
Saya sempat mengintai hasil perbuatan iseng pembakaran
tersebut dan takjub akan kerusakan yang dibuat karena ternyata yang tersisa
hanya tempat nongkrongnya saja. Mungkin karena kesal, Kopral Jono tidak pernah
lagi memperbaiki bilik perenungan tersebut. Sejak 1988 ketika saya harus
merantau jauh untuk menimba ilmu di perguruan tinggi negeri di luar jawa, saya
sudah tidak tahu lagi dimana keberadaan Kopral Jono dan keluarganya, apakah
masih hidup atau sudah meninggal, yang pasti sampai saat ini saya belum pernah meminta
maaf atas perbuatan tersebut.
Meskipun demikian,
saya sudah minta ampun kok atas semua perbuatan dosa dan kekhilafan di masa
lalu, langsung kepada pencipta Kopral Jono. Saya percaya dengan sabda yang
berbunyi: “ Jika kita mengaku dosa kita, maka IA adalah setia dan adil,
sehingga IA akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala
kejahatan” (1 Yohanes 1 : 9).
Waktu makan bangku kuliahan dan mendapat kesempatan
menyelami dunia Filsafat umum, Filsafat Agama, Filsafat
Pancasila dan Filsafat Hukum
dengan total jumlah SKS (Sistem Kredit Semester) sebanyak 16 kredit, saya
terkesan dengan peristiwa kisah para filsuf yang mewarnai dunia filsafat.
Ada satu kisah yang sangat mengesankan yang dilakukan
oleh seorang filsuf saat dia mengimplementasikan idealisme alirannya dengan cara yang sama dengan yang
saya lakukan saat nongkrong di bilik pelepasan di awal tahun 80-an itu. Dia adalah Diogenes, murid dari
Anthistenes pencetus filsafat Sinis
di Athena sekitar 400 SM. Diogenes pernah hidup dalam sebuah tong dan tidak
memiliki apapun kecuali sebuah mantel, tongkat dan kantung roti. Memang sangat
sederhana karena itulah yang diyakini dan dijalani para filsuf aliran Sinis
ini. Bagi mereka kebahagiaan tertinggi ada pada ketidaktergantungan pada segala
sesuatu yang acak dan mengambang sehingga semua orang dapat meraihnya dan tidak
akan pernah lepas lagi.
Suatu saat Diogenes
yang sedang duduk di sebelah tongnya sambil menikmati cahaya matahari didatangi
oleh Alexander Agung. Raja besar ini berdiri di depan Diogenes dan mungkin
karena keprihatinannya Alexander bertanya apakah ada yang dapat dilakukannya
untuk menolong Diogenes.
Serta-merta
Diogenes menjawab Ya dan melanjutkan perkataannya yaitu agar Alexander Agung
bergeser dari hadapannya karena dia telah menghalangi Diogenes menikmati sinar
matahari. Suatu kenikmatan sederhana yang gratis dan membahagiakannya. Suatu
kebahagiaan dan kekayaan yang tidak kalah dengan kekayaan dan kebahagiaan yang
dimiliki sang raja besar tersebut.
Para penganut
aliran Sinis yakin bahwa orang tidak perlu memikirkan kesehatan bahkan
penderitaan dan kematianpun tidak boleh menggangu mereka. Hebatnya lagi kaum
Sinis tidak boleh membiarkan diri tersiksa karena memikirkan kesengsaraan orang
lain. Kaum Sinisme tidak peduli terhadap penderitaan sesamanya.
Ritual Diogenes
sesungguhnya sama dengan yang kulakukan di bilik pelepasan. Kesamaan pertama
dan paling utama adalah kami sama-sama miskin. Kedua, kalau sudah duduk
nongkrong di bilik itu, aku pasti sudah tidak peduli lagi akan sekelilingku.
Tidak pada ikan-ikan yang bersorak-sorai berdesakan menanti dropping dari “langit” di atasnya, tidak
juga pada pemilik empang yang mendapat “rejeki gratis” untuk ikan-ikannya, dan tentunya saat itu aku tidak peduli apa
yang akan terjadi di masa depan.
Yang penting
kenikmatan sesaat harus maksimal dihayati pada prosesi pelepasan ini. Suatu
kekayaan batiniah dan jasmaniah yang saling mengkontaminasi dan eksklusif hanya
milikku. Tidak heran, jika di saat ritual seperti ini, seluruh jaringan syaraf
masa kanak-kanak-ku melonggar sejenak dari ketegangan rutinnya yang dipicu
kemiskinan dan “perang Bharatayudha” yang berlarut-larut di rumah.
Tentu anda berpikir
darimana saya bisa bermotor karena sekedar beli mainan murahan yang sederhana
saja tidak mampu. Memang saat itu, di asrama kami belumlah banyak yang punya
motor. Sekali lagi, andaikanpun ada pasti milik salah seorang perwira.
Keterampilan dasar
bermotor sebenarnya saya dapat dari kemampuan mengemudikan sepeda. Sampai tamat
Sekolah Dasar, saya sebenarnya belum pernah mencoba menggunakan sepeda. Memang
ada beberapa keluarga yang sudah punya sepeda, tetapi karena termasuk barang
mewah dan diperlakukan bak Harley
Davidson CVO Ultra yang limited edition
oleh pemiliknya, maka jangan harap bisa meminjamnya apalagi peruntukkannya
untuk sekedar belajar naik sepeda.
Kalau sudah
demikian, maka Social Jealously (kecemburuan
sosial) ternyata bisa juga berlaku diantara kaum miskin seperti kami. Rasanya
penstrataan sosial serta merta terjadi di antara keluarga para tentara setia
ini, jika ada diantara mereka yang mampu membeli barang-barang yang
terkualifikasi mewah untuk ukuran tentara saat itu. Barang yang tergolong mewah
selain sepeda adalah Televisi, seperangkat meja makan, sofa, perhiasan bahkan
kemampuan makan di sebuah restoran yang diceritakan kepada warga asrama
lainnya, otomatis dianggap telah terjadi gradasi
strata sosial yang cukup signifikan.
Andaikan Sigmund
Freud yang pakar psikologi sosial itu tinggal di asrama kami, mungkin beliau
tidak perlu repot-repot mencari responden untuk obyek penelitian keilmuannya!
Sekali lagi saya
harus sampaikan kehebatan Bapak yang visioner. Beliau mungkin juga merasa tidak
nyaman ketika anak-anaknya hanya bisa menjadi penonton lalu lalangnya
sepeda-sepeda milik teman-teman kami. Daripada anak-anaknya yang setengah lusin
itu mengalami gangguan kejiwaan rendah diri, maka beliau harus segera mengambil
tindakan cepat sebagai penghayatan atas slogan militer yaitu: “Tan Hana Wighna Tan Sirna” yang artinya
“tak ada rintangan yang tak dapat dilalui” – Slogan Korps Pasukan Katak
Angkatan laut Republik Indonesia -. Inilah hebatnya sang kopral!
Tiba-tiba suatu hari beliau membawa sepeda baru ke rumah dan dengan bangganya memproklamasikan kepemilikan sah atas sepeda tersebut kepada kami anak-anaknya, serta menugaskan saya sebagai penanggung jawab operasionalnya.
Tiba-tiba suatu hari beliau membawa sepeda baru ke rumah dan dengan bangganya memproklamasikan kepemilikan sah atas sepeda tersebut kepada kami anak-anaknya, serta menugaskan saya sebagai penanggung jawab operasionalnya.
Bayangkan,
sepeda ber-merk Crown dengan bangku
panjang yang memiliki sandaran punggung tersebut tentunya mahal harganya untuk
ukuran keluarga kami. Entah darimana beliau mendapatkan dana pembeliannya
(mungkin cashbon dari koperasi di kantor?),
yang saya tahu dengan pangkat kebanggaannya itu, Bapak sama sekali bukanlah
koruptor, karena memang tidak punya posisi strategis sebagai pembuat dan
pemutus suatu kebijakan.
Dalam tingkat
implementatifnya, saya pernah merasakan ke-idealis-an Bapak ini. Suatu kali,
saya yang sudah duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama diwajibkan mengikuti
pelajaran co-kurikuler yaitu mengetik. Untuk mesin ketik, disediakan oleh pihak
sekolah, namun untuk praktek dan ujian praktek, para siswa diwajibkan membawa
kertas sendiri.
Saya yang pernah
ikut ke kantor Bapak tahu benar bahwa di kantornya banyak kertas-kertas yang
bisa dipakai untuk mengetik. Saya pernah meminta kepada Bapak untuk membawa
beberapa lembar kertas tersebut dari kantornya, tapi beliau menjawab:
“Kertas-kertas itu bukan punya Bapak tapi punyanya Negara, kita tidak boleh
mengambilnya sekalipun cuma satu lembar!” Jawaban menyebalkan bagiku saat itu,
namun menginspirasi seluruh perjalanan hidupku untuk tidak pernah mengambil
yang bukan merupakan hakku. Nilai idealisme hidup yang berpadanan dengan
perintah pemilik langit dan bumi yang berbunyi: “Jangan mencuri!” dan “Jangan
mengingini apapun yang dipunyai sesamamu!” (Keluaran 20 : 15, 17b).
Segera setelah kami
memiliki sepeda tersebut, saya melakukan pelatihan mengendarai yang intensif.
Tidak hanya pagi, siang atau sore bahkan malampun saya schedule-kan untuk menguasai The
Crown yang masih kinclong itu. Dasar anak kolong, kurang dari seminggu,
saya sudah mampu bermanuver dan “ngepot”
di jalan aspal asrama yang penuh lubang karena KW 3. Saya bersikeras harus
mampu menstimulasi seluruh jaringan syaraf keseimbangan di tubuh ini agar mahir
mengendarainya dan mampu membonceng adik-adik. Kerja keras mengendalikan The Crown
menjadikan saya sebagai salah satu anak kolong yang jago ngebut. Saking jagonya
terkadang saya show of force mengendarai
The Crown tanpa memegang kemudi!
Terobosan besar
kemampuan mengendarai kendaraan beroda dua kembali terbuka lebar dan masuk ke
kelas kendaraan yang bermesin alias motor.
Saya ingat sekali
ketika kelas 3 SMP sering datang ke rumah kami saudara yang memiliki motor.
Saat itu Bapak sudah berpangkatkan Sersan Dua (Serda). Perubahan warna pada
pangkat garis bengkok dari merah ke kuning ini sangat membanggakan bagi Bapak.
Perubahan tersebut telah menaikkan derajat dan kewibawaannya yang semula di
level Tamtama masuk ke level Bintara. Kenaikan pangkat ini bukan hanya
menaikkan gajinya yang pas-pasan –walaupun sebenarnya kenaikan gajinya tidak
seberapa- namun untuk level ini berarti beliau setidaknya punya anak buah di
lingkungan kantornya. Level Serda apalagi yang diraih dengan susah payah cukup
lama biasanya mendapatkan tugas sebagai Komandan Regu!
Biarpun cuma regu,
yang penting KOMANDAN!
Dalam kehidupan
sosial, efek berantai garis bengkok kuning ini cukup luarbiasa. Masyarakat
Batak yang belum terlalu banyak saat itu di daerah kami, menjadikan Bapak
sebagai “Komandan” juga dalam komunitas ini. Selain sebagai ketua perkumpulan
marga Panjaitan, Tuan Dibangarna (nama nenek moyang orang Batak yang menurunkan
4 marga besar yaitu: Panjaitan, Silitonga, Siagian dan Sianipar) juga beliau
didaulat menjadi Penasehat perkumpulan orang-orang Batak se Kecamatan di daerah
kami.
Pamor sebagai
anggota ABRI di masa itu sangatlah
besar. Orde baru memang sangat memanjakan ABRI, oleh karenanya mulai dari RT
sampai menteri (bahkan Presiden) biasanya diangkat dari anggota ABRI.
Anggota ABRI pun
dianggap tahu segalanya, sehingga tidak heran menjadi tempat bertanya, mengadu
bahkan “menyetor” demi mendapatkan perlindungan (backing) untuk semua masalah.
Demikian juga
dengan Bapak, saat itu makin banyak keluarga-keluarga Batak yang berkunjung ke
rumah. Mulai dari urusan mencari pekerjaan, mendamaikan mereka yang berkelahi,
suami-istri yang terancam bubar rumah tangganya, menjadi wali bagi yang
menikah, bahkan sampai urusan masuk rumah baru dan mereka yang berurusan dengan
polisi pun, Bapak selalu diminta pertolongannya.
Sekali lagi saya
harus akui Bapak memang hebat. Di mata saya waktu itu, Bapak adalah superhero dan tidak ada satupun makhluk
yang berani melawan Bapak. Apakah kemudian perpindahan status ini membuat kami
lebih makmur? Sama sekali tidak! Karena Bapak memang bila membantu siapapun
selalu tulus dan tidak mengharapkan imbalan apapun.
Sikap idealis ini
mendapat tentangan super keras dari Mama yang memang masih tetap setia
morat-marit memikirkan gaji Bintara rendah yang harus kuat melangkah dari
tanggal 1 sampai 31 tiap bulannya, sebelum Bapak gajian kembali. Mama sering
bilang bahwa Bapak terlalu baik kepada siapapun, sementara mereka yang sudah
berhasil ditolong Bapak pasti lupa sama jasanya Bapak. Mendapat kritikan pedas
ini Bapak Cuma bilang: “Biar saja, toh nanti anak-anakku yang akan merasakan
hasilnya di masa depan!”
Diantara para
saudara yang datang itu, satu dua diantaranya membawa sepeda motor. Saya sering
terpesona melihat sepeda bermesin yang tidak perlu capek-capek digowes tapi
sudah dapat meluncur kencang.
Sekali waktu saya
minta pinjam salah satu motor tersebut. Saya yakin pasti dipinjamkan karena
bukankah mereka datang pun kebanyakan untuk meminta bantuan sama Bapak?
Inilah
awal pengenalanku terhadap ke-aji mumpung-an lantaran fungsi dan kedudukan
Bapak. Terpujilah Tuhan karena Bapak bukan seorang Bupati atau Gubernur atau
bahkan seorang Panglima Daerah Militer, karena kalau tidak, mungkin saya akan
masuk ke memorabilia sejarah Republik ini sebagai pengusaha instant
memanfaatkan kedudukan orang tua seperti banyak dilakukan kaum “berpangkat” di
negara ini.
Sebetulnya
Bapak dan Mama selalu melarang jika saya meminjam motor dari saudara yang
datang. Tapi dasar anak kolong, belumpun selesai omelan pada kalimat kedua,
saya sudah lompat dan sampai di motor.
Pertama
kali motor yang saya pakai untuk uji coba adalah dari kelas bebek. Kalau tidak
salah dari Honda Bebek C-70. Saya lupa siapa saudara pemilik sepeda bermesin
ini. Yang pasti ketika pertama kali mengemudikannya, saya tidak sampai
terjatuh, hanya terlonjak sedikit karena memang belum biasa meng-gas motor.
Karena tidak menggunakan kopling dan hanya memindahkan dari gigi satu ke gigi dua
dan seterusnya, motor ini sangat mudah dikemudikan.
Begitupun,
karena minimnya pengetahuan dan keterampilan menggunakan motor, saya hanya
menggunakan gigi 1 dan 2 selama mengendarainya. Jika sudah masuk ke gigi 2 maka saya matikan dulu
mesinnya, lalu memulainya lagi dari gigi 1. Untunglah sipemilik tidak tahu.
Tapi
andaikanpun tahu, saya yakin garis kuning bengkok sang Sersan akan membungkam
sang pemilik untuk protes!
Sensasi
bermotor luarbiasa nikmatnya! Lebih nikmat dari semua sensasi zat adiktif yang
memang tidak pernah saya coba. Jangankan narkoba, rokok saja belum pernah diisap
seumur hidup saya. Jadi wajarlah kalau saya meng-klaim lebih nikmat sensasi
bermotor ini daripada memakai zat adiktif apapun.
Selain
takjub karena tidak perlu mengayuh, angin dingin yang menerjang tubuh karena
ter-terobos oleh motor sungguh nikmat sekali. Belum lagi perasaan dikagumi oleh
tetangga-tetangga yang melongo sambil meneteskan air liur karena ingin juga mencoba
motor pinjaman ini.
Perasaan
hebat dan kaya mengalir deras di benakku dan melahirkan gaya tubuh yang sombong
dari si miskin yang mendadak sontak kaya sejenak. Laksana dagelan “Petruk dadi Raja” itulah kondisi
kejiwaanku saat itu.
Kondisi
kejiwaan di atas motor ini mengingatkan saya pada kata-kata bijak yang
berbunyi: “Ada orang yang berlagak kaya, tetapi tidak mempunyai apa-apa, ada
pula yang berpura-pura miskin, tetapi hartanya banyak.” (Amsal 13 : 7).
Saat
itu saya memang berlagak kaya, suatu kesempatan emas yang jarang terjadi dan
faktanya, sejarah membuktikan bahwa keluarga kami memang tidak pernah punya
motor sampai di kemudian hari saya mampu membelinya sendiri. Ketidak punyaan motor
sebenarnya bukan hanya karena miskin, tapi belakangan saya tahu bahwa Bapak
yang superhero ternyata tidak bisa mengendarai motor! Jadi andaikanpun beliau
punya banyak uang, katakanlah dari menemukan emas berlian di medan perang
Timor-timur, namun rasa-rasanya mustahil beliau membeli motor karena memang
tidak bisa mengendarainya. Kecurigaan saya terjawab sudah, saat teringat di
masa The Crown, beliau tidak pernah
mencobanya bahkan sekedar mengajari saya naik sepeda!
Filosofi
motor menuntun hati, pikiran dan sikap rohani saya untuk semakin respek atas
pengorbanan, idealisme dan kepolosan Bapak sang My Superhero!
Filosofi
motor juga menjadi kunci pembuka pintu masa lalu dan membongkarnya dengan
hikmat sorgawi. Semua pada akhirnya terasa indah dan menyenangkan. Bahkan saat
mengetik tulisan inipun bibir saya tersenyum sembari mata berkaca-kaca dan hati
menaikkan rasa syukur kepada Tuhan yang maha pengasih dan penyayang.
Pada Filosofi Motor edisi ini, saya mendapatkan hikmat
dan keyakinan mendalam akan kebenaran kalimat Illahi yang berbunyi: “Kita tahu
sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan
kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil
sesuai dengan rencana Allah” (Roma 8 : 28). Tuhan Yesus memberkati.
*SP*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar