Translate

Kamis, 26 Juli 2018

RESPONDEO ERGO SUM RASA LEGOK PERMAI Oleh: Saor R.S.S.S. Panjaitan


RESPONDEO ERGO SUM RASA LEGOK PERMAI
Oleh: Saor R.S.S.S. Panjaitan


Pada 22 Juli 2018, seorang sahabat memposting satu quote menarik yang dikutip dari seorang filsuf fenomenal di belantara sejarah filsafat dunia. Quote-nya berbunyi: Respondeo Ergo Sum (Karena tanggung jawab maka saya ada). Saya tergelitik dengan quote tersebut karena memang gemar menjelajati literatur filsafat sejak muda terlebih disaat membacanya saya sedang siaga satu menjaga buah hati saya si bungsu yang ramai melontarkan isi perutnya sepanjang malam, satu hari setelah quote tersebut diposting.

Dalil yang meng-adagium tersebut diujarkan oleh salah satu filsuf terbesar abad dua puluh yang lahir pada 1906 di Kaunas, Lithuania. Dialah Emmanuel Levinas yang lahir dari keluarga Yahudi dimana pada saat dimulainya Perang Dunia Kedua ia masuk dinas militer Perancis namun sejak 1940 dan sampai lima tahun berikutnya menjadi tawanan Jerman. Suatu keadaan yang sangat tidak menyenangkan sebagai anggota militer karena tidak dapat mengangkat senjata. Demikianpun keadaannya, ia masih beruntung karena NAZI Jerman sama sekali tidak tahu bahwa ia adalah Yahudi tulen sementara seluruh keluarganya di Lithuania dibantai karena darah Yahudinya. Saya katakan beruntung dan tentunya menguntungkan dunia filsafat karena jika ia tewas sebagai tahanan militer karena keyahudiannya, maka dunia tidak akan pernah dapat menikmati hasil karya berpikirnya seperti:  Totalité et Infini (Totalitas dan Yang-Tak-Terhingga) yang adalah disertasi yang mengantarkannya menjadi guru besar filsafat di kota Poitiers, untuk kemudian menjadi guru besar di Paris-Nanterre dan Sorbonne. Karya kedua yang fenomenal adalah Autrement qu'ètre ou au-delà de l'essence (Lain Daripada Ada atau di Seberang Esensi), juga berbagai tulisan lainnya seperti Humanisme Manusia Lain (1972), Tentang Allah Yang Sampai Pada Pikiran (1982), dan Etika & Tak Berhingga (1982) yang impresif dan penting sebelum meninggal pada 25 Desember 1995.

Levinas adalah filsuf dan juga teolog. Hal menarik darinya adalah konsistensi dalam menuangkan pikiran menjadi tulisan yang terpisah yaitu filsafat dan religi. Kedua bidang ilmu tersebut benar-benar dipisahkannya walaupun sebenarnya tak dapat terpisahkan. Setiap tulisan yang mengkaji filsafat benar-benar dilakukannya sebagai filsuf bukan teolog, demikian pula sebaliknya. Saat berfilsafat secara gamblang ia menjauhkan Taurat dan Talmud sebagai sumber otoritas, namun sedikit pengecualian adalah ketika menjelaskan eksistensi manusia secara filosofis, ia ‘meminjam’ simbol-simbol dan gagasan Yahudi hanya agar dapat membuka dimensi-dimensi baru demi pemahaman dan penghayatan yang lebih mudah. Suatu strategi yang eksplisit tidak menggunakan/mengutip dalil dogmatika maupun etika religi Yahudi. Karenanya, siapapun yang ingin menimba lebih banyak lagi ilmu filsafat dari Levinas tentunya tidak perlu khawatir terkontaminasi kenikmatannya dalam bertuhan apalagi apriori karena berbeda keyakinan dengannya. Para Yahudi biarlah berpuas ria dalam bertuhan, dan bagi kebanyakan orang yang ‘jijik’ atau anti Yahudipun silahkan berpuas ria dengan keberagamaannya, lakum dinukum waliyadin!.

Yahudi bagi sebagian kalangan tentunya serta merta menimbulkan alergitas yang merantai logika dan hati nurani. Bagi mereka yang berseberangan, apapun dan siapapun yang terhubung dengan Yahudi harus sesegera mungkin dicampakkan ke dalam ‘tong sampah’ logikanya. Karena telah terbuang dan terkemaskan kenajisan, membuat logika haram untuk menyentuhnya. Ketika ini dilakukan oleh manusia maka matilah tanggung jawabnya untuk memikirkan eksistensi dan melakukan kebaikan bagi sesama secara universal, suatu bentuk pembunuhan karakter berdasarkan cara pandang identitas yang saat ini sedang panen raya di dunia politik dan religi Indonesia yang gemar ber-SARA ria. Inilah ironi peradaban dari Homo Religious (manusia beragama) yang gemar berkomparasi agama dari sudut eksklusifitas kaumnya demi mendapatkan bahkan memaksakan pengakuan absolut atas kebenarannya sendiri sementara di luar kaumnya adalah serba salah bahkan mutlak kafir sehingga sekedar dialog sederhana untuk menemukan jembatan toleransipun sudah tertutup rapat-rapat dan karenanya tidak mungkin untuk memikirkan dan mengusahakan keselamatan sesama di luar kaumnya!

Respondeo ergo sum Levinas menampik perbedaan yang menyebabkan hilangnya tanggung jawab pada diri tiap orang untuk mengusahakan keselamatan sesama. Tidak dapat dipungkiri bahwa sumber utama yang menjadi acuan dari berfilsafat dan berteologinya Levinas memang terambil dari tiga hal yang membuka peluang kecurigaan penentang Yudaisme untuk memeluk mesra dalil-dalil filsafatisnya. Ketiga sumber itu adalah: Tradisi Yahudi, Sejarah Filsafat Barat dan Pendekatan Fenomenologis (Aliran yang membicarakan fenomena (gejala) dari segala sesuatu yang menampakkan diri dan terlihat secara indrawi). Levinas juga penuh dengan kegairahan dalam cinta saat menggali lebih dalam tafsir Talmud yang merupakan kiblat referensi dari keyahudian. Namun dari semua sumber sahih yang digunakannya tersebut justru melahirkan dalil respondeo ergo sum!, dengan dalil tersebut Levinas ingin mengajarkan pada dunia bahwa teramat sangat penting untuk memikirkan dan mengambil tindakan yang nyata untuk menyelamatkan sesama karena melalui laku tersebut sebenarnya manusia itu sendiri sedang berproses menjadi dirinya sendiri.

Fenomenologisnya menguatkan bahwa saat berelasi dengan seseorang kita semestinya mendapatkan kesadaran diri terpanggil untuk bertanggung jawab atas keselamatannya. Ini adalah jenis panggilan yang semestinya disadari oleh setiap orang sebagai panggilan yang diistilahkan oleh Levinas dari ‘Yang-Baik-Tak-Terhingga’ sehingga siapapun juga seharusnya memenuhi panggilan tersebut tanpa pandang bulu. Baginya, setiap orang adalah titipan dari Yang Tak Terhingga sehingga menjadi kewajiban yang harus dipertanggung jawabkan secara total yang otomatis muncul saat berhadapan muka dengan muka dan bertindak aktif (jemput bola) tanpa menunggu orang tersebut menyapa/meminta terlebih dahulu. Panggilan tersebut terimplementasikan melalui bentuk nyata perbuatan baik atau tidak melakukan kejahatan kepada siapapun, suatu pengejawantahan dari relasi etis yang non teoritis! Melalui respondeo ergo sum, Levina meneriakkan pada dunia bahwa ia menemukan Allah dan tanggung jawab manusiawinya di dalam setiap wajah sesama yang ditemuinya sehari-hari.

Jelaslah bagi kita saat respondeo ergo sum disuarakan oleh Levinas, ia sedang bicara tentang kebaikan, keadilan dan keselamatan untuk sesama. Ini adalah bentuk tanggung jawab yang bukan saja bermuara kepada kekekalan namun mesti dilakukan saat manusia menjalani kesehariannya dan tentunya harmonisasi kehidupan bisa tercipta diantara sesama keturunan Adam. Hal ini penting dipahami dengan baik oleh ‘pecinta’ dalil tersebut karena mungkin saja kalimat tersebut ditafsirkan lain untuk kemudian digunakan sesuai selera masing-masing pada segala kasus.

Respondeo ergo sum bukan bicara tentang eksistensi si Butet sang sekretaris yang harus menanggung-jawabi korespondensi dari perusahaan berbentuk Commanditaire Vennootschap (Persekutuan Komanditer/CV) yang menampung dan mendistribusikan telur ayam tempatnya bekerja ataupun juga bukan tentang si Poltak yang bertanggung jawab untuk membereskan kursi-kursi gereja sebelum digunakan untuk ibadah rutin mingguan. Dalil tersebut juga bukan hendak menegaskan tanggung jawab gubernur yang diduga smart namun gagap saat menangani penggalan jalan ataupun sungai yang mengumuh di wilayah kerjanya lalu kemudian bersilat kata dan membelai-belai kambing hitam tanpa solusi berintegritas. Bukan juga tentang tanggung jawab Letnan Kolonel (CBA) Jonrey Sitanggang yang harus melaksanakan perintah komando dari Panglima Divisi Infanteri 1 Kostrad tentang pergeseran pasukan (Serpas) dari tiga kompi gabungan dari Brigade Infanteri 1 Kostrad yaitu Yonif Para Raider 328/Dirgahayu, Yonif Para Raider 305/Tengkorak dan Yonif Para Raider 330/Tri Dharma yang melaksanakan latihan gabungan di bukit Sanggabuana Karawang.

Dalil tersebut menegaskan peran seorang ayah yang mengorbankan waktu dan karirnya demi menjaga si buah hati yang terbaring lemah karena apa yang ada di lambung dan ususnya disemprotkan melalui mulut dan anus diluar metabolisme tubuh yang normal.
Dalil itu juga bicara tentang si Lakkos yang karena keterbatasan waktu dan kesehatannya mengalihkan skala prioritas pada pemenuhan waktu dan perhatian bagi keluarganya yang bertahun-tahun mengalah pada aktivitas kerohaniannya yang membabi buta demi menyenangkan komunitas yang rajin mengelu-elukan kerajinan, inovasi, kreatifitas bahkan sampai keberaniaannya namun disaat lain mengendor bahkan bertransformasi menjadi celaan, hujatan bahkan fitnah ketika kontribusinya dianggap berkurang bahkan melemah. Bagi si Lakkos, implementasi dari teori keselamatan yang dipahaminya dengan baik sesuai dengan panggilan dari Yang Baik Tak Terhingga mesti dialihkan terlebih dahulu bagi orang-orang terdekat di keluarga inti dan lingkungannya, namun bagi para pencemooh yang tak terpuaskan semua kemauannya, dalil tersebut justru berseberangan dengan mereka.

Dalil tersebut adalah bentuk kebaikan sederhana berupa sepotong roti dan segelas air yang diberikan si Polan saat melihat si Julkifli pucat pasi kelaparan di sebelahnya pada deretan bangku di gerbong commuter line. Ini adalah tindakan langsung kepada satu subyek yang dapat menyelamatkan terlebih dahulu jasmaninya untuk kemudian merefleksi ke dalam jiwa Julkifli tanpa mesti mengumbar kalimat-kalimat indah dari kitab suci dan memamerkan tindakan kebajikan tersebut kepada banyak orang demi popularitas ataupun suksesnya suatu program kerja yang dapat mendongkrak keharuman performa yang kelak diharapkan mempengaruhi karir berikutnya si Polan di masa depan.

Dalil itu juga bicara tentang berbagi kata-kata Illahi kepada siapapun dan dimanapun tanpa pamrih, tanpa pujian dan tanpa merindukan rupiah sebagaimana yang sering dirindu dendamkan oleh mereka yang mestinya melakukannya sebagai profesi dan berbayar. Respondeo ergo sum berteriak lantang fokus kepada subyek-subyek yang harus diselamatkan dengan nilai-nilai Illahi tanpa kemudian menjadi merasa lebih hebat, pintar ataupun dibutuhkan bahkan memposisikan diri sebagai tuan yang kemudian blunder dalam kata-kata dan tindakan yang mengecewakan subyek-subyek yang sebelumnya dijadikan sasaran untuk proyek keselamatan.

Dalil Levinas adalah dalil sederhana yang menarik jiwa kepada belas kasihan dan empati pada wajah-wajah lugu, menderita, ceria, murung, putus asa, pucat pasi, bahkan beringas untuk sesegera mungkin menjadi sasaran kebaikan yang konkrit dan berkesinambungan sekalipun tanpa berbalas atau bahkan sebaliknya berbalaskan tuba.

Levinas memberikan kepada kita bagaimana melakukan kebaikan sebagai wujud kedewasaan rohaniah tanpa tedeng aling dan siap untuk ditolak ataupun disalah mengerti karena memang nilai-nilai Illahi yang membumi lebih sering menjengkelkan bumi yang makin buram menuju kegelapan pekat karena ulah makhluk-makhluk Homo Religious yang lebih gemar memamerkan aksesoris dan mengejar-ngejar keuntungan yang diklaimnya sebagai konsekuensi logis dari semua jerih payahnya. Keberanian Levinas menyuarakan pentingnya keselamatan bagi sesama adalah keberanian yang menabrak monumen-monumen teori relasi sosial yang sudah ditancapkan terlebih dahulu oleh para gurunya sendiri seperti Martin Heidegger yang minim akan dimensi etis ketika berbicara tentang filsafat ‘Yang Ada’ (Subyek yang diakui maha ada namun anonim) ataupun Edmund Husserl (Bapak Fenomenologi) yang terlalu mengedepankan intelektualitas terhadap intuisi atau sederhananya terlalu mementingkan referensi teoritis sebagai suatu yang sangat penting sebelum melakukan perbuatan baik yang sungguh-sungguh nyata dilakukan.

Keberanian Levinas ini adalah keberanian seorang mahasiswa on the job training kepada supervisor nya yang melenceng dari standard operating procedure yang sudah baku berlaku di di Room Division Department hotel sekelas Alila Villas Uluwatu di Bali, ataupun keberanian seorang siswa SMP yang mengingatkan guru fisikanya yang silap menggunakan formula V = X/T pada pencarian percepatan suatu benda yang bergerak. Keberanian yang bahkan super tabu dilakukan saat seorang anggota komunitas rohani mengingatkan ‘boss’ perkumpulan tersebut yang mendewakan tata laksana organisasi namun bertendensi menghantam kebenaran ayat-ayat suci yang menjadi pegangan tertinggi dari perkumpulan tersebut.

Penting untuk diketahui bahwa sejak dimulainya Levinas berstudi filsafat di usia 17 tahun (1923), pada 1928 – 1929 selama 2 semester ia berguru pada Edmund Husserl dan Martin Heidegger di Freiburg, Jerman. Atas kritik (perlawanan argumentasi logika) dari muridnya tersebut Husserl maupun Heidegger tidak pernah menyatakan bahwa Levinas adalah Malin Kundang atau Si Mardan versi Jerman dan Perancis. Sebaliknya para maha guru ini justru bangga karena muridnya dapat menyaingi bahkan melebihi kepandaian mereka sekalipun kepandaian tersebut ditunjukkan justru dengan mengkritisi karya terbaik mereka. Rasa-rasanya Husserl dan Heidegger terpesona dan haqulyakin akan kebenaran simalang penyair berbakat yang gemar menyuarakan kebenaran, keadilan, dan Hak Asasi Manusia namun hilang mati tak bernisan tanpa harta dan kejayaan yaitu Wiji Thukul yang pernah menyairkan: “Bila rakyat tidak berani mengeluh itu artinya sudah gawat, dan bila omongan penguasa tidak boleh dibantah, kebenaran pasti terancam”. Rakyat yang dimaksud bisa bermakna orang-orang dalam satu negara, dan secara analogis bisa juga orang-orang yang berada dalam organisasi formal dan non formal sampai jamaah dari suatu komunitas rohaniah.

Respondeo ergo sum ada untuk dinikmati, dilakukan dan diutak-atik sebagai suatu kajian etis praktis dalam berelasi sosial. Pengkajian tentunya boleh dilakukan oleh siapapun termasuk para pintar dan bijak yang mencoba menyuarakan dalam bentuk lisan maupun tertulis dalil Levinas baik yang berada di Universitas Oxford di negeri Three Lions maupun di ruang kelas  saat Nelson Goodman sang penulis buku Fact, Fiction, and Forecast berceloteh tentang filsafat di Universitas Harvard sampai diskusi ‘Politik Bermartabat’ yang menampilkan bang Rocky Gerung sebagai aktor utama berdasarkan pesanan, bahkan oleh si bodoh yang masih terus bersiaga satu memelototi bungsu kesayangannya sembari mencoba menjelajahi makna keselamatan bagi sesama sementara kantuk lebih merajai raganya disepanjang malam yang hangat dimakan kemarau tahunan. Si bodoh yang bagaikan chef lulusan program studi perhotelan bidang food production di sebuah Akademi Pariwisata dipinggiran Jakarta yang belum juga terakreditasi, berusaha meramu rasa respondeo ergo sum sesuai selera dan pengalamannya di rumah kecilnya di kampung yang teralienasi oleh Mbah Google Map yang bernama Legok Permai. Saat respondeo ergo sum ini telah masak dan siap dihidangkan, ia cuma berusaha membagi hasil olah pikir dan rasa yang mungkin tak menarik dari sudut tampilan apalagi rasa bahkan mungkin juga memberikan getaran kontraksi menyebalkan di perut dan otak para penikmatnya. Ia tak peduli yang penting janjinya untuk menguraikan ‘Respondeo Ergo Sum Rasa Legok Permai’ pada sahabatnya sudah terealisasi meskipun butuh tiga hari yang penuh perjuangan untuk mempertahankan laptop yang terus menerus diperebutkan antara si bodoh dengan bungsu kebanggaannya.

Legok Permai - Tangerang
26 Juli 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar