PENJARA ITU BERNAMA KELUH KESAH
Saor R.S.S.S. Panjaitan
|
Sudah lama saya berniat untuk
membuat berbagai tulisan yang didasarkan atas berbagai quotes yang selama ini saya posting di media Facebook. Sudah ribuan
quotes sejak 4 Januari 2017, namun
belum satupun yang sempat untuk dijadikan tulisan meskipun niat dan semangat
sudah membara sejak setahun lalu bahkan diawal mengalirnya berbagai quotes dari samudera pikiran ke dunia
nyata.
Saya tidak ingin berdalih
terlalu sibuk sehingga belum juga mengejawantahkan quote-quote tersebut ataupun kehabisan kata-kata tertulis untuk
menguraikannya. Yang pasti malas memulai atau hobi menunda-nunda lebih pantas
saya ungkapkan sebagai alasan obyektif belum juga terealisasinya tulisan-tulisan
tersebut, ataupun juga sebagaimana judul tulisan pertama ini yaitu penjara
keluh kesah mungkin menjadi sipir penahan kebebasan dan kreatifitas diri dalam
mengalirkan berbagai tulisan untuk dinikmati dan dikritisi oleh khalayak
pecinta hikmat.
Tulisan pertama saya mulai
dengan menelusuri quote mana
kira-kira yang dapat menuntun saya dengan sabar untuk berkarya melalui tulisan
meskipun harus tertatih-tatih di padang gurun referensi.
Akhirnya terpilih quote yang diposting pada 10 Oktober
2017 tentang keluh kesah. Di tanggal itu sendiri sebenarnya ada 8 quotes tentang keluh kesah, namun saya
memilih quote ini untuk menggambarkan
sekaligus menegaskan bahwa keluh kesah memang rawan menjadi penjara bagi
kebebasan berpikir dan berkreatifitas.
Keluh kesah adalah suatu
perasaan susah, gelisah atapun tidak senang yang diwujudkan dengan suara
mengaduh, menarik napas dan bentuk lainnya yang sejenis.
Penyebab dari perasaan tersebut
bisa saja karena sakitnya raga ataupun jiwa secara medis maupun spiritual
ataupun hal-hal lainnya yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Ada segolongan orang yang hanya
karena tidak mempunyai mobil dia terus berkeluh kesah padahal memiliki motor.
Ada juga yang mengeluhkan mahalnya uang sekolah anak di bangku SMA padahal
kenyataannya berhasil menyekolahkan anak melewati TK, SD dan SMP.
Ada lagi segolongan lainnya
yang mengeluhkan kenaikan harga telur dan menceritakannya kemana-mana termasuk
di media sosial sementara di rumahnya lebih sering memakan ikan sekelas Salmon,
fillet Tuna ataupun Beef Teriyaki, Beef Bacon bahkan sampai olahan Mr. Krabs dan Squidward Tentacles teman-teman bercandanya SpongeBob! atau kalaupun lagi malas masak biasanya ‘jajan’ baik
untuk lunch maupun dinner dengan Donburi Chicken Mayo Rice atau ‘dada montok’ fried Chicken di outlet-outlet
Kolonel Sanders dimana saat prosesinya tidak melupakan gadget mulai dari Xiaomi Redmi 5A sampai Huawei Mate 9 Porsche Design 256 GB Black yang memakai kamera Leica
generasi kedua berlisensi dengan resolusi kamera 12 MP dan kamera monochrome 20 MP f/2.2, autofocus dan dilengkapi LED flash yang
dibandrol seharga dua puluh lima juta rupiah! untuk mendokumentasikan dan
sesegera mungkin di-share mulai dari
Facebook, Line sampai Instagram.
Ada lagi golongan yang
mengeluhkan sampai mengutuki tanpa logika dan hati nurani pemimpin bangsanya
sendiri yang terpilih secara demokratis. Mereka mengklaim diri paling benar dan
suci yang membuktikan diri dengan kegemaran berputih ria, mencatut ayat-ayat
langit dan unjuk gigi berderet-deret di jalanan dengan speaker, dan
menggagahkan diri dengan bambu berbendera yang seakan-akan senapan S2 varian 4,
padahal yang diteriakkannya patut diduga melulu adalah titipan yang bersayapkan
uang dan pengisi perut aneka bungkus nasi dengan menu khas dari rumah makan
kelas pinggiran jalan dari para oknum penggila kekuasaan yang tak rela
lapak-lapak sekelas milyaran dollar mereka digusur tanpa kompromi. Keluh kesah
golongan ini begitu hitam, pahit dan membusukkan peradaban dan urat malu bangsa
ini di tengah-tengah komunitas internasional maupun jalannya sejarah peradaban
kemanusiaan.
Sementara di pinggir sebuah
danau nan elok dan sejuk yang jika dilihat dari jendela pesawat Qatar Airways
yang melintas di atasnya laksana kepingan sorga yang jatuh ke bumi, sesosok
perempuan yang sebenarnya terkategori renta baik raga maupun pemikirannya
berkeluh kesah dan meledakkan keluh kesahnya dengan emosi level kaisar Nero sembari
pongah sesumbar mengklaim bahwa keluh kesah dan tuntutannya adalah mewakili
keluarga korban kapal Sinar Bangun di danau Toba yang penuh dengan pesona magis
itu. Saya pribadi tidak rela dikatakan korban Danau Toba karena danau itu
sendiri hanya menggeliatkan dirinya secara alamiah sesuai dengan tuntutan
jalannya simponi alam saat itu. Keluh kesah yang dimanifestasikan dengan emosi
laksana erupsi Gunung Agung kebanggaan masyarakat Hindu nan santun di pulau
dewata yang ramai dengan karya dan manifestasi kebudayaannya yang bebas dan
kreatif, dihadapan keluarga korban yang sedang disambangi dengan empati oleh
wakil dari pemerintah. Keluh kesah wanita rapuh raga dan hati nurani ini
bergayung sambut memalukan, karena justru keluarga yang diklaimnya sedang
dibelanya malah mengusirnya dengan tandingan kemarahan karena merasa dijadikan
tunggangan bernuansa politik kotor tanpa etika dan tentunya sarat dengan
pengeluh kesah.
Keluh kesah juga bahkan
membayangi rakyat jerman ketika para pahlawan bola mereka bertransformasi
menjadi pecundang bola saat team juara bertahan tersebut kandas dan
dipermalukan di babak pertama Piala Dunia 2018 di Rusia. Mitos kutukan juara
bertahan kandas di babak pertama bersegera mengabuti pikiran waras rakyat
Jerman atas kekalahan tersebut. Tragedi yang sebenarnya bukan tragedi ini (seperti
kelaparan, bencana alam, wabah penyakit, dan korban kekerasan perang) juga
meluaskan korban-korbannya ke babak lanjutan yang ditandai dengan ambruknya
kesebelasan negara-negara dari beberapa maestro bola sekelas Lionel Messi,
Ronaldo, Neymar dan Suarez. Rasanya keluh kesah rakyat dari negara yang mereka
wakili pantas melangit karena mereka adalah milyuner yang kenyang pengalaman
dan harta dari mengolah bola di klub-klub ternama Eropa. Keluh kesah tingkat
tinggi ini bahkan menular dan mewabah bagaikan ‘Maut Hitam’ dari bakteri Yersinia Pestis yang membonceng pada
kutu yang ditengarai berasal dari Asia Timur atau Tengah dan kemudian menyebar
ke seluruh Asia, Eropa dan Afrika Utara dan pesisir Samudra Atlantik dimana
hanya dalam tempo dua tahun membunuh 200 juta orang. Saya yakin keluh kesah
sebagai multi efek yang merantai banyak penggila bola dari negara-negara yang
kalah tersebut jauh lebih dahsyat menghantam para penggemarnya di lima benua
dan lima samudera (penggemar yang sedang bertugas ataupun pelesiran di
kapal-kapal yang melintasi samudera-samudera tersebut) bahkan sampai jauh ke
utara dan selatan baik di kutub utara maupun selatan dimana suku eskimo dan
para peneliti manca negara menetap sementara di dataran dingin itu untuk
melakukan penelitian.
Bukti lainnya dapat ditemukan
disuatu kawasan di ujung perbatasan antara Kabupaten Tangerang dan kabupaten
Bogor tepatnya di sebuah pemukiman bernama Perumahan Legok Permai, para
penggila bola dari negara-negara tersebut memproklamasikan bahwa Piala Dunia
2018 sudah berakhir tepat di menit pertama pasca ditiupnya pluit tanda berakhirnya
pertandingan yang mengalahkan team favorit mereka. Semua kelelahan menonton
bola sampai menjelang ayam bersiap berkokok memberitahukan bumi bahwa fajar
segera menyingsing, sampai efek mengantuk dan terlambat mengantor dan habisnya
kopi, ubi rebus, kacang yang diimpor dari Indomaret bahkan pencuekan istri yang
resah mendesah di kamar tidur menanti suami yang bagaikan kesurupan
berteriak-teriak sepanjang pertandingan, rasanya semua berlalu sia-sia sehingga
patut dimaklumi jika mereka berani menentang FIFA dengan menyatakan bahwa piala
dunia 2018 sudah selesai dengan keluh kesah panjang yang terbawa sampai kantor
dan dunia mimpi. Keluh kesah jenis ini paling ringan hanya meletihkan badan
ataupun cekcok rumah tangga dimana istri bersegera menyembunyikan remote TV sebagai ungkapan kekesalan
hati dan bathinnya sampai yang paling berat merontokkan semangat kerja disaat
pemimpin bangsa sedang kuat-kuatnya mengampanyekan revolusi mental dengan
jargon andalannya: ‘Kerja – Kerja –
Kerja!’
Keluh kesah menyebar kesana-sini
di Millenium Ketiga diantara generasi instan penyedot susu sapi sampai
manusia-manusia sisa dari dekade terakhir abad kedua puluh. Dari Homo Sapiens dengan
ciri-ciri mencampur adukkan mitos-mitos para dewa sekelas Cronus, Zeus,
Hermaphrodite, Arthemis, Brahma, Syiwa, Thor, Ra, bahkan Debata Mulajadi
Nabolon dan para manusia sekelas nabi seperti Musa, Daud, confusius, bahkan
Diego Maradona, nabi yang diciptakan para penggila kemampuan berbolanya dan si
Ratu talkshow Oprah Winfrey yang mendaulatkan diri sebagai pendiri sekaligus
pemimpin agama ‘O’ yang dideklarasikannya di Chicago dengan Gayle King editor
O, The Oprah Magazine menjadi uskup
agungnya dan sudah diakui sebagai agama resmi di Kanada, Jepang dan Selandia
Baru, dan ciri peradaban lainnya yaitu mengutamakan kekuatan uang, kesetaraan gender
dan kebebasan Humanity hingga
mencapai tapakan perjalanan sejarah yang sekarang menurut Yuval Noah Harari si
profesor Yahudi, dosen universitas Ibrani, di Yerusalem adalah masa Homo Deus
dimana kekuatan teknologi berupa kecerdasan buatan dan rekayasa genetika telah
menggeser kekuatan dewa bahkan siapapun yang dianggap Tuhan oleh berbagai agama
dan kepercayaan yang pernah ada dan masih ada di muka bumi ini.
Keluh kesah juga mungkin pernah
menjangkiti Waljinah ‘The Queen of Sinden’ yang resah mempertahankan kualitas
suara dan panjangnya nafas ditengah-tengah fakta habisnya gigi asli sehingga
harus bergigikan palsu dan keriput sekujur tubuh yang tak terhalau lagi meski
jamu sekelas Sido Muncul dan Nyonya Meneer dengan produk terbaiknya yang
diperuntukkan untuk ekspor sudah bertumpuk-tumpuk menghujani permukaan kulitnya
yang dulu bahkan sempat dikagumi Soekarno.
Aneka keluh kesah inilah yang jika
terlalu sering dilantunkan dalam nada pelog selendro yang fals akan
bertransformasi menjadi penjara kasat mata yang dengan kejam dapat memenjarakan
berbagai pikiran sehat, cerdas bahkan berkelas hikmat Illahi serta aneka
kreatifitas yang dapat memudahkan kehidupan kemanusiaan kita.
Jika pikiran yang semestinya
bebas untuk dikembarakan kemanapun dia berlari telah terbelenggu, maka ancaman
kepada nilai-nilai kemanusiaan yang dihasilkan oleh akal budi terancam
eksistensinya. Pikiran adalah ibu kandung dari semua kebudayaan manusia. Tidak
bisa dipungkiri bahwa sejatinya iman pun ada karena manusia memulainya dengan
berpikir sekalipun pada prosesnya kemudian, iman senantiasa membelai pikiran
agar tidak terlalu over dosis menunjukkan jati dirinya sehingga keberadaan
Illahi yang supranatural pada akhirnya tergerus terabaikan.
Hasil pikiran juga melemparkan
tinggi-tinggi kreatifitas manusia sehingga mampu membuat film sekelas Star Wars terbang jauh menjangkau
sudut-sudut alam semesta meninggalkan realita kehidupan kontemporer.
Di dunia Superhero, bukan lagi
hanya memamerkan super power Superman
ataupun Spiderman
yang dari ‘sononya’ memang baik, kini ada sosok Thanos big boss para penjahat di Infinity War yang bagaikan
realita di depan mata dan pikiran anak-anak, remaja bahkan orang dewasa, yang menimbang-nimbang
bahwa Thanos mungkin saja ada dan akan bangkit kembali menguasai seluruh alam semesta. Bukankah suatu
ironi peradaban bahwa pikiran yang eksis di dunia abstrak mampu menciptakan
pikiran lain secara simultan di dunia khayal manusia lainnya bahkan diwujud
nyatakan melalui film, gambar, mainan, kaos bahkan komunitas fanatik yang dalam
penghayatannya bisa saja mengubahnya menjadi agama atau keyakinan baru
mengalahkan agama, kepercayaan bahkan ideologi yang sudah ada sebelumnya.
Penting dan urgen untuk
menghalau keluh kesah berkepanjangan dan simultantif dari tiap makhluk yang
berakal budi. Faktor penyebab keluh kesah mestinya segera dicarikan solusinya
baik dari diri sendiri, mentor, psikiater, rahib, ustad, pendeta dan para ahli
bedah otak dan syaraf bahkan para motivator ulung seperti Jansen ‘Mr. Ethos’
Sinamo, Tung Desum Waringin, Andri Wongso, dan motivator ekonomi Rheinald
Khasali yang berembelkan Profesor Doktor!
Oh ya, satu lagi jangan
dilupakan motivator ulung pembebas masalah yang ditengarai hasil olah
kata-katanya mampu membebaskan semua manusia dari penjara-penjara bernama keluh
kesah tersebut yaitu Mario Teguh yang sukses merobohkan penjara keluh kesah
sesama namun tersandung dan terbelenggu ke dalam penjara pikiran masa lalu yang
ketika pintunya terkuak akhirnya memenjarakan semua olahan kata-kata hikmat
manusia yang menggembung di otaknya yang mestinya telah siap dibagikan diberbagai
kelas atau acara motivasi. Sebaiknya kita berharap dalam doa semoga tidak ada
lagi penjara masa lalu dipikirannya dan sesegera mungkin dapat bangkit dari
liang kubur masa lalu yang memalukan dan kembali membawa pencerahan kepada
banyak pikiran yang sulit berpikir bebas dan kreatif karena kompleksnya atau
mungkin cintanya kepada keluh kesah.
Terakhir saya harus membuat
pengakuan atas baru munculnya tulisan yang didasari atas ribuan quotes yang sudah saya posting di
Facebook. Seringkali muncul dakwaan dari hati bahwa sebenarnya saya sendiripun
telah terpenjara pikiran bebas dan kreatifitasnya karena begitu ragamnya corak
dan panjangnya keluh kesah yang menggeluti hidup saya sehingga baru tulisan ini
saja yang dapat saya bagikan kepada anda.
Syukurlah saya perlahan mulai
lepas dari penjara bernama keluh kesah itu, mudah-mudahan masih ada banyak hari
dimana saya mampu menuangkan pikiran bebas dan kreatifitas khususnya dalam
menulis.
Wah .... mungkinkah saya akan
mampu membuat tulisan-tulisan berikutnya sementara daftar tunggu dari quotes sudah menunggu begitu panjangnya?
Saya mohon kalimat di atas
jangan anda lihat sebagai keluh kesah, please
......!
Lawson Ruko Viena
Tangerang, 10 Juli 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar