SORAK-SORAI
DI KEHENINGAN
Oleh: Saor
R.S.S.S. Panjaitan
|
Nyeleneh lagi! Itu pasti yang anda pikirkan saat membaca judul
tulisan ketiga yang saya kupas dari quote
yang terposting pada dua puluh enam April lalu itu. Bagaimana mungkin sorak-sorai
bisa dilakukan dalam keheningan?
Bukankah keheningan sama sekali jauh dari sorak-sorai? Kamus Besar
Bahasa Indonesia sendiri menegaskan bahwa sorak-sorai adalah suara teriakan dan
pekik yang dilakukan beramai-ramai. Jika ada suara dan berteriak pula, tentunya
ada gelombang keras namun tidak kelihatan yang mampu menabuh keras gendang
telinga, ditambah lagi adanya berbagai gerakan tubuh saat teriakan tersebut
dilakukan yang juga menambah kehebohan dan tentunya jauh dari keheningan.
Sorak-sorai di keheningan rasanya bagaikan menikmati
sejuknya curahan sinar matahari pada siang bolong di gurun pasir Danakil di
Ethiopia yang suhunya bisa mencapai 500C atau tawa terbahak-bahak di
prosesi pemakaman Agnes Gonxha Bojaxhiu atau yang lebih dikenal dunia sebagai
Mother Theresa, ibu kaum papa yang meninggal pada 5 September 1997 di Kalkuta
India. Suatu polarisasi yang rasanya tak mungkin bertitik taut.
Keheningan adalah kesunyian dalam diam yang bertafakur
(merenung) mendalam sampai dasar yang terdalam. Dibutuhkan pertimbangan yang
sungguh-sungguh melalui penguasaan diri demi mendapatkan hakiki terdalam dari
kesunyian itu sendiri. Keheningan dibutuhkan untuk menarik kuat-kuat hikmat
dari lumbung kearifan Illahi bagi para bijak dan aulia melalui prosesi meditasi
dan doa-doa yang mengapalkan lutut dan sela-sela jemari sebelum mereka dipakai
sebagai lidah ataupun pena Illahi yang tak terkontaminasi kepentingan duniawi. Indikasi
utama para figur saleh yang orisinal membawa suara hikmat dari surga dapat
dicermati saat dia mendapatkan hikmat tersebut dan cara serta tempat
penyampaian yang biasanya dalam tudung keteduhan dan kesantunan yang memikat
jiwa. Dari sini kita mestinya hakulyakin bahwa mereka yang mengklaim membawa
kebenaran dari langit namun diprosesikan dalam sorak-sorai bising yang tak
beraturan dan ditingkahi dengan caci maki, hujatan dan ancaman pastilah bukan
agen-agen Illahi tapi para jongos recok dari penguasa kegelapan.
Keheningan membutuhkan wadah. Dia bisa berupa hamparan
lembah yang sunyi tak berpenghuni dikala hembusan angin sedang tidak
melawatnya. Wadah itu juga bisa berupa Arlington National Cemetery, taman makam
pahlawan Amerika Serikat yang sekalipun berisi 400.000 lebih nisan dari
berbagai ras dan agama, namun hening mencekam terlebih di saat purnama
menggayut di langitnya. Di Arlington, Kapten Angkatan Darat Humayun Khan tentara pahlawan
Amerika yang muslim peraih Bintang Perunggu dan Purple Heart yang tewas di medan
tempur negara Islam Irak, tidak lagi bersitegang urat leher tentang agama yang
paling benar dengan Kopral Murray F. Smith si Kristen pemegang Purple Heart
yang hanya menikmati 20 tahun kehidupan didunia dan si Yahudi Letnan Kolonel
Harold T. Bartell, sehingga dapat mengoyak-ngoyak keheningan Arlington yang
mencekam.
Keheningan juga bisa didapatkan di dalam ruangan paling sunyi di dunia dengan tingkat suara latar di dalamnya sebesar -20,6 decibel (suara napas manusia sekitar 10 decibel) yang dibangun di dalam Building 87 pada markas Microsoft di Redmond, Washington. Ruang Anechoic yang berbentuk kubus berukuran 6,36 m disetiap arah dan berdinding beton setebal 30 cm ini mampu menahan suara jet tempur sekelas F 22 Raptor yang menggelegar dan mampir singgah di samping temboknya dan hanya terdengar bagai bisikan halus di dalamnya. Di ruangan ini, suara ragawi dari tubuh anda yang tidak terdengar seperti detak jantung, gerakan bola mata, desiran darah bahkan suara lambung terdengar hiruk pikuk di dalamnya. Teknologi tertentu mampu membuktikan betapa bisingnya dunia yang kita tinggali ini sekalipun tanpa teriakan dan gerakan.
Keheningan juga bisa didapatkan di dalam ruangan paling sunyi di dunia dengan tingkat suara latar di dalamnya sebesar -20,6 decibel (suara napas manusia sekitar 10 decibel) yang dibangun di dalam Building 87 pada markas Microsoft di Redmond, Washington. Ruang Anechoic yang berbentuk kubus berukuran 6,36 m disetiap arah dan berdinding beton setebal 30 cm ini mampu menahan suara jet tempur sekelas F 22 Raptor yang menggelegar dan mampir singgah di samping temboknya dan hanya terdengar bagai bisikan halus di dalamnya. Di ruangan ini, suara ragawi dari tubuh anda yang tidak terdengar seperti detak jantung, gerakan bola mata, desiran darah bahkan suara lambung terdengar hiruk pikuk di dalamnya. Teknologi tertentu mampu membuktikan betapa bisingnya dunia yang kita tinggali ini sekalipun tanpa teriakan dan gerakan.
Jika sorak sorai yang mampu dideteksi oleh panca
indera dan teknologi begitu bisingnya di dunia nyata, betapa ledakan sorak-sorai
lebih berdentum jika dihayati dengan sepenuh hati dan jiwa. Sorak-sorai adalah
ekspresi atas kegembiraan yang luar biasa. Kegembiraan yang terjadi karena
kemenangan, kemerdekaan, keberhasilan dan sejenis lainnya. Sorak-sorai ini bisa
berlangsung singkat namun juga berlarut-larut sebagai euforia bermotivasi
mempertontonkannya di hadapan teman terlebih lawan. Sorak-sorai yang telah
meng-euforia biasanya cepat atau lambat berubah menjadi kepongahan. Saat ragawi
mempertontonkan kepongahan dalam bentuk sorak-sorai ini maka kebahagiaan sejati
karena kemenangan, keberhasilan, kemerdekaan dan sejenis lainnya itu mengalami
degradasi makna yang hakiki. Sayangnya sorak-sorai dalam kepongahan mewabah
hebat dalam sejarah kontemporer karena manusia post modernisme senantiasa haus
pengakuan dan penghormatan. Mari kita coba telusuri bukti-buktinya.
Ketika Messi pada akhirnya berhasil membawa Argentina
masuk ke-16 besar dengan menaklukan Nigeria pada laga terakhir babak penyisihan
grup D, para ‘penggila’ team Tanggo
mulai dari penonton Argentina yang hadir di Saint Petersburg Stadium sampai ke
Leandro Diego Guillermo si penjaga mercusuar yang menonton dengan TV JVC lama
keluaran awal 70 an di Ushuaia, Tierra del Fuego Argentina yang dianggap
sebagai ujung dunia, bahkan fans fanatik yang sama sekali tidak mempunyai
ikatan apapun dengan Argentina yang berdomisili di lembah Baliem Papua ataupun
penduduk kampung di seputar perumahan Legok Permai di Tangerang, larut dalam
euforia yang dimanifestasikan dengan teriakan menggelegar sampai mengacungkan
tinju ke langit tanpa mempedulikan aroma ketiaknya yang membuncahkan bau
menyengat karena takut mandi pasca begadang semalaman dan lontaran kata-kata
ditingkahi meme yang membludak di media sosial sebagai pelampiasan sorak-sorai
yang tak berbunyi. Para penggila Messi ini lupa diri bahwa sejak babak pra
Piala Dunia 2018 Argentina
sudah tertatih-tatih demi dapat tampil di Rusia. Team ini memang berlimpah
dengan pemain bertalenta di lini tengah dan depan seperti Paulo Dybala, Gonzalo
Higuain, Angel Di Maria, Ever Banega, Giovani Lo Celso dan tentunya Sergio
Aguero, namun kehebatan squad ini pada realitanya nyaris menanggung malu karena
hampir tidak lolos ke Piala Dunia 2018. Mereka bisa lolos pun ditentukan pada
pertandingan terakhir melawan Ekuador yang untungnya mereka menangi dengan skor
3 – 1. kemenangan yang hanya mampu memposisikan mereka di peringkat ketiga di
zona Amerika Latin atau CONMEBOL di bawah Brazil
dan Uruguay .
Hadirnya Argentina di Rusia tetap dipandang sebagai raksasa penakluk dengan
mengabaikan prosesnya. Sorak-sorai over
confidence menjadi karpet terbang ajaib ala dongeng seribu satu malam yang
membawa team ini ke Rusia. Kesadaran untuk menurunkan volume sorak-sorai dan
kebanggaan yang melampaui langit ketujuh tidak juga dilakukan para
‘penggilanya’ ketika fakta di babak penyisihan Grup D memberikan deskripsi
akurat bahwa sebenarnya team Eva Peron ini adalah team yang lemah. Di laga
pembuka mereka Cuma mampu bermain imbang 1 : 1 dengan debutan baru Islandia,
negara yang berpenduduk hanya 430.000 jiwa yang karena bersalju hampir
sepanjang tahun, untuk berlatihpun harus di dalam stadion tertutup. Berikutnya
lebih parah karena dilumat 3 : 0 oleh Kroasia! Beruntung ,
Nigeria mengalah dengan 1 :
2 sehingga walaupun dengan compang-camping Argentina lolos ke 16 besar . Maka
sorak-sorai gagah dan gegap gempita yang membusungkan dada menggema dari semua
‘penggila’nya. Ada jangka waktu 3 hari para
penggemar Argentina
melampiaskan kegembiraannya dengan sorak sorai yang makin mempongah. Sorak
sorai bising itu terus membesar sampai dimulainya pertandingan Argentina
melawan Perancis. Kenyataan pahit harus ditelan ‘penggila’ Argentina saat Perancis
menghempaskan sorak-sorai pongah mereka dengan hujan gol yang berakhir 4 – 2 di
Kazan Arena. Kekalahan yang membisu totalkan seluruh pendukungnya di muka bumi
sampai ke tahap keheningan yang memilukan namun hingar-bingar dalam ledakan
kesedihan dan kekecewaan di dalam jiwa. Nama besar mantan juara dunia dua kali
saja yang membius ‘penggila’nya sehingga jauh dari eling dan menganggap Argentina adalah raksasa bola yang
datang untuk melumat para liliput. Dibutuhkan
masa 4 tahun untuk membangkitkan kembali sorak-sorai pongah itu dari liang
kuburnya. Kelak dibutuhkan jersey baru demi menyambut kebangkitan baru pada 4
tahun di depan karena jersey lama di 2018 sudah lapuk di makan deterjen dan
besi panas setrika.
Sorak-sorai dalam kepongahan juga dipertontonkan
dengan berlebihan bahkan kebiadaban saat ISIS merebut sebagian wilayah Irak
termasuk Mosul kota
terbesar kedua dan menguras ratusan juta dana dari bank-bank yang mereka kuasai
sehingga membuat ISIS menjadi kelompok teroris
terkaya di dunia. Sorak-sorai gempita mereka lampiaskan dengan pekikan bernada
religi ditingkahi rentetan tembakan ke udara dan untuk selanjutnya
bersorak-sorai saat membantai ribuan manusia yang berbeda ideologi religi
dengan mereka. Sorak-sorai juga menjadi kenikmatan utama saat mereka menggorok
leher-leher musuhnya bahkan ketika menendang-nendang bagaikan bola kaki serta
menginjak-injak bayi-bayi yang orang tuanya berbeda keyakinan dengan mereka.
Sorak-sorai ragawi dalam kepongahan yang menjijikkan dalam sejarah peradaban
kemanusiaan. Demikianpun tingkah barbar mereka lakukan justru mendapat banyak
simpati bahkan keinginan untuk bergabung dari banyak anak muda dan keluarga
muda dari seluruh dunia yang terperdaya dengan propaganda memutar balikkan
ayat-ayat agama sesuka hati mereka. Sorak-sorai ragawi dalam kepongahan memang
tak bertahan lama. Saat ini kita ketahui bahwa kekuatan ISIS
hampir habis dan hanya menyisakan ratusan teroris yang eksistensinya tidak
mampu lagi dipertontonkan dengan leluasa karena sudah menjadi buronan.
Sorak-sorai ragawi bertendesi kepongahan juga bisa
kita temukan pada laga akbar demokrasi saat pilkada yang mencoba mencari sosok
gubernur terbaik bagi Jawa Barat. Saat debat publik yang dilakukan di Balairung
Univeristas Indonesia
pada 14 Mei 2018, pasangan calon gubernur nomor urut tiga yaitu Sudrajat –
Ahmad Syaikhu (Asyik) dengan norak dan arogannya membentangkan kaos yang tidak
tepat waktu dan sasaran yaitu bertuliskan #2019GantiPresiden.
Pasangan yang merasa pasti menang ini karena memang Jawa Barat adalah basis
utama konstituen dari partai politik yang mengusung mereka tanpa etika dan urat
malu membentangkan kaos tersebut saat closing
statement yang direspon dengan sorak sorai dahsyat dari para pendukungnya.
Sorak-sorai yang berisi kepercayaan diri yang
terlalu besar dan meledak dalam kepongahan sampai pada akhirnya lima
lembaga survei yang kredibel seperti
Litbang Kompas, Lingkaran Survei Indonesia, Saiful Mujani Research, Charta
Politika dan Populi Center memaparkan hasil quick
count-nya pada 27 Juni 2018 yang menyatakan bahwa pasangan Asyik kalah dari
pasangan Ridwan Kamil – Uu Ruzhanul Ulum (Rindu) dan dipertegas secara final
oleh KPU Jawa Barat pada 24 Juli 2018. Kekalahan yang menyakitkan dengan
selisih suara lebih dari 4% ini bukan hanya menyakitkan namun merontokkan
kepongahan sampai tataran ideologis!
Berbeda dengan sorak-sorai jiwa yang diperdengarkan
dalam keheningan. Sorak-sorai ini benar-benar menggelegar dahsyat tidak
dibatasi ruang, waktu dan besarnya slot memori untuk menampung datanya.
Sorak-sorai ini laksana luar angkasa yang terkesan gelap dan senyap, namun jika
digunakan teleskop ilmu pengetahuan dan teknologi, suaranya luar biasa dahsyat
dimana manusia pasti tidak sanggup menampungnya dengan gendang telinga. Ledakan
supernova yang bisa berlangsung selama bertahun-tahun dan diperkirakan terjadi
setiap 30 tahun khusus hanya di galaksi Bimasakti saja yang menimbulkan cahaya
terang di atas sana yang bergema dan berulang diberbagai galaksi lainnya sepanjang
sejarah alam semesta, tiada pernah terdengar sampai bumi, namun tidak dapat
dibantah bahwa kedahsyatannnya mampu membuat bumi menyerpih laksana butiran
pasir di padang gurun sahara nan luas!
Sorak-sorai jiwa dalam keheningan memberi akses
langsung pada Sang Pemberi suara pada dunia melalui jembatan syukur dan takjub
yang dihantarkan dengan letupan-letupan dahsyat rasa terimakasih yang tak
terhingga. Sorak-sorai yang tidak membutuhkan kepalan tangan yang dihentakkan
ke atas kepala dan pekikan dari pita suara sembari ditingkahi berbagai gerakan
tubuh yang dilontarkan kesana kemari.
Sorak-sorai jiwa inipun tersimpan rapat dari liputan
berbagai mata dan pikiran yang siap menafsirkannya sehingga kepongahan terantai
kuat tak mampu menggelinjang penuh gairah untuk dipertontonkan kepada sesama.
Sorak-sorai jiwa dalam keheningan ini adalah laksana
sepasang suami isteri yang mendengar kabar sukacita dari bidan di klinik
kampung jauh di pedalaman Kalimantan bahwa
mereka akan mendapatkan anak setelah menunggu 12 tahun dalam pernikahan yang
dipenuhi dengan cinta dan kesetiaan. Mereka mengekspresikan gegap-gempita dalam
jiwanya hanya dalam bentuk senyum namun berteteskan air mata dan mengakhir
dengan lipatan tangan sembari bersimpuh berdua menaikkan kalimat-kalimat tak
berbunyi kepada Sang Khalik melalui doa syukur dan terimakasih. Suatu
kebahagiaan yang disertai kesadaran bahwa janin berusia satu setengah bulan
tersebut akan mengulah menjadi rasa nyaman yang tak terperi sepanjang empat
bulan pertama untuk kemudian dilanjutkan dengan kontraksi menyakitkan yang
bagaikan mengaduk-aduk rahim si calon ibu dengan body yang bersegera membesar
jauh dari kerampingan seperti masa gadisnya. Bentuk body yang justru makin memikat si calon ayah yang makin bergairah
membanting tulang karena konsekuensi logis di hari depan menuntutnya
menyediakan berbagai kebutuhan si calon buah hati mulai dari kain popok sampai
susu formula yang bakal rakus disedot sang buah hati. Semua proses yang
melelahkan jasmani rohani namun justru menimbulkan sensasi kebahagiaan yang
justru ditakuti oleh anak-anak muda yang takut menikah baik di Jepang,
Singapura maupun Eropa utara karena tak ingin berlelah ria memikul tanggung
jawab yang menyita tubuh, pikiran, dan penghasilan bulanannya.
Sorak-sorai jiwa dalam keheningan juga terlihat dan
terdengar riuh ketika disebuah warung tegal (warteg) seorang pria dan wanita
yang nampaknya adalah pasangan suami isteri terlihat banyak tersenyum tanpa
sedikitpun terdengar tawa. Saat itu, saya yang juga makan disebelah mereka baru
tersadar beberapa menit kemudian bahwa si pria ternyata tuna wicara (bisu),
namun cerita ceria mereka yang hanya menggunakan bahasa isyarat yang dipertegas
dengan gerakan bibir menghasilkan kegembiraan bagi keduanya. Suatu kegembiraan
yang menyorak-nyorai dalam keheningan yang hanya diketahui oleh mereka dan memburatkan
rona-rona merah muda di wajah, tanda adanya keintiman yang menggelut mesra jiwa
keduanya.
Sorak-sorai jiwa yang membuncah dalam keheningan
ketika Gabriel, sang malaikat, tiba-tiba sudah berada di dalam rumah Maria dan
mengabarkan berita yang menggoncang dunia sampai ke akhir jaman bahwa ia yang
sama sekali belum pernah disentuh laki-laki diberi kepercayaan untuk mengandungkan
dan melahirkan anak laki-laki yang kelak akan membawa keselamatan kepada
manusia dalam kontroversialitas yang diimani sekaligus ditolak oleh makhluk
yang beragama maupun tidak. Suatu kegembiraan luar biasa dalam jiwa Maria yang
berisikokan hukuman rajam sampai mati karena hamil tanpa pernikahan walau sudah
bertunangan dengan Yusuf, situlus hati yang atas petunjuk Illahi kemudian
bersedia menikahinya namun menahan diri untuk tidak bersetubuh sampai bayi
Immanuel itu dilahirkan. Sorak-sorai dalam jiwa ini menimbulkan kebahagiaan
sekaligus kesediaan untuk disalah mengerti dengan ancaman kematian dari
masyarakat yang paling keras menerapkan legalitas yang super rigid dari hukum-hukum keagamaannya
sepanjang sejarah umat manusia.
Sorak-sorai jiwa dalam keheningan adalah sebuah
kebaikan dan kemurahan hati Al-Khalik langit dan bumi yang terus menerus
kurasakan semenjak pembuktian dari layar USG yang memperlihatkan bahwa janin
berusia enam bulan dikandungan bundanya itu berjenis kelamin laki-laki pada
awal Maret 2016. Suatu gegap gempita sukacita yang tak terperikan saat saya mendokumentasikan
melalui handycam ber-tripod di ruangan bedah bersalin Rumah
Sakit Asshobirin Tangerang pada Kamis pagi 16 Juni 2016 pukul 06.00 WIB. Bayi
itu ditarik dari kandungan dan dikenalkan dengan dunia nyata oleh Dr. Jusran,
Sp.OG., dan team lalu kemudian dengan serta merta si bayi harus mengusahakan sendiri
pasokan oksigen bagi paru-parunya dengan menggunakan hidup mancung nan indah
pemberian Sang Maha Baik.
Dialah Elgio Hezron Bradley Panjaitan yang lahir
disaat Papa dan Bunda nya telah memasuki paruh baya kehidupan di dunia ini.
Bayi tampan yang terus menerus memberikan sorak-sorai kebahagiaan ke dalam jiwa
kami sekeluarga. Terlalu sering saya menyaksikan betapa baiknya Yang Maha Rahim
melalui wajah dan seluruh tubuh indahnya. Sering terpikir bagaimana mungkin
laki-laki paruh baya yang jelek ini dipercaya untuk mendapatkan ‘pangeran’
dalam keluarga besarnya. Dikeheningan malam nan gelap, sering lampu kamar
sengaja dihidupkan demi untuk melihat dan mengagumi karya indah dan mulia dari Jehovah Bore (Tuhan Sang Pencipta) yang meledakkan rasa
syukur dan doa yang tak henti-hentinya memuji dan memuja Sang Maha Baik. Lebih
banyak sorak-sorai jiwa dalam keheningan kulakukan daripada sorak-sorai ragawi
yang ekspresif dan dipertontonkan kepada banyak orang atas betapa bahagianya
memiliki anak laki-laki yang luarbiasa. Suatu sorak-sorai yang selalu
mengingatkanku akan keberadaan Allah dan karena itulah kuberi dia nama Elgio
yang bermakna Kebaikan atau Kemurahan Hati Allah. Siapapun anda mungkin pernah
melakukan dan merasakan sorak sorai jiwa dalam keheningan ini ketika dipercaya
sebagai orang tua dengan hadirnya anak-anak dalam kehidupan berumah tangga.
Bersorak-sorailah tanpa kepongahan dengan penuh
ekspresif melalui ragawi terlebih dalam keheningan yang penuh kedamaian
sekalipun menggelegarkan jiwa.
Tangerang, 2 Agustus 2018