Translate

Minggu, 24 September 2017

AITEO Saor R.S.S.S. Panjaitan


AITEO

Yesaya 38 : 1 – 8

Saor R.S.S.S. Panjaitan



Selasa pagi seperti biasanya saya memposting sebuah quote di Facebook. Kebiasaan yang sudah saya lakukan sejak 4 Januari 2017 dan seharipun tidak pernah alpa. Terkadang hanya satu quotes namun ada juga yang dalam satu hari sampai sepuluh quotes. Kebiasaan ini sangat saya syukuri karena selain menyampaikan apa yang “diinspirasikan dalam pikiran” juga diharapkan dapat menjadi berkat atau bahkan sebagai pembawa “tulisan kebenaran” bagi siapapun yang sudi membacanya. Dari keseluruhan quotes tidak ada satupun yang mengutip ataupun menggunakan kata-kata dari orang lain. Semua mengalir begitu saja dengan mudahnya dan oleh karena itu saya percaya bahwa ada Penginspirasi dibalik semuanya itu.

Untuk memudahkan melacak tanggal pemostingan, dibagian paling bawah setiap quotes selalu saya cantumkan tanggal berupa angka dalam empat sampai enam digit. Sebelum tanggal saya cantumkan inisial SP yang merupakan kepanjangan dari Saor Panjaitan. Pencantuman insial lebih ditujukan kepada pernyataan bahwa saya bertanggung jawab atas semua quotes yang saya tuliskan dan andaikanpun ada yang hendak men-share atau mengutip quotes tersebut, maka saya selalu menghimbau untuk mencantumkan inisial pembuat atau nama saya demi mempertanggung jawabkannya jika ada yang keberatan atau merasa tersinggung dengan salah satu quotes yang saya buat. Jika dihitung, mungkin lebih kurang sudah seribu quotes yang pernah saya posting. Betapa hebatnya Tuhan yang mengijinkan saya sebagai saluran quotes-NYA.

Setelah berbulan-bulan memposting quotes campuran dari berbagai thema berdasarkan apa yang muncul dalam pikiran ataupun situasi kondisi baik sosial, politik dan lainnya, belakangan saya memposting dengan menetapkan thema harian. Ada yang tentang Keluarga, Kematian, Nasionalisme, Toleransi, Peran Ayah, Kebenaran, Peradaban, Sorga, Neraka, Anarkisme, Kerendahan Hati, Kesabaran, Kasih, Kekuasaan, Pikiran dan berbagai thema lainnya.

Pada Selasa pagi, 12 September 2017 yang lalu, saya memposting quote dengan thema harian tentang kematian. Salah satu quotes berbunyi: “DOA BISA MENUNDA KEMATIAN”.

Quotes  tersebut sebenarnya terinspirasi dari saat saya membawakan renungan pada ibadah doa pagi yang dilaksanakan rutin setiap Sabtu pagi yang dimulai pada pukul 05.30 WIB di Gereja Methodist Indonesia Efrata yang berada di dalam perumahan Griya Parung Panjang Kabupaten Bogor.

Renungan yang saya bawakan saat itu berjudul “SEPERTI APA DOAMU” dan dimulai dengan menjabarkan 5 Jenis Doa yaitu Parakaleo, Deomai, Aiteo, Erotao dan Euchomai. Kelimanya berasal dari bahasa Yunani.

Kata doa yang akan saya uraikan berikut ini adalah tentang AITEO,  – untuk keempat jenis doa lainnya semoga saya dapat uraikan juga dilain waktu dan tentunya akan saya kaitkan dengan quotes yang berkaitan dengannya – yang artinya mengajukan permohonan.

Setiap dari kita yang meyakini adanya Sang Adi Kodrati tentunya menyadari bahwa doa adalah media utama dan terutama dalam berkomunikasi dengan Sang Pencipta.

Dalam agama apapun, doa menjadi ritual utama mulai dari saat pewahyuan diturunkan sampai pada permohonan pengampunan atas jeratan dosa yang begitu merantai kehidupan seseorang. Doa bisa dilakukan sendiri dalam kamar kosong sembari bertelut ataupun yang diujarkan di dalam hati dengan atau tanpa mata yang terpejam dan jemari yang terangkai dalam suatu perjalanan, entah menuju kantor atau ketika pulang kampung. Doa juga bisa dilakukan bersama-sama, baik yang disuarakan secara serempak bersamaan maupun yang dipimpin oleh seseorang sebagai pendoa syafaat.

Doa juga sering dilakukan sembari menaikkan pujian penyembahan maupun yang dinaikkan bersamaan dengan deraian air mata. Dengan berdoa sebenarnya harus timbul suatu keyakinan yaitu betapa rapuhnya kita tanpa Tuhan dan betapa dekatnya Tuhan itu karena jaraknya hanya sebatas doa. Oleh karena itu setiap pendoa adalah mereka yang berusaha mendekatkan diri dengan Tuhannya karena adanya suatu kebutuhan maupun timbulnya perasaan syukur dan terima kasih karena kehidupan yang begitu indah yang dirasakannya.

Mereka yang terbiasa berdoa biasanya memiliki kerendahan hati dan empati yang besar karena ketekunan tersebut membawanya kepada kerinduan untuk mendahulukan mendoakan orang lain dibandingkan pemenuhan atas kebutuhannya sendiri.

Doa adalah keharusan bahkan perintah langsung dari Sang Penerima Doa agar setiap ciptaanNYA senantiasa tetaplah berdoa (1 Tesalonika 5 : 17). Tuhan juga mengajarkan suatu strategi doa yang efektif yang berkenan dan menyenangkan hatiNYA. Perhatikan Matius 6 : 9 – 10 yang adalah doa pembukaan dari Doa Bapa Kami. Kristus mengajarkan untuk memulai doa dengan mengakui kekudusan dan kebesaranNYA. Ayat 9 dimulai dengan kalimat imperatif: “Karena itu berdoalah demikian” lalu dilanjutkan dengan “Bapa kami yang di sorga, Dikuduskanlah namaMU, datanglah kerajaanMU, jadilah kehendakMU di bumi seperti di sorga. Kalimat awal dari DOA BAPA KAMI ini adalah suatu kelumrahan yang harus diucapkan dan diakui oleh para pendoa. Setelah kalimat pengakuan akan kebesaranNYA maka kita bebas mengajukan permohonan kepada BAPA.

Kitab 2 Raja-raja, 1 dan 2 Tawarikh mengisahkan tentang eksistensi Hizkia bin Ahas sebagai Raja Yehuda ke-13 (725 – 697 SM). Dia raja yang kuat dan percaturan politik kerajaan-kerajaan saat itu mengakui dia sebagai pemimpin yang bijaksana. Hizkia memulihkan tempat dan prosesi peribadatan, mencari pertolongan Tuhan saat melawan Asyer, merayakan kembali paskah yang tidak pernah lagi dilakukan sejak pecahnya  kerajaan kesatuan, membuat kolam dan saluran air ke dalam kota Yerusalem namun ‘over dosis sukacita’ saat bakal penawan bangsa Israel di kemudian hari yaitu kerajaan Babel saat dipimpin oleh Merodakh Baladan bin Baladan mengiriminya surat dan pemberian pasca kesembuhannya dari sakit lalu memamerkan segenap harta benda kerajaannya kepada utusan Babel tersebut. Suatu keteledoran yang akhirnya ditegur Tuhan melalui Yesaya dimana kelak bangsa Israel mengalami masa pembuangannya yang pertama pasca ditaklukkan oleh Babel dimasa pemerintahan raja Nebukadnezar.

Prestasi tertinggi dari Hizkia di mata Allah sebenarnya adalah tentang kebijakannya menutup bukit-bukit pengorbanan kepada ilah-ilah lain dan pemusatan peribadahan di Bait Allah. Suatu kebijakan yang bisa disimpulkan bahwa Hizkia adalah Raja Yehuda yang saleh dan mau merendahkan dirinya melalui doa-doa yang dinaikkannya kepada Allah.

Quote DOA BISA MENUNDA KEMATIAN sebagaimana yang telah saya sampaikan di atas sebenarnya diharapkan bisa memancing berbagai komentar kritis dari teman-teman di media sosial. Bagi mereka yang percaya bahwa Tuhan yang menentukan umur manusia mungkin bisa berkomentar seperti: Bagaimana mungkin jika umur sudah ditentukan waktunya masih bisa lagi dimintakan perpanjangan, atau bagi mereka yang meyakini filsafat Fatalisme yang percaya bahwa manusia sudah ditentukan takdir atau nasibnya sehingga tidak bisa lagi mengubah jalan hidup atau cita-citanya karena sudah ditentukan dari sejak dilahirkan. Saya juga menantikan pernyataan lain seperti kritikan yang menyatakan saya sok tahu atau bertindak seperti Tuhan atau bahkan menyesatkan. Tapi tidak ada komentar yang bisa memanaskan lapak FB saya. Quote tersebut bahkan sepi komentar dan jempol tanda like. Cuma 3 like dan satu comment berupa animasi anjing yang berjingkrak kesenangan atasnya. Cukup aneh, karena biasanya quotes yang saya posting rata-rata mendapat lebih dari 10 like di luar comment. Tapi sudahlah, mungkin di lain hari ada yang melihat lagi quote yang saya harapkan kontroversial ini.

Pernyataan DOA BISA MENUNDA KEMATIAN bukan sekadar asal tulis. Yesaya 38 : 1 – 8 adalah dasar teologis yang melatar belakangi keberanian saya mempostingnya.

Mari kita lihat apa yang dikatakan ayat-ayat tersebut. Dikisahkan suatu kali Hizkia jatuh sakit dan hampir mati. Ayat paralel dengan kisah ini terdapat juga di dalam 2 Raja-raja 20 : 1 – 11 dan 2 Tawarikh 32 : 24 – 26. Pada 2 Raja-raja 20 : 7 ada tertulis bahwa penyakit yang diderita oleh Hizkia adalah Barah, sejenis penyakit kulit yang membengkak dan bernanah (bisul). Mungkin bukan bisul biasa karena dengan sakit tersebut dia akan segera mati. Yesaya sebagai utusan Tuhan menyampaikan bahwa Hizkia harus menyampaikan pesan terakhir kepada keluarganya akan kematian ini.

Begitu Yesaya menyampaikan pesan Tuhan ini serta merta Hizkia memalingkan mukanya kearah dinding dan langsung berdoa. Kesalehan hidupnya menuntun reaksi spontan yang tepat atas pesan ini. Isi doanya adalah jenis doa Aiteo yaitu permohonan untuk disembuhkan dan dengan demikian tidak segera mati.

Hizkia mengawali doanya dengan mengingatkan kepada Tuhan akan apa yang telah dilakukannya (Ayat 3) : “Ah TUHAN, ingatlah kiranya, bahwa aku telah hidup di hadapanMU dengan setia dan dengan tulus hati apa yang baik di mataMU. Setelah mengatakan itu dia menangis dengan sangat. Raja bijaksana dan saleh itu merendahkan dirinya dihadapan Allah dengan menangis yang saya percaya mungkin lebih dari tangisan anak-anak secara ekspresif.

Setelah mengingatkan Tuhan dengan kalimat tersebut tentunya dia mengajukan permohonan dalam tangisannya atas keputusan yang telah ditetapkan kepadanya. Pada ayat 16 yang berisikan karangan Hizkia sesudah ia sakit dan sembuh dari penyakitnya menegaskan permohonannya: Ya Tuhan, karena inilah hatiku mengharapkan Engkau; tenangkanlah rohku, BUATLAH AKU SEHAT, BUATLAH AKU SEMBUH! Ini jelas sebuah permohonan.

Maka tak terbantahkan bahwa DOA BISA MENUNDA KEMATIAN adalah sesuatu yang possible, sesuatu yang benar secara teologis. Tidak ada keraguan dan kesesatan di dalamnya.

Untuk dikabulkannya suatu permohonan bahkan atas kasus yang sudah final diperlukan argumen kuat yang faktual. Mari kita kembali ke ayat 3. Di situ kita melihat ada 2 hal yang saya percaya menjadi perhitungan bagi Allah untuk mengabulkan doa Hizkia.

Kedua hal itu adalah SETIA dan TULUS HATI. Kesetiaan adalah kepercayaan yang dilakukan dengan tekun, taat dan teguh. Dibutuhkan iman yang kokoh dan keyakinan total untuk dapat berlaku setia. Kesetiaan bukan hanya dilakukan atau diperlihatkan dihadapan kepada siapa seseorang setia, namun saat tidak dihadapannya pun kesetiaan tetap konsisten dilakukan bahkan Wahyu 2 : 10 menyatakan harus dilakukan sampai mati. Untuk itu dibutuhkan ketulusan hati yang bergandengan tangan erat dengan kesetiaan sehingga berkenan kepada siapa seseorang menunjukkan kesetiaan dan ketulusan hatinya. Kesetiaan dan ketulusan adalah sifat dari orang-orang kudus.

Kesetiaan dan ketulusan hati Hizkia dibenarkan oleh Allah karena setelah dia menaikkan doa permohonan, serta merta Allah langsung mengabulkan permohonannya. 2 Raja-raja 20 : 4 – 6  membuktikan hal ini. Belum lagi Yesaya keluar dari pelataran tengah istana, Allah langsung berfirman untuk disampaikan kepada Hizkia bahwa IA telah mendengar doanya dan mengindahkan air matanya. Bukan hanya perpanjangan usia lima belas tahun lagi bahkan Allah memberikan ‘bonus’ bagi kerajaan yang dipimpinnya akan dilepaskan dari tangan raja Asyur bahkan memagari Yerusalem dari bahaya apapun!

Apakah Aiteo-mu? Apapun itu naikkanlah dengan keyakinan, sementara itu hiduplah dalam Kesetiaan dan Ketulusan Hati, maka Tuhan berkenan akan doa-doamu. Tuhan Yesus Memberkati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar