Translate

Kamis, 12 Mei 2016

NGAMEN 1 Karya: Saor R.S.S.S. Panjaitan



NGAMEN 1

Karya: Saor R.S.S.S. Panjaitan

Diatas flyover dalam deru riuh mesin mobil
Menggelantung aku pada kain lusuh
Di dada ibu yang rapuh
Kudongakkan kepala menatap bibirnya
Tampak bergetar lirih lantunkan lagu
Hembusan nafasnya terpa kening kecilku
Yang penuh biang keringat gatal
Nafasnya sedikit bau tak sedap
Yah, karna sejak sore kemarin belum tersentuh air
Samping depan kutengok bibi
Adik bapak dari kampung yang kurus dan dekil
Pendamping setia ibu
Dari waktu ke waktu
Dari pagi ke sore
Dari hujan ke hujan
Dari panas ke panas
Dari ujung jalan anu ke ujung jalan anu
Dari bus ke bus
Dari terminal ke terminal
Dari flyover ke flyover
Dari lagu ke lagu
Dari koin ke koin
Kutatap mulutnya komat-kamit lontarkan kidung
Sementara tangan sibuk mengicrik
Lebih lantang dan semangat dari ibu
Masih keras karna masih muda dan masih pagi
Meski sumbang dan lirikpun tak jelas
Yang penting jadi satu lagu
Untuk kemudian lanjutkan dengan lagu lainnya
Kali ini mungkin cukup dua saja
Karna kami harus hemat suara
Untuk cadangan sepanjang hari ini
Kugigiti bakwan murah di tangan
Bekal sarapan pagi kata ibu
Supaya sehat dan tak tersentuh busung lapar
Ibu memang hebat dan sayang padaku
Bakwan ini kuingat tadi dibeli ibu dengan sepuluh logam keperakan
Hasil dari dua kali ngamen di dua bus
Kampung Melayu - Pulo Gadung
Pulo Gadung - Senen
Sekarang peruntungan kami coba di lintasan Senen – UKI
Kulihat banyak penumpang menguap
Aku heran sepagi ini mereka sudah rajin menguap
Barangkali semalam banyak makan dan begadang dalam pesta
Lainnya ada yang melamun
Entah apa yang dilamunkan
Tapi satu hal yang pasti
Suara ibu dan bibi tak digubris
Beberapa mata ada yang menatap kami serius
Entah apa yang ada dibenaknya
Mungkin mencoba hubungkan tugu Monas dengan tubuh kami
Atau bandingkan lengkingan suara kami dengan suara-suara di Senayan
Tampak juga dua mata sayu berselaputkan haru
Berpindah dari bakwan ke koreng dikaki bibi
Keingusku dan kemudian kelengan ibu yang kurus kering
Akhirnya bermuara di dada ibu yang tonjolkan susu peyot
Bibirnya bergumam lirih sementara kepala menggeleng-geleng
Kasihan mungkin dia melihat tiga ikon bangsanya
Di bangku tiga kanan belakang sopir
Sesosok buncit  setengah baya terpulas sambil sunggingkan senyum
Air liurnya tampak mulai mengences
Pasti termimpi makan enak
Aku tak tahu apakah memang terbiasa makan enak atau justru sebaliknya
Perutnya yang buncit belum tentu menggambarkan kemakmuran
Bisa saja busung lapar seperti perutku
Kulirik sopir dibelakang kemudi yang asyik menyedot asap
Dia tak peduli aturan main di dalam bus ber AC
Memangnya siapa yang berani melarang
Penguasa bus penentu arah dan kebijakan

Puisi ini terinspirasi saat penulis menaiki Bus Patas AC
Jurusan Senen – Cibinong pada 2001

Tidak ada komentar:

Posting Komentar