Translate

Selasa, 08 September 2015

BELAJAR YANG SEJATI


BELAJAR YANG SEJATI
 Mazmur 119, Yosua 22 : 5 dan Mazmur 63 : 9
SAOR R.S.S.S. PANJAITAN


Mengajar bukan hanya sekedar mentransfer ilmu pengetahuan bagi yg diajar. Mengajar memberi kesempatan emas kepada pengajar untuk mempersiapkan bahan ajar yg baik berdasarkan rencana pembelajaran yg jauh jauh hari telah disiapkan dan disosialisasikan kepada yang diajar. Disebutkan sebagai kesempatan emas karena persiapan bahan membuat pengajar harus belajar lagi, memperbarui ilmu yang dikuasai berdasarkan kemajuan jaman, menyiapkan strategi pengajaran yg metodis, aplikatif dan membuka kesempatan pada yang diajar untuk bertanya atau bahkan memberi argumen terbalik atas materi yg disampaikan.
Setelah proses persiapan dan penyampaian materi selesai, pengajar juga harus mengevaluasi performanya yang bisa didapatkan dari respon dari yang diajar di ruang belajar maupun nilai ujian yang dihasilkan. Merupakan keprihatinan yang mendalam bagi pengajar jika ternyata nilai akhir dari yang diajar mayoritas tidak memenuhi standar minimal yg dipersyaratkan, bahkan bagi pengajar yg baik, satu saja dari yang diajarnya tidak berhasil itu merupakan keprihatinan yg mendukakannya.
Ketidak berhasilan mungkin saja karena faktor kekurangmampuan akademik maupun ketidak mampuan menggunakan proses belajar dengan baik. Faktor ini tentunya dari yang diajar. Bisa juga karena ketidakmampuan pengajar dalam menjabarkan bahan ajar atau ketidak tegasan pengajar dalam membina dan memotivasi para terajar untuk berjuang menguasai materi ajar dengan baik.
Hal yang juga sangat memprihatinkan pengajar adalah saat proses pembelajaran berlangsung, yang diajar mengabaikan pengajaran yg diberikan. Respon seperti ini sebenarnya adalah suatu pengabaian yang menunjukkan kurang atau bahkan tiadanya respek yang diajar kepada pengajar. Tidak perlu menunggu sampai masa uji akhir dilakukan, bisa dipastikan hasil negatif akan diperoleh para terajar.
Dalam konteks rohani, Pengajar sejati yg maha benar dan sempurna tentunya memberi tuntunan baik berupa bahan bahan ajar dari lingkup alam semesta yang menguatkan kebenaran materi ajar dari Pengajar sejati, interaksi sesama terajar, logika dan hati nurani bahkan tersedianya bahan ajar yg telah terkodifikasi, hasil dari titah maupun perjalanan sejarah terajar yg didokumentasikan oleh para utusannya.
Menyedihkan bagi Pengajar sejati nan agung jika para terajar mengabaikan semua bahan ajar yg sudah dibeberkan didepan mata rohani dan iman para terajar. Lebih memprihatinkan lagi jika para terajar saling menggigit dan mencakar ketika proses pembelajaran sedang dijalani para terajar. Bagaimana mungkin dapat mengarahkan seluruh eksistensi diri kehadapan Pengajar sejati jika masih menyibukkan diri untuk mencakar diantara sesama terajar.
Andaikanpun saat proses belajar itu para terajar mengklaim sedang menghayati dan mengaplikasikan semua bahan ajar dari Pengajar sejati, pastilah itu hanya pepesan kosong berwarna kemunafikan dan seruan-seruan para terajar yg mencoba membela diri dengan meneriakkan bahwa mereka sedang mempraktikkan bahan ajar dari Pengajar sejati hanya akan terdengar bagaikan lolongan lirih yang dari kualitasnya pun jelas meragukan dan memprihatinkan.
Perhatikan: Bahan ajar dari Pengajar sejati dan agung hanya dapat dihayati dan diimplementasikan ketika kita betul betul melekat kepadaNYA.TYM.

*SP*

Selasa, 18 Agustus 2015

Antara Dosa, Belas Kasihan dan Kebaikan Budi



Antara Dosa, Belas Kasihan dan Kebaikan Budi
Matius 18 : 21 – 35
Saor R.S.S.S. Panjaitan

 
Dosa adalah tindakan manusia secara perorangan ataupun secara bersama-sama yang menyimpang dari kehendak dan hukum Allah.
Alkitab mencatat dalam Kejadian 3 bahwa pertama kali manusia jatuh dalam dosa adalah karena ketidak taatannya pada perintah Allah dan ambisi ingin menyamai Allah. Pasca peristiwa kejatuhan manusia dalam dosa yang pertama tersebut menjadikan manusia begitu rentannya terhadap dosa dan selain Kristus dipastikan bahwa semua manusia berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah (Roma 5 : 12; Roma 3 : 23) padahal upah dari dosa adalah maut (Roma 6 : 23a).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa saya dan anda adalah pendosa yang pasti dihukum. Celakanya adalah, di dalam kecenderungan untuk terus berbuat dosa ternyata manusia tidak mampu untuk mengusahakan dirinya terbebas dari jerat dosa itu. Diperlukan suatu upaya adi kodrati atau tindakan illahi sendiri untuk membereskan keberdosaan manusia.
Pribadi yang telah dikhianati dan kepadaNYA manusia telah melakukan pemberontakan adalah ALLAH, padahal manusia justru adalah ciptaanNYA yang paling sempurna karena dibuat secitra/segambar dengan DiriNYA sendiri. Sebagai kesayanganNYA tentu Allah tidak membiarkan ciptaanNYA ini semua masuk ke dalam maut. Allah sendiri harus bertindak turun menjadi sama dengan manusia dalam rupa Kristus untuk menyelamatkan manusia yang rapuh itu.
Keselamatan memang anugerah cuma-cuma yang disediakanNYA, namun bukan berarti serta merta berlaku tanpa adanya respon dari manusia itu sendiri. Diperlukan kesadaran akan keberdosaan manusia untuk kemudian mengambil tindakan pengakuan dan penyesalan serta permohonan belas kasihan Allah untuk memulihkan hubungan yang telah rusak itu. Ketika ini dilakukan manusia, maka belas kasihan Allah akan berlaku dan pengampunan yang memulihkan akan diberikanNYA dengan cuma-cuma.
Pada perumpamaan yang langsung dikisahkan oleh Tuhan Yesus di Matius 18, diajarkan kepada kita bahwa pengampunan yang Allah berikan sesungguhnya pengampunan yang melampaui akal pikiran manusia.
Raja menghapuskan hutang dari hambanya sebesar sepuluh ribu talenta, mari coba kita hitung:
Saat itu, seluruh pajak yang dibayarkan oleh wilayah yang mencakup Yudea, Idumea, Samaria dan Galilea adalah sebesar 800 talenta, berarti jauh lebih kecil dibandingkan hutang si hamba!
1 Talenta = 6.000 Dinar, berarti 10.000 Talenta = 60.000.000 Dinar.
Dinar adalah mata uang Romawi senilai upah harian seorang buruh, jika upah 1 hari untuk buruh (di Indonesia) adalah Rp. 100.000, maka,
10.000 Talenta = 60.000.000 x 100.000 = 6.000.000.000.000 (terbilang: Enam trilyun Rupiah!)
Lalu berapakah 100 Dinar? Hanya Rp. 10.000.000 saja!
Jika dibandingkan dengan hutang si hamba kepada Raja berarti hutang hamba lain tersebut jika dibulatkan hanya 0,0002% saja!
Menarik untuk diperhatikan, tindakan dan kata-kata yang digunakan si hamba Raja adalah: sujud menyembah raja dan mengatakan "sabarlah dahulu, segala hutangku akan kulunaskan". Hanya dengan tindakan dan kata-kata ini, Raja tergerak hatinya dan menghapuskan semua hutangnya.
Sementara tindakan si hamba itu sendiri kepada hamba lainnya yang adalah kawannya sendiri adalah begitu bertemu ia langsung menangkap, mencekik dan pastinya dengan keras mengatakan: "bayar hutangmu!"
Temannya itupun melakukan hal yang sama yaitu sujud dan memohon dengan kata-kata yang mirip yaitu: "sabarlah dahulu, hutangku itu akan kulunaskan", namun si hamba menolak bahkan memenjarakan kawannya itu.
Bayangkan, hutang yang tidak mungkin dilunasi, diampuni dan dibebaskan dan jangan lupa bukan hanya dirinya yang dibebaskan dari hutang tapi juga istri, anak dan segala miliknya tidak dijual (dibebaskan), sementara kawan si hamba yang mungkin untuk bisa dilunasi hanya beresiko terhadap dirinya sendiri yang dipenjarakan, namun anak, isteri dan segala miliknya tidak terkena resiko akibat dari besarnya hutang tersebut!
Begitulah kita manusia, sering membesar-besarkan kesalahan ataupun dosa orang lain sementara diri kita sendiri yang adalah pendosa yang telah dibelaskasihani sudah lebih dahulu diampuni. Artinya pengampunan dosa karena belas kasihan Alllah seharusnya justru membuat kita bermurah hati dan senantiasa mudah untuk memberi pengampunan kepada mereka yang bersalah kepada kita.
Mari kita belajar dari perumpamaan yang Tuhan Yesus berikan ini, mari juga kita meneladani apa yang Paulus katakan dalam 1 Timotius 1 : 15, ".....Kristus Yesus datang ke dunia untuk menyelamatkan orang berdosa, dan di antara mereka akulah yang paling berdosa."
Jika orang sekaliber Paulus bisa sedemikian rendah hati dan menyadari jati dirinya, hendaknya kita yang biasa-biasa namun dijadikan luar biasa karena diampuni dosa dan kesalahan serta menjadi ahli waris kerajaanNYA senantiasa murah untuk berbelas kasihan dan melakukan kebaikan-kebaikan karena Allah telah lebih dahulu memberikan belas kasihanNYA dan kebaikanNYA kepada kita.
Jika saat ini anda teringat akan dosa dan kesalahan saudaramu atau siapapun baik yang baru maupun dari masa lampau, segeralah doakan dia dan lepaskan pengampunan kepadanya, maka hidupmu akan berkenan kepadaNYA. Hidup yang berkenan kepada Allah adalah hidup yang senantiasa melakukan kebaikan. Amin. TYM.
*SP*

Selasa, 11 Agustus 2015

TAATILAH TUHAN



TAATILAH TUHAN
Kejadian 12 : 1 – 9
By: Saor R.S.S.S. Panjaitan


Kelebihan manusia dari makhluk lainnya adalah dia memiliki akal budi yang memampukannya melakukan pilihan pilihan apapun sesuai dengan kebutuhannya. Akal budi membutuhkan kompas rohani agar pilihan yang diambil tidak Melenceng dari arah yang telah Tuhan rancangkan yaitu segala hal yang baik bagi tiap manusia sekalipun prosesnya mungkin tidak menyenangkan namun hasil akhirnya pasti baik. Untuk itu diperlukan ketaatan agar rancangan tersebut tergenapi.
Ketika Terah membawa seluruh keluarganya keluar dari Ur Kasdim, mungkin saat itu tujuan dalam hatinya adalah untuk mencari peruntungan sehingga mereka menetap terlebih dahulu di Haran sebuah kota perdagangan di Mesopotamia purba. Tujuan awalnya adalah Kanaan, namun akhirnya dia meninggal di Haran.
Bagi Allah, rancangan awal keluarnya Abram dari Ur Kasdim sudah dirancangkan sedemikian rupa bukan hanya untuk jangka pendek atau menengah namun jauh kedepan dimana kelak nantinya darinya akan diturunkan bangsa pilihan Allah dan dari salah satu sukunya yaitu Yehuda akan lahir Raja Israel terbesar yaitu Daud dan inkarnasi Allah dalam rupa manusia yaitu Juruselamat manusia Tuhan Yesus Kristus. Suatu proses yang memakan waktu bukan hanya ratusan tapi ribuan tahun kemudian.
Secara manusiawi pasti tidak menyenangkan bagi Abraham untuk keluar dari Ur Kasdim lalu Haran karena sebagai keluarga yang terpandang Terah memiliki kekayaan, keluarga dan asset lainnya yang harus ditinggalkan. Terlebih bagi Abraham yang beristrikan Sarai yang mandul dan keponakannya Lot yang dalam proses berikutnya akan berseberangan dengannya. Belum lagi resiko menghadapi suku bangsa lain yang dapat mengancam keselamatan diri, keluarga dan harta bendanya.
Bagi kita manusia jaman kini yang sering mengandalkan logika dan realita hidup sesaat, mungkin menilai lebih konyol lagi akan kepergian Abraham ke Kanaan yaitu suatu tempat yang bahkan dia belum ketahui sama sekali!
Namun perintah Tuhan adalah segalanya dan merupakan kehormatan besar untuk ditaati dan dijalankannya.
Kejadian 12 : 1-9 bahkan pasal sebelumnya tidak ada sama sekali menuliskan sebagai bukti atau indikasi bahwa Abraham mempertanyakan atau tawar menawar akan perintah menuju Kanaan tersebut. Mungkin jika Abraham miskin ataupun diusir dari kampung halamannya maka beralasanlah jika dia langsung taat dan menjalankan perintah Tuhan untuk pergi ke Kanaan, namun faktanya dia taat untuk meninggalkan comfort zone nya hanya demi melaksanakan satu perintah. Proses panjang yang tidak nyaman Abraham lakukan dan rancangan Allah yang akhirnya pasti baik tergenapi bagi Abraham.
Kisah ketaatan Abraham hendaknya menjadi inspirasi dan motivasi bagi kita untuk hidup dalam ketaatan kepada Tuhan dan dalam implementasi kepada sesama kita juga senantiasa taat kepada mereka yang memang memiliki otoritas dan integritas untuk memberikan perintah kepada kita.
Rakyat taat kepada pemerintahnya (Roma 13), bawahan taat kepada atasannya, istri taat kepada suami, anak-anak taat kepada orangtua (Efesus 5), murid taat kepada guru, jemaat taat kepada gembalanya. Ketidak taatan dapat dilakukan dengan meminta hikmat pada Tuhan jika perintah yang diberikan menentang Tuhan atau diperintahkan melakukan dosa. Namun terhadap figur yang memberi perintah tersebut kita tetap respek/hormat.
Hari ini adalah tahun ajaran baru bagi para murid dan hari pertama kerja bagi karyawan. Kiranya ketaatan Abraham menginspirasi dan memotivasi kita menjadi anak anak Tuhan yang taat. TYM.
*SP*

Senin, 10 Agustus 2015

MUSA TIDAK PERCAYA DAN BERDOSA?



MUSA TIDAK PERCAYA DAN BERDOSA?
BILANGAN 20 : 2 – 13
By: Saor R.S.S.S. Panjaitan

 
Bagi yudaisme (istilah yang yang digunakan untuk agama dan kebudayaan bangsa yahudi) atau Israel, Musa adalah tokoh sentral yang darinya hukum dan peraturan bahkan kitab suci orang Yahudi diturunkan. Segala aturan yang berkenaan dengan kehidupan rohani bangsa Israel merujuk kepada Perjanjian Lama khususnya pada 5 kitab pertama yaitu Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan dan Ulangan.
Khusus kitab Bilangan (Arithmoi, Yun; Bemidbar, Ibr) yang diperkirakan ditulis oleh Musa sendiri sekitar 1445 – 1405 SM bertemakan tentang pengembaraan bangsa Israel di Padang Gurun.
Menarik untuk dipelajari, di Kitab Bilangan inilah justru terdapat kisah tentang berdosanya Musa dan Harun karena ketidak percayaannya kepada ALLAH.
Lembaga Alkitab Indonesia dalam Bilangan 20 : 2 -13 memberikan judul yang tegas yaitu “Dosa Musa dan Harun” yang disebabkan karena ketidak percayaan mereka kepada Allah.

Dikisahkan saat bangsa Israel sampai di padang gurun Zin mereka mengalami krisis air yang berimbas pada pertengkaran bangsa itu dengan pemimpinnya yaitu Musa dan Harun (ayat 2-5). Bila kita membayangkan keadaan tersebut, tentu sangat menggentarkan bagi Musa dan Harun dikerumuni oleh begitu banyaknya manusia yang mudah marah dan ahli dalam berperang.
Bila kita perhatikan dengan seksama, pertengkaran adalah antara dua pihak, dalam ayat-ayat ini Allah belum dilibatkan atau melibatkan diri sekalipun mungkin Musa adalah sasaran antara oleh bangsa Israel sebelum terang-terangan menghujat Allah yang telah mengeluarkan mereka dari perbudakan Mesir.

Bila kita mencoba masuk ke dalam kisah ini, mungkin kita berpikir wajar jika bangsa itu marah karena krisis air dan Musa seharusnya peka dan langsung mengambil inisiatif sebelum bangsa itu datang mengerumuninya, tapi Musa pasif sampai kemudian tersadar bahwa ada yang tidak beres dalam perjalanan mereka di padang gurun. Untuk hal ini kita bisa belajar bahwa sebagai pemimpin seharusnyalah peka dan aktif mengambil inisiatif (preventif) karena otoritas dan kapabilitas seorang pemimpin akan dipertanyakan jika dia tidak memperhatikan keadaan dari yang dipimpinnya.
Perhatikan ayat 6, setelah Musa dan Harun di complain, mereka tidak mencoba untuk membela diri dari bangsa itu namun segera sujud meminta pertolongan dari Allah.

Ayat 7 sampai 9 jelas memperlihatkan bahwa tidak ada kemarahan Allah, ketika DIA memberikan solusi kepada Musa dan Harun. Artinya pertengkaran dalam ayat sebelumnya adalah antara pihak Musa/Harun dan dengan bangsa Israel di pihak lainnya, bukan dengan Allah. Tentunya Allah yang maha tahu, mengerti dengan keadaan krisis air itu bahkan sebelum krisis itu sendiri datang, namun DIA tidak serta merta menyatakan diriNYA untuk mengatasi masalah air tersebut. Allah menginginkan ketergantungan total bangsa Israel terutama Musa dan Harun sebagai pemimpin. Ketergantungan yang semestinya melakukan permohonan setiap saat untuk dilalukan dari suatu krisis atau segera meminta pertolonganNYA di saat gejala-gejala krisis sudah mendekat.
Allah memberikan instruksi kepada Musa dan Harun untuk memperlihatkan betapa peduli dan bertanggung jawabnya DIA kepada mereka sekaligus memperlihatkan kemahakuasaan dan kemahakudusanNYA yang harus dihormati oleh Musa dan seluruh bangsa itu.

Namun apa yang terjadi? Ini dia keberdosaan Musa dan Harun! Ayat 10 dan 11 membeberkan perkataan dan perbuatan yang memperlihatkan ketidak percayaan mereka. Ketidak percayaan yang dimaksud bukanlah berarti ketidak adaan iman, tetapi ketidak taatan. Kata ketidak percayaan dalam perikop ini menggunakan kata Apistia dan Apeitheia yang bermakna tidak taat, durhaka, berontak ataupun degil. Ini merupakan kealpaan dari iman dan kepercayaannya. Musa tentunya mengenal dan percaya kepada Allah, namun lewat suatu peristiwa atau keadaan tertentu ia dikategorikan sebagai tidak percaya atau tidak taat dan ini adalah dosa.
Setidaknya ada 4 kesalahan Musa dan Harun yang didasari atas ketidak percayaan mereka kepada Allah.

Pertama, di ayat 10 disebutkan ketika mereka telah mengumpulkan bangsa itu, mereka memurkai (marah besar) umat Israel bahkan dengan kata-kata yang tidak senonoh dengan menyebut mereka sebagai “orang-orang durhaka”. Bayangkan, dalam ayat yang sebelumnya jelas tertulis tidak ada sama sekali kemarahan Allah pada bangsa itu, mengapa Musa harus seemosi itu, padahal 8 pasal sebelum Pasal 20 ditegaskan bahwa Musa adalah seorang yang sangat lembut hatinya, bahkan dikatakan, lebih dari setiap manusia yang di atas bumi! (Bil 12 : 3).
Apakah mentang-mentang dia sudah ketemu Allah, tidak dimurkaiNYA lalu merasa punya backing sehingga dia kelepasan emosi kata-kata sampai sedemikian tidak senonohnya?

Kedua, dosa melalui kata-kata dilanjutkannya lagi dengan tindakan kasar yang membuat rantai dosanya memanjang. Ayat 11 melukiskan kemurkaan Musa dimana dia lalu mengangkat tangannya dan memukul bukit batu dengan tongkat, bukan hanya sekali, tapi dua kali! Artinya bertubi-tubi dan membuktikan memang dia benar-benar marah besar. Selain jatuh ke dalam dosa karena kemarahan yang emosional, Musa juga jatuh dalam dosa ketidak taatan. Inilah dia ketidak percayaannya itu. Disuruh hanya bicara pada bukit batu tapi malah memukulnya dengan sekuat tenaga. Yakobus 1 : 20 menegaskan bahwa amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah oleh karenanya Efesus 4 : 26 mengingatkan bahwa jika kita marah, janganlah berbuat dosa dan jangan matahari terbenam sebelum padam kemarahan itu.
Pada bagian ini, mari kita renungkan bahwa sekalipun dari tindakan pertama dan kedua dia sudah dalam keadaan berdosa, namun keajaiban masih bisa terjadi. Kita harus menyadari bahwa jika Allah sudah menjanjikan terjadinya mukjizat maka akan Dia genapi, namun waspadai juga mukjizat-mukjizat palsu dengan dalang yang meragukan dibalik terjadinya tanda-tanda itu.

Ketiga, Kalau diperhatikan baik-baik pada ayat 10 di akhir ayat tertulis “....apakah KAMI harus mengeluarkan air bagimu dari bukit batu ini?”
Ini menyiratkan bahwa Musa dan Harun dengan jumawa sedang show of force bahwa merekalah yang melakukan keajaiban tersebut. Mereka telah mencuri kemuliaan Allah, mereka memperlihatkan bahwa mereka luarbiasa. Ini tindakan dosa!
Dalam konteks kontemporer, bagi umat Tuhan, hendaknya mengerti dengan baik dan benar bahwa siapapun hamba Tuhan yang melakukan perbuatan-perbuatan ajaib, harus disadari bahwa dia hanya alat atau hamba yang tidak mungkin melakukan perbuatan ajaib tanpa seijin Allah. Ini menghindarkan diri kita terhadap pemujaan individual, eksklusifitas denominasi tertentu berdasarkan tanda-tanda yang dikejar-kejar dan carilah serta berharap hanya pada Tuhan, bukan hanya berkat-berkat atau mukjizat-mukjizatnya saja.

Keempat, semua kesalahan di atas dilakukan dihadapan seluruh umat Israel, artinya Musa dan Harun tidak menghormati kekudusan Tuhan.
Hal lain yang harus dicermati adalah peranan Harun. Dia adalah Imam besar bangsa Israel pertama yang langsung ditetapkan oleh Allah sendiri (keluaran 28 : 1). Waktu Allah menyampaikan solusi atas krisis air kepada Musa, Harun ada bersama-sama dengannya, demikian pula ketika Musa tidak taat dan jatuh dalam dosa dia juga ada di sisinya. Seharusnya sebelum Musa jatuh ke dalam dosa ketidak taatan dan kemarahan, Harun mengingatkannya dan mencegah terjadinya dosa itu. Namun karena dia hanya diam saja, maka diapun turut bersalah atas ketidak taatan itu.

Kita tahu pada akhirnya Musa dan Harus harus memikul konsekuensi dari keberdosaannya dengan menjadi bagian dari orang-orang yang tidak boleh masuk ke tanah perjanjian. Sungguh ironis sekali, kedua orang ini memimpin bangsa Israel keluar dari perbudakan, melakukan perbuatan-perbuatan ajaib yang diperintahkan Tuhan, melalui Musa hukum dan peraturan umat Israel diturunkan, Musa juga adalah hakim bagi bangsa itu, mereka menjadi jurubicara Allah, pengatur strategi perang, mengatur tata dan tempat ibadah, namun hanya tinggal selangkah lagi masuk ke tanah perjanjian, mereka tidak diperkenankan masuk. Diperkirakan kisah Bilangan 20 ini terjadi sekitar di 38-39 tahun dalam perjalanan mereka di padang gurun yang memakan waktu 40 tahun.

Tuhan menyatakan dalam Imamat 10 : 3 bahwa kepada orang yang karib kepadaNYA, IA menyatakan kekudusanNYA, artinya semakin kita dekat kepada Allah, maka semakin kita harus menghormati kekudusan Allah. Bukan sebaliknya, malah meremehkan ataupun lupa akan fungsi dan peranan diri di hadapan Tuhan dan jatuh dalam dosa ketidak taatan yang menggambarkan ketidak percayaan ataupun ketidak bergantungan total kepada Allah. Amin. TYM.

*SP*