MUSA TIDAK PERCAYA
DAN BERDOSA?
BILANGAN 20 : 2 –
13
By: Saor R.S.S.S. Panjaitan
Bagi yudaisme (istilah yang yang digunakan untuk agama dan kebudayaan
bangsa yahudi) atau Israel, Musa adalah tokoh sentral yang darinya hukum dan
peraturan bahkan kitab suci orang Yahudi diturunkan. Segala aturan yang
berkenaan dengan kehidupan rohani bangsa Israel merujuk kepada Perjanjian Lama
khususnya pada 5 kitab pertama yaitu Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan dan
Ulangan.
Khusus kitab Bilangan (Arithmoi, Yun; Bemidbar, Ibr) yang diperkirakan
ditulis oleh Musa sendiri sekitar 1445 – 1405 SM bertemakan tentang
pengembaraan bangsa Israel di Padang Gurun.
Menarik untuk dipelajari, di Kitab Bilangan inilah justru terdapat
kisah tentang berdosanya Musa dan Harun karena ketidak percayaannya kepada ALLAH.
Lembaga Alkitab Indonesia dalam Bilangan 20 : 2 -13 memberikan judul
yang tegas yaitu “Dosa Musa dan Harun” yang disebabkan karena ketidak percayaan
mereka kepada Allah.
Dikisahkan saat bangsa Israel sampai di padang gurun Zin mereka
mengalami krisis air yang berimbas pada pertengkaran bangsa itu dengan
pemimpinnya yaitu Musa dan Harun (ayat 2-5). Bila kita membayangkan keadaan
tersebut, tentu sangat menggentarkan bagi Musa dan Harun dikerumuni oleh begitu
banyaknya manusia yang mudah marah dan ahli dalam berperang.
Bila kita perhatikan dengan seksama, pertengkaran adalah antara dua
pihak, dalam ayat-ayat ini Allah belum dilibatkan atau melibatkan diri
sekalipun mungkin Musa adalah sasaran antara oleh bangsa Israel sebelum
terang-terangan menghujat Allah yang telah mengeluarkan mereka dari perbudakan
Mesir.
Bila kita mencoba masuk ke dalam kisah ini, mungkin kita berpikir wajar
jika bangsa itu marah karena krisis air dan Musa seharusnya peka dan langsung
mengambil inisiatif sebelum bangsa itu datang mengerumuninya, tapi Musa pasif
sampai kemudian tersadar bahwa ada yang tidak beres dalam perjalanan mereka di
padang gurun. Untuk hal ini kita bisa belajar bahwa sebagai pemimpin
seharusnyalah peka dan aktif mengambil inisiatif (preventif) karena otoritas
dan kapabilitas seorang pemimpin akan dipertanyakan jika dia tidak
memperhatikan keadaan dari yang dipimpinnya.
Perhatikan ayat 6, setelah Musa dan Harun di complain, mereka tidak
mencoba untuk membela diri dari bangsa itu namun segera sujud meminta pertolongan
dari Allah.
Ayat 7 sampai 9 jelas memperlihatkan bahwa tidak ada kemarahan Allah,
ketika DIA memberikan solusi kepada Musa dan Harun. Artinya pertengkaran dalam
ayat sebelumnya adalah antara pihak Musa/Harun dan dengan bangsa Israel di
pihak lainnya, bukan dengan Allah. Tentunya Allah yang maha tahu, mengerti
dengan keadaan krisis air itu bahkan sebelum krisis itu sendiri datang, namun
DIA tidak serta merta menyatakan diriNYA untuk mengatasi masalah air tersebut.
Allah menginginkan ketergantungan total bangsa Israel terutama Musa dan Harun
sebagai pemimpin. Ketergantungan yang semestinya melakukan permohonan setiap
saat untuk dilalukan dari suatu krisis atau segera meminta pertolonganNYA di
saat gejala-gejala krisis sudah mendekat.
Allah memberikan instruksi kepada Musa dan Harun untuk memperlihatkan
betapa peduli dan bertanggung jawabnya DIA kepada mereka sekaligus
memperlihatkan kemahakuasaan dan kemahakudusanNYA yang harus dihormati oleh
Musa dan seluruh bangsa itu.
Namun apa yang terjadi? Ini dia keberdosaan Musa dan Harun! Ayat 10 dan
11 membeberkan perkataan dan perbuatan yang memperlihatkan ketidak percayaan
mereka. Ketidak percayaan yang dimaksud bukanlah berarti ketidak adaan iman,
tetapi ketidak taatan. Kata ketidak percayaan dalam perikop ini menggunakan
kata Apistia
dan Apeitheia yang bermakna tidak taat, durhaka, berontak ataupun
degil. Ini merupakan kealpaan dari iman dan kepercayaannya. Musa tentunya
mengenal dan percaya kepada Allah, namun lewat suatu peristiwa atau keadaan
tertentu ia dikategorikan sebagai tidak percaya atau tidak taat dan ini adalah
dosa.
Setidaknya ada 4 kesalahan Musa dan Harun yang didasari atas ketidak
percayaan mereka kepada Allah.
Pertama, di ayat 10 disebutkan ketika mereka telah mengumpulkan bangsa
itu, mereka memurkai (marah besar) umat Israel bahkan dengan kata-kata yang
tidak senonoh dengan menyebut mereka sebagai “orang-orang durhaka”. Bayangkan,
dalam ayat yang sebelumnya jelas tertulis tidak ada sama sekali kemarahan Allah
pada bangsa itu, mengapa Musa harus seemosi itu, padahal 8 pasal sebelum Pasal
20 ditegaskan bahwa Musa adalah seorang yang sangat lembut hatinya, bahkan
dikatakan, lebih dari setiap manusia yang di atas bumi! (Bil 12 : 3).
Apakah mentang-mentang dia sudah ketemu Allah, tidak dimurkaiNYA lalu
merasa punya backing sehingga dia kelepasan emosi kata-kata sampai sedemikian
tidak senonohnya?
Kedua, dosa melalui kata-kata dilanjutkannya lagi dengan tindakan kasar
yang membuat rantai dosanya memanjang. Ayat 11 melukiskan kemurkaan Musa dimana
dia lalu mengangkat tangannya dan memukul bukit batu dengan tongkat, bukan
hanya sekali, tapi dua kali! Artinya bertubi-tubi dan membuktikan memang dia
benar-benar marah besar. Selain jatuh ke dalam dosa karena kemarahan yang
emosional, Musa juga jatuh dalam dosa ketidak taatan. Inilah dia ketidak
percayaannya itu. Disuruh hanya bicara pada bukit batu tapi malah memukulnya
dengan sekuat tenaga. Yakobus 1 : 20 menegaskan bahwa amarah manusia tidak
mengerjakan kebenaran di hadapan Allah oleh karenanya Efesus 4 : 26
mengingatkan bahwa jika kita marah, janganlah berbuat dosa dan jangan matahari
terbenam sebelum padam kemarahan itu.
Pada bagian ini, mari kita renungkan bahwa sekalipun dari tindakan
pertama dan kedua dia sudah dalam keadaan berdosa, namun keajaiban masih bisa
terjadi. Kita harus menyadari bahwa jika Allah sudah menjanjikan terjadinya
mukjizat maka akan Dia genapi, namun waspadai juga mukjizat-mukjizat palsu
dengan dalang yang meragukan dibalik terjadinya tanda-tanda itu.
Ketiga, Kalau diperhatikan baik-baik pada ayat 10 di akhir ayat
tertulis “....apakah KAMI harus mengeluarkan air bagimu dari bukit batu ini?”
Ini menyiratkan bahwa Musa dan Harun dengan jumawa sedang show
of force bahwa merekalah yang melakukan keajaiban tersebut. Mereka
telah mencuri kemuliaan Allah, mereka memperlihatkan bahwa mereka luarbiasa.
Ini tindakan dosa!
Dalam konteks kontemporer, bagi umat Tuhan, hendaknya mengerti dengan
baik dan benar bahwa siapapun hamba Tuhan yang melakukan perbuatan-perbuatan
ajaib, harus disadari bahwa dia hanya alat atau hamba yang tidak mungkin
melakukan perbuatan ajaib tanpa seijin Allah. Ini menghindarkan diri kita
terhadap pemujaan individual, eksklusifitas denominasi tertentu berdasarkan
tanda-tanda yang dikejar-kejar dan carilah serta berharap hanya pada Tuhan,
bukan hanya berkat-berkat atau mukjizat-mukjizatnya saja.
Keempat, semua kesalahan di atas dilakukan dihadapan seluruh umat
Israel, artinya Musa dan Harun tidak menghormati kekudusan Tuhan.
Hal lain yang harus dicermati adalah peranan Harun. Dia adalah Imam
besar bangsa Israel pertama yang langsung ditetapkan oleh Allah sendiri
(keluaran 28 : 1). Waktu Allah menyampaikan solusi atas krisis air kepada Musa,
Harun ada bersama-sama dengannya, demikian pula ketika Musa tidak taat dan
jatuh dalam dosa dia juga ada di sisinya. Seharusnya sebelum Musa jatuh ke
dalam dosa ketidak taatan dan kemarahan, Harun mengingatkannya dan mencegah
terjadinya dosa itu. Namun karena dia hanya diam saja, maka diapun turut
bersalah atas ketidak taatan itu.
Kita tahu pada akhirnya Musa dan Harus harus memikul konsekuensi dari
keberdosaannya dengan menjadi bagian dari orang-orang yang tidak boleh masuk ke
tanah perjanjian. Sungguh ironis sekali, kedua orang ini memimpin bangsa Israel
keluar dari perbudakan, melakukan perbuatan-perbuatan ajaib yang diperintahkan
Tuhan, melalui Musa hukum dan peraturan umat Israel diturunkan, Musa juga
adalah hakim bagi bangsa itu, mereka menjadi jurubicara Allah, pengatur
strategi perang, mengatur tata dan tempat ibadah, namun hanya tinggal selangkah
lagi masuk ke tanah perjanjian, mereka tidak diperkenankan masuk. Diperkirakan
kisah Bilangan 20 ini terjadi sekitar di 38-39 tahun dalam perjalanan mereka di
padang gurun yang memakan waktu 40 tahun.
Tuhan menyatakan dalam Imamat 10 : 3 bahwa kepada orang yang karib
kepadaNYA, IA menyatakan kekudusanNYA, artinya semakin kita dekat kepada Allah,
maka semakin kita harus menghormati kekudusan Allah. Bukan sebaliknya, malah
meremehkan ataupun lupa akan fungsi dan peranan diri di hadapan Tuhan dan jatuh
dalam dosa ketidak taatan yang menggambarkan ketidak percayaan ataupun ketidak
bergantungan total kepada Allah. Amin. TYM.
*SP*