NGAMEN 1
Karya: Saor R.S.S.S. Panjaitan
Diatas
flyover dalam deru riuh mesin mobil
Menggelantung
aku pada kain lusuh
Di
dada ibu yang rapuh
Kudongakkan
kepala menatap bibirnya
Tampak
bergetar lirih lantunkan lagu
Hembusan
nafasnya terpa kening kecilku
Yang
penuh biang keringat gatal
Nafasnya
sedikit bau tak sedap
Yah,
karna sejak sore kemarin belum tersentuh air
Samping
depan kutengok bibi
Adik
bapak dari kampung yang kurus dan dekil
Pendamping
setia ibu
Dari
waktu ke waktu
Dari
pagi ke sore
Dari
hujan ke hujan
Dari
panas ke panas
Dari
ujung jalan anu ke ujung jalan anu
Dari
bus ke bus
Dari
terminal ke terminal
Dari
flyover ke flyover
Dari
lagu ke lagu
Dari
koin ke koin
Kutatap
mulutnya komat-kamit lontarkan kidung
Sementara
tangan sibuk mengicrik
Lebih
lantang dan semangat dari ibu
Masih
keras karna masih muda dan masih pagi
Meski
sumbang dan lirikpun tak jelas
Yang
penting jadi satu lagu
Untuk
kemudian lanjutkan dengan lagu lainnya
Kali
ini mungkin cukup dua saja
Karna
kami harus hemat suara
Untuk
cadangan sepanjang hari ini
Kugigiti
bakwan murah di tangan
Bekal
sarapan pagi kata ibu
Supaya
sehat dan tak tersentuh busung lapar
Ibu
memang hebat dan sayang padaku
Bakwan
ini kuingat tadi dibeli ibu dengan sepuluh logam keperakan
Hasil
dari dua kali ngamen di dua bus
Kampung
Melayu - Pulo Gadung
Pulo
Gadung - Senen
Sekarang
peruntungan kami coba di lintasan Senen – UKI
Kulihat
banyak penumpang menguap
Aku
heran sepagi ini mereka sudah rajin menguap
Barangkali
semalam banyak makan dan begadang dalam pesta
Lainnya
ada yang melamun
Entah
apa yang dilamunkan
Tapi
satu hal yang pasti
Suara
ibu dan bibi tak digubris
Beberapa
mata ada yang menatap kami serius
Entah
apa yang ada dibenaknya
Mungkin
mencoba hubungkan tugu Monas dengan tubuh kami
Atau
bandingkan lengkingan suara kami dengan suara-suara di Senayan
Tampak
juga dua mata sayu berselaputkan haru
Berpindah
dari bakwan ke koreng dikaki bibi
Keingusku
dan kemudian kelengan ibu yang kurus kering
Akhirnya
bermuara di dada ibu yang tonjolkan susu peyot
Bibirnya
bergumam lirih sementara kepala menggeleng-geleng
Kasihan
mungkin dia melihat tiga ikon bangsanya
Di
bangku tiga kanan belakang sopir
Sesosok
buncit setengah baya terpulas sambil
sunggingkan senyum
Air
liurnya tampak mulai mengences
Pasti
termimpi makan enak
Aku
tak tahu apakah memang terbiasa makan enak atau justru sebaliknya
Perutnya
yang buncit belum tentu menggambarkan kemakmuran
Bisa
saja busung lapar seperti perutku
Kulirik
sopir dibelakang kemudi yang asyik menyedot asap
Dia
tak peduli aturan main di dalam bus ber AC
Memangnya
siapa yang berani melarang
Penguasa
bus penentu arah dan kebijakan
Puisi
ini terinspirasi saat penulis menaiki Bus Patas AC
Jurusan
Senen – Cibinong pada 2001