Translate

Kamis, 09 Agustus 2018

SORAK-SORAI DI KEHENINGAN Oleh: Saor R.S.S.S. Panjaitan


SORAK-SORAI DI KEHENINGAN
Oleh: Saor R.S.S.S. Panjaitan

Lebih baik sorak-sorai jiwa dalam keheningan daripada sorak sorai ragawi dalam kepongahan   #SP#26418#
 
 


Nyeleneh lagi! Itu pasti yang anda pikirkan saat membaca judul tulisan ketiga yang saya kupas dari quote yang terposting pada dua puluh enam April lalu itu. Bagaimana mungkin sorak-sorai bisa dilakukan dalam keheningan?  Bukankah keheningan sama sekali jauh dari sorak-sorai? Kamus Besar Bahasa Indonesia sendiri menegaskan bahwa sorak-sorai adalah suara teriakan dan pekik yang dilakukan beramai-ramai. Jika ada suara dan berteriak pula, tentunya ada gelombang keras namun tidak kelihatan yang mampu menabuh keras gendang telinga, ditambah lagi adanya berbagai gerakan tubuh saat teriakan tersebut dilakukan yang juga menambah kehebohan dan tentunya jauh dari keheningan.

Sorak-sorai di keheningan rasanya bagaikan menikmati sejuknya curahan sinar matahari pada siang bolong di gurun pasir Danakil di Ethiopia yang suhunya bisa mencapai 500C atau tawa terbahak-bahak di prosesi pemakaman Agnes Gonxha Bojaxhiu atau yang lebih dikenal dunia sebagai Mother Theresa, ibu kaum papa yang meninggal pada 5 September 1997 di Kalkuta India. Suatu polarisasi yang rasanya tak mungkin bertitik taut.

Keheningan adalah kesunyian dalam diam yang bertafakur (merenung) mendalam sampai dasar yang terdalam. Dibutuhkan pertimbangan yang sungguh-sungguh melalui penguasaan diri demi mendapatkan hakiki terdalam dari kesunyian itu sendiri. Keheningan dibutuhkan untuk menarik kuat-kuat hikmat dari lumbung kearifan Illahi bagi para bijak dan aulia melalui prosesi meditasi dan doa-doa yang mengapalkan lutut dan sela-sela jemari sebelum mereka dipakai sebagai lidah ataupun pena Illahi yang tak terkontaminasi kepentingan duniawi. Indikasi utama para figur saleh yang orisinal membawa suara hikmat dari surga dapat dicermati saat dia mendapatkan hikmat tersebut dan cara serta tempat penyampaian yang biasanya dalam tudung keteduhan dan kesantunan yang memikat jiwa. Dari sini kita mestinya hakulyakin bahwa mereka yang mengklaim membawa kebenaran dari langit namun diprosesikan dalam sorak-sorai bising yang tak beraturan dan ditingkahi dengan caci maki, hujatan dan ancaman pastilah bukan agen-agen Illahi tapi para jongos recok dari penguasa kegelapan.

Keheningan membutuhkan wadah. Dia bisa berupa hamparan lembah yang sunyi tak berpenghuni dikala hembusan angin sedang tidak melawatnya. Wadah itu juga bisa berupa Arlington National Cemetery, taman makam pahlawan Amerika Serikat yang sekalipun berisi 400.000 lebih nisan dari berbagai ras dan agama, namun hening mencekam terlebih di saat purnama menggayut di langitnya. Di Arlington, Kapten  Angkatan Darat Humayun Khan tentara pahlawan Amerika yang muslim peraih Bintang Perunggu dan Purple Heart yang tewas di medan tempur negara Islam Irak, tidak lagi bersitegang urat leher tentang agama yang paling benar dengan Kopral Murray F. Smith si Kristen pemegang Purple Heart yang hanya menikmati 20 tahun kehidupan didunia dan si Yahudi Letnan Kolonel Harold T. Bartell, sehingga dapat mengoyak-ngoyak keheningan Arlington yang mencekam.

Keheningan juga bisa didapatkan di dalam ruangan paling sunyi di dunia dengan tingkat suara latar di dalamnya sebesar -20,6 decibel (suara napas manusia sekitar 10 decibel) yang dibangun di dalam Building 87 pada markas Microsoft di Redmond, Washington. Ruang Anechoic yang berbentuk kubus berukuran 6,36 m disetiap arah dan berdinding beton setebal 30 cm ini mampu menahan suara jet tempur sekelas F 22 Raptor yang menggelegar dan mampir singgah di samping temboknya dan hanya terdengar bagai bisikan halus di dalamnya. Di ruangan ini, suara ragawi dari tubuh anda yang tidak terdengar seperti detak jantung, gerakan bola mata, desiran darah bahkan suara lambung terdengar hiruk pikuk di dalamnya. Teknologi tertentu mampu membuktikan betapa bisingnya dunia yang kita tinggali ini sekalipun tanpa teriakan dan gerakan.

Jika sorak sorai yang mampu dideteksi oleh panca indera dan teknologi begitu bisingnya di dunia nyata, betapa ledakan sorak-sorai lebih berdentum jika dihayati dengan sepenuh hati dan jiwa. Sorak-sorai adalah ekspresi atas kegembiraan yang luar biasa. Kegembiraan yang terjadi karena kemenangan, kemerdekaan, keberhasilan dan sejenis lainnya. Sorak-sorai ini bisa berlangsung singkat namun juga berlarut-larut sebagai euforia bermotivasi mempertontonkannya di hadapan teman terlebih lawan. Sorak-sorai yang telah meng-euforia biasanya cepat atau lambat berubah menjadi kepongahan. Saat ragawi mempertontonkan kepongahan dalam bentuk sorak-sorai ini maka kebahagiaan sejati karena kemenangan, keberhasilan, kemerdekaan dan sejenis lainnya itu mengalami degradasi makna yang hakiki. Sayangnya sorak-sorai dalam kepongahan mewabah hebat dalam sejarah kontemporer karena manusia post modernisme senantiasa haus pengakuan dan penghormatan. Mari kita coba telusuri bukti-buktinya.

Ketika Messi pada akhirnya berhasil membawa Argentina masuk ke-16 besar dengan menaklukan Nigeria pada laga terakhir babak penyisihan grup D, para ‘penggila’ team Tanggo mulai dari penonton Argentina yang hadir di Saint Petersburg Stadium sampai ke Leandro Diego Guillermo si penjaga mercusuar yang menonton dengan TV JVC lama keluaran awal 70 an di Ushuaia, Tierra del Fuego Argentina yang dianggap sebagai ujung dunia, bahkan fans fanatik yang sama sekali tidak mempunyai ikatan apapun dengan Argentina yang berdomisili di lembah Baliem Papua ataupun penduduk kampung di seputar perumahan Legok Permai di Tangerang, larut dalam euforia yang dimanifestasikan dengan teriakan menggelegar sampai mengacungkan tinju ke langit tanpa mempedulikan aroma ketiaknya yang membuncahkan bau menyengat karena takut mandi pasca begadang semalaman dan lontaran kata-kata ditingkahi meme yang membludak di media sosial sebagai pelampiasan sorak-sorai yang tak berbunyi. Para penggila Messi ini lupa diri bahwa sejak babak pra Piala Dunia 2018 Argentina sudah tertatih-tatih demi dapat tampil di Rusia. Team ini memang berlimpah dengan pemain bertalenta di lini tengah dan depan seperti Paulo Dybala, Gonzalo Higuain, Angel Di Maria, Ever Banega, Giovani Lo Celso dan tentunya Sergio Aguero, namun kehebatan squad ini pada realitanya nyaris menanggung malu karena hampir tidak lolos ke Piala Dunia 2018. Mereka bisa lolos pun ditentukan pada pertandingan terakhir melawan Ekuador yang untungnya mereka menangi dengan skor 3 – 1. kemenangan yang hanya mampu memposisikan mereka di peringkat ketiga di zona Amerika Latin atau CONMEBOL di bawah Brazil dan Uruguay. Hadirnya Argentina di Rusia tetap dipandang sebagai raksasa penakluk dengan mengabaikan prosesnya. Sorak-sorai over confidence menjadi karpet terbang ajaib ala dongeng seribu satu malam yang membawa team ini ke Rusia. Kesadaran untuk menurunkan volume sorak-sorai dan kebanggaan yang melampaui langit ketujuh tidak juga dilakukan para ‘penggilanya’ ketika fakta di babak penyisihan Grup D memberikan deskripsi akurat bahwa sebenarnya team Eva Peron ini adalah team yang lemah. Di laga pembuka mereka Cuma mampu bermain imbang 1 : 1 dengan debutan baru Islandia, negara yang berpenduduk hanya 430.000 jiwa yang karena bersalju hampir sepanjang tahun, untuk berlatihpun harus di dalam stadion tertutup. Berikutnya lebih parah karena dilumat 3 : 0 oleh Kroasia! Beruntung, Nigeria mengalah dengan 1 : 2 sehingga walaupun dengan compang-camping Argentina lolos ke 16 besar . Maka sorak-sorai gagah dan gegap gempita yang membusungkan dada menggema dari semua ‘penggila’nya. Ada jangka waktu 3 hari para penggemar Argentina melampiaskan kegembiraannya dengan sorak sorai yang makin mempongah. Sorak sorai bising itu terus membesar sampai dimulainya pertandingan Argentina melawan Perancis. Kenyataan pahit harus ditelan ‘penggila’ Argentina saat Perancis menghempaskan sorak-sorai pongah mereka dengan hujan gol yang berakhir 4 – 2 di Kazan Arena. Kekalahan yang membisu totalkan seluruh pendukungnya di muka bumi sampai ke tahap keheningan yang memilukan namun hingar-bingar dalam ledakan kesedihan dan kekecewaan di dalam jiwa. Nama besar mantan juara dunia dua kali saja yang membius ‘penggila’nya sehingga jauh dari eling dan menganggap Argentina adalah raksasa bola yang datang untuk melumat para liliput.  Dibutuhkan masa 4 tahun untuk membangkitkan kembali sorak-sorai pongah itu dari liang kuburnya. Kelak dibutuhkan jersey baru demi menyambut kebangkitan baru pada 4 tahun di depan karena jersey lama di 2018 sudah lapuk di makan deterjen dan besi panas setrika.

Sorak-sorai dalam kepongahan juga dipertontonkan dengan berlebihan bahkan kebiadaban saat ISIS merebut sebagian wilayah Irak termasuk Mosul kota terbesar kedua dan menguras ratusan juta dana dari bank-bank yang mereka kuasai sehingga membuat ISIS menjadi kelompok teroris terkaya di dunia. Sorak-sorai gempita mereka lampiaskan dengan pekikan bernada religi ditingkahi rentetan tembakan ke udara dan untuk selanjutnya bersorak-sorai saat membantai ribuan manusia yang berbeda ideologi religi dengan mereka. Sorak-sorai juga menjadi kenikmatan utama saat mereka menggorok leher-leher musuhnya bahkan ketika menendang-nendang bagaikan bola kaki serta menginjak-injak bayi-bayi yang orang tuanya berbeda keyakinan dengan mereka. Sorak-sorai ragawi dalam kepongahan yang menjijikkan dalam sejarah peradaban kemanusiaan. Demikianpun tingkah barbar mereka lakukan justru mendapat banyak simpati bahkan keinginan untuk bergabung dari banyak anak muda dan keluarga muda dari seluruh dunia yang terperdaya dengan propaganda memutar balikkan ayat-ayat agama sesuka hati mereka. Sorak-sorai ragawi dalam kepongahan memang tak bertahan lama. Saat ini kita ketahui bahwa kekuatan ISIS hampir habis dan hanya menyisakan ratusan teroris yang eksistensinya tidak mampu lagi dipertontonkan dengan leluasa karena sudah menjadi buronan.

Sorak-sorai ragawi bertendesi kepongahan juga bisa kita temukan pada laga akbar demokrasi saat pilkada yang mencoba mencari sosok gubernur terbaik bagi Jawa Barat. Saat debat publik yang dilakukan di Balairung Univeristas Indonesia pada 14 Mei 2018, pasangan calon gubernur nomor urut tiga yaitu Sudrajat – Ahmad Syaikhu (Asyik) dengan norak dan arogannya membentangkan kaos yang tidak tepat waktu dan sasaran yaitu bertuliskan #2019GantiPresiden. Pasangan yang merasa pasti menang ini karena memang Jawa Barat adalah basis utama konstituen dari partai politik yang mengusung mereka tanpa etika dan urat malu membentangkan kaos tersebut saat closing statement yang direspon dengan sorak sorai dahsyat dari para pendukungnya. Sorak-sorai yang berisi kepercayaan diri yang  terlalu besar dan meledak dalam kepongahan sampai pada akhirnya lima lembaga survei yang kredibel seperti Litbang Kompas, Lingkaran Survei Indonesia, Saiful Mujani Research, Charta Politika dan Populi Center memaparkan hasil quick count-nya pada 27 Juni 2018 yang menyatakan bahwa pasangan Asyik kalah dari pasangan Ridwan Kamil – Uu Ruzhanul Ulum (Rindu) dan dipertegas secara final oleh KPU Jawa Barat pada 24 Juli 2018. Kekalahan yang menyakitkan dengan selisih suara lebih dari 4% ini bukan hanya menyakitkan namun merontokkan kepongahan sampai tataran ideologis!

Berbeda dengan sorak-sorai jiwa yang diperdengarkan dalam keheningan. Sorak-sorai ini benar-benar menggelegar dahsyat tidak dibatasi ruang, waktu dan besarnya slot memori untuk menampung datanya. Sorak-sorai ini laksana luar angkasa yang terkesan gelap dan senyap, namun jika digunakan teleskop ilmu pengetahuan dan teknologi, suaranya luar biasa dahsyat dimana manusia pasti tidak sanggup menampungnya dengan gendang telinga. Ledakan supernova yang bisa berlangsung selama bertahun-tahun dan diperkirakan terjadi setiap 30 tahun khusus hanya di galaksi Bimasakti saja yang menimbulkan cahaya terang di atas sana yang bergema dan berulang diberbagai galaksi lainnya sepanjang sejarah alam semesta, tiada pernah terdengar sampai bumi, namun tidak dapat dibantah bahwa kedahsyatannnya mampu membuat bumi menyerpih laksana butiran pasir di padang gurun sahara nan luas!

Sorak-sorai jiwa dalam keheningan memberi akses langsung pada Sang Pemberi suara pada dunia melalui jembatan syukur dan takjub yang dihantarkan dengan letupan-letupan dahsyat rasa terimakasih yang tak terhingga. Sorak-sorai yang tidak membutuhkan kepalan tangan yang dihentakkan ke atas kepala dan pekikan dari pita suara sembari ditingkahi berbagai gerakan tubuh yang dilontarkan kesana kemari.
Sorak-sorai jiwa inipun tersimpan rapat dari liputan berbagai mata dan pikiran yang siap menafsirkannya sehingga kepongahan terantai kuat tak mampu menggelinjang penuh gairah untuk dipertontonkan kepada sesama.

Sorak-sorai jiwa dalam keheningan ini adalah laksana sepasang suami isteri yang mendengar kabar sukacita dari bidan di klinik kampung jauh di pedalaman Kalimantan bahwa mereka akan mendapatkan anak setelah menunggu 12 tahun dalam pernikahan yang dipenuhi dengan cinta dan kesetiaan. Mereka mengekspresikan gegap-gempita dalam jiwanya hanya dalam bentuk senyum namun berteteskan air mata dan mengakhir dengan lipatan tangan sembari bersimpuh berdua menaikkan kalimat-kalimat tak berbunyi kepada Sang Khalik melalui doa syukur dan terimakasih. Suatu kebahagiaan yang disertai kesadaran bahwa janin berusia satu setengah bulan tersebut akan mengulah menjadi rasa nyaman yang tak terperi sepanjang empat bulan pertama untuk kemudian dilanjutkan dengan kontraksi menyakitkan yang bagaikan mengaduk-aduk rahim si calon ibu dengan body yang bersegera membesar jauh dari kerampingan seperti masa gadisnya. Bentuk body yang justru makin memikat si calon ayah yang makin bergairah membanting tulang karena konsekuensi logis di hari depan menuntutnya menyediakan berbagai kebutuhan si calon buah hati mulai dari kain popok sampai susu formula yang bakal rakus disedot sang buah hati. Semua proses yang melelahkan jasmani rohani namun justru menimbulkan sensasi kebahagiaan yang justru ditakuti oleh anak-anak muda yang takut menikah baik di Jepang, Singapura maupun Eropa utara karena tak ingin berlelah ria memikul tanggung jawab yang menyita tubuh, pikiran, dan penghasilan bulanannya.

Sorak-sorai jiwa dalam keheningan juga terlihat dan terdengar riuh ketika disebuah warung tegal (warteg) seorang pria dan wanita yang nampaknya adalah pasangan suami isteri terlihat banyak tersenyum tanpa sedikitpun terdengar tawa. Saat itu, saya yang juga makan disebelah mereka baru tersadar beberapa menit kemudian bahwa si pria ternyata tuna wicara (bisu), namun cerita ceria mereka yang hanya menggunakan bahasa isyarat yang dipertegas dengan gerakan bibir menghasilkan kegembiraan bagi keduanya. Suatu kegembiraan yang menyorak-nyorai dalam keheningan yang hanya diketahui oleh mereka dan memburatkan rona-rona merah muda di wajah, tanda adanya keintiman yang menggelut mesra jiwa keduanya.

Sorak-sorai jiwa yang membuncah dalam keheningan ketika Gabriel, sang malaikat, tiba-tiba sudah berada di dalam rumah Maria dan mengabarkan berita yang menggoncang dunia sampai ke akhir jaman bahwa ia yang sama sekali belum pernah disentuh laki-laki diberi kepercayaan untuk mengandungkan dan melahirkan anak laki-laki yang kelak akan membawa keselamatan kepada manusia dalam kontroversialitas yang diimani sekaligus ditolak oleh makhluk yang beragama maupun tidak. Suatu kegembiraan luar biasa dalam jiwa Maria yang berisikokan hukuman rajam sampai mati karena hamil tanpa pernikahan walau sudah bertunangan dengan Yusuf, situlus hati yang atas petunjuk Illahi kemudian bersedia menikahinya namun menahan diri untuk tidak bersetubuh sampai bayi Immanuel itu dilahirkan. Sorak-sorai dalam jiwa ini menimbulkan kebahagiaan sekaligus kesediaan untuk disalah mengerti dengan ancaman kematian dari masyarakat yang paling keras menerapkan legalitas yang super rigid dari hukum-hukum keagamaannya sepanjang sejarah umat manusia.

Sorak-sorai jiwa dalam keheningan adalah sebuah kebaikan dan kemurahan hati Al-Khalik langit dan bumi yang terus menerus kurasakan semenjak pembuktian dari layar USG yang memperlihatkan bahwa janin berusia enam bulan dikandungan bundanya itu berjenis kelamin laki-laki pada awal Maret 2016. Suatu gegap gempita sukacita yang tak terperikan saat saya mendokumentasikan melalui handycam ber-tripod di ruangan bedah bersalin Rumah Sakit Asshobirin Tangerang pada Kamis pagi 16 Juni 2016 pukul 06.00 WIB. Bayi itu ditarik dari kandungan dan dikenalkan dengan dunia nyata oleh Dr. Jusran, Sp.OG., dan team lalu kemudian dengan serta merta si bayi harus mengusahakan sendiri pasokan oksigen bagi paru-parunya dengan menggunakan hidup mancung nan indah pemberian Sang Maha Baik.

Dialah Elgio Hezron Bradley Panjaitan yang lahir disaat Papa dan Bunda nya telah memasuki paruh baya kehidupan di dunia ini. Bayi tampan yang terus menerus memberikan sorak-sorai kebahagiaan ke dalam jiwa kami sekeluarga. Terlalu sering saya menyaksikan betapa baiknya Yang Maha Rahim melalui wajah dan seluruh tubuh indahnya. Sering terpikir bagaimana mungkin laki-laki paruh baya yang jelek ini dipercaya untuk mendapatkan ‘pangeran’ dalam keluarga besarnya. Dikeheningan malam nan gelap, sering lampu kamar sengaja dihidupkan demi untuk melihat dan mengagumi karya indah dan mulia dari Jehovah Bore (Tuhan Sang Pencipta) yang meledakkan rasa syukur dan doa yang tak henti-hentinya memuji dan memuja Sang Maha Baik. Lebih banyak sorak-sorai jiwa dalam keheningan kulakukan daripada sorak-sorai ragawi yang ekspresif dan dipertontonkan kepada banyak orang atas betapa bahagianya memiliki anak laki-laki yang luarbiasa. Suatu sorak-sorai yang selalu mengingatkanku akan keberadaan Allah dan karena itulah kuberi dia nama Elgio yang bermakna Kebaikan atau Kemurahan Hati Allah. Siapapun anda mungkin pernah melakukan dan merasakan sorak sorai jiwa dalam keheningan ini ketika dipercaya sebagai orang tua dengan hadirnya anak-anak dalam kehidupan berumah tangga.

Bersorak-sorailah tanpa kepongahan dengan penuh ekspresif melalui ragawi terlebih dalam keheningan yang penuh kedamaian sekalipun menggelegarkan jiwa.

Tangerang, 2 Agustus 2018