Translate

Selasa, 18 Oktober 2016

FILOSOFI MOTOR 4: TAHU DIRILAH SAOR R.S.S.S PANJAITAN


FILOSOFI MOTOR 4: TAHU DIRILAH!
SAOR R.S.S.S. PANJAITAN

Tidak terasa perjalanan Filosofi Motor sudah masuk ke seri 4. Sampai pada bagian ini, saya berharap pembaca bisa menemukan suatu keunikan atau ciri khas dari Filosofi Motor ini seraya terus berharap pembaca mendapatkan sesuatu yang positif darinya. Memang diperlukan perjuangan keras untuk menyusuri kata demi kata mulai dari Filosofi Motor 1 sambil terus melatih daya nalar dan konsentrasi, karena bagi mereka yang malas membaca tentunya sulit untuk bisa menghabiskan satu saja dari serial Filosofi Motor.

Jika anda perhatikan dengan seksama, sejak dari Filosofi Motor 1 sampai serial ini, saya tetap konsisten menggunakan hanya dua kata sebagai judul tiap serinya. Memang saya tetap akan mempertahankan ciri khas ini walaupun mungkin terasa terlalu pendek atau kurang menggambarkan keseluruhan isi dari tiap seri. Sayapun harus berpikir keras memilih dua kata primadona sebagai kompas bagi kisah-kisah di dalamnya.

Keunikan atau ciri khas lainnya yang saya harapkan dapat dilihat pembaca adalah bahwa semua kisah nyata yang disampaikan adalah melulu tentang kejadian riil yang saya hadapi dalam perjalanan hidup ini. Diperlukan kejujuran dan obyektifitas murni tanpa topeng-topeng kemunafikan untuk menuturkannya. Jika dalam pengisahan terdapat penyebutan nama-nama para pihak yang terlibat dalam drama kehidupan yang saya jalani, saya tidak sungkan dan dengan setulus hati mengucapkan permintaan maaf jika ternyata apa yang disampaikan tidak berkenan kepada mereka.

Mungkin pembaca bertanya dalam hati apakah memang apa yang disampaikan dalam Filosofi Motor ini adalah hal-hal yang terjadi saat berada di atas motor atau terlintas dalam pikiran saat berada di atas motor?

Saya meyakinkan anda bahwa memang yang disampaikan adalah hal-hal yang terjadi saat mengemudikan motor atau terlintas dalam benak khususnya ke masa-masa sebelum saya bisa mengendarai motor ataupun memiliki motor. Untuk aksesori kalimat demi kalimat yang memperindah dan memperdalam makna tiap kejadian dan gambar-gambar yang dicantumkan dibuat demi mendapatkan nilai tambah dari serial ini. Demikian pula berbagai kutipan yang dicantumkan diharapkan dapat menaikkan nilai intelektualitas tiap seri dengan tujuan pembaca dapat dipuaskan rasa ingin tahu dan kedalaman berpikirnya dapat tergugah. Respon apapun saya terima dengan senyum paling manis dan rasa syukur yang mendalam karena dengan demikian menjadi bukti bahwa serial ini diterima oleh banyak orang. Seperti apa yang disampaikan oleh seorang pendeta dari Gereja BNKP kelahiran Tanah Nias yaitu Yatte Laowo yang menyatakan bahwa serial Filosofi Motor ini sangat menarik dan memberkati serta berjanji akan merekomendasikannya kepada calon pembaca lainnya.

Namun demikian penulis membutuhkan kritikan yang obyektif demi optimalisasi tercapainya tujuan dari serial ini, yaitu dapat menjadi berkat dan inspirasi bagi pembaca. Salah satu pembaca yang sudah membabat habis serial ini dari seri pertama adalah seorang mahasiswi sebuah perguruan tinggi swasta bidang pariwisata bernama Ipah Fauziah yang biasa saya sapa dengan panggilan IF. Sedikit memaksa, saya meminta yang bersangkutan untuk memberikan kritikan atas serial ini bahkan kalau bisa yang negatif. Namun IF malah mengatakan semuanya menarik dan tidak ada yang perlu dikritik. Entahlah apa maksudnya, yang pasti saya sangat mengharapkan kritik membangun dari pembaca atas serial Filosofi Motor ini.

Tanggapan lainnya datang dari salah satu pelaku sejarah yang namanya saya sebut dalam Filosofi Motor 3: Menohok Khawatir yaitu Yanthi. Tiga puluh satu tahun lamanya kami tidak bertemu sejak tamat dari SMP. Yanthi yang belakangan saya ketahui bernama lengkap Yanthi Haryantini adalah figur tak terlupakan dalam memori otakku karena dialah yang memberi julukan “Sitonggos” padaku saat SMP. Saya tidak sengaja bertemu kembali dengannya di medsos facebook pada Mei lalu setelah mendapatkan ucapan selamat ulang tahun darinya. Sebenarnya saya belum add pertemanan dengannya namun karena diapun terdaftar pada group alumni SMP maka akun FB saya bisa terlihat olehnya. Sambil mengucapkan terimakasih atas ucapan selamat ulang tahun, saya menyenggolnya dengan memberitahukan bahwa namanya ada saya cantumkan dalam serial Filosofi Motor sekaligus meminta ijin padanya. Penasaran dengan info yang saya berikan lalu dia mencoba melacak dan membaca serial ini. Dia merasa surprise dan senang sekali membacanya bahkan menyatakan bahwa kisah-kisah dalam serial ini sangat menarik dan menggelitik. Sedikitpun tidak ada kata maaf darinya setelah mengganjar saya dengan julukan “Sitonggos” bahkan menurutnya dia tertawa terbahak-bahak karena pernah memberikan julukan yang mendebarkan hati itu di masa lalu. Sejujurnya, saya sendiripun tidak merasa terhina bahkan bersyukur mendapatkan julukan itu karena menjadikan hidup ini penuh warna dan terutama sekali memang pada masa pertumbuhan berikutnya sama sekali saya tidak tonggos.

Baiklah, untuk menghindari kesan narsisisme yang berkepanjangan hanya karena haus akan kritikan pembaca, tapi belum satupun yang mengkritisi negatif maka saya harus tahu diri untuk tidak bertele-tele mengungkapkan perasaannya yang kering kerontang karena merindukan limpahan air kritikan. Ya, harus tahu diri! Dua kata yang akhirnya saya putuskan menjadi judul dari Filosofi Motor 4 ini.

Tahu Dirilah, saya temukan sebagai judul setelah hampir 2 minggu saya tidak dapat menentukan judul apa yang paling menggreget untuk seri keempat ini. Ada beberapa judul yang melintas di benak seperti: Awas Celaka, Taatilah Peraturan, Fiat Justitia ataupun Kasmaran Lagi. Tapi rasanya semua belum ada yang menggigit untuk dijadikan topik utama seri ini.

Tiba-tiba suatu sore ketika saya sedang mengendarai motor, muncul judul Tahu Dirilah dari kejadian jengkelnya saya kepada seorang wanita pemotor yang melaju di jalur kanan hendak melewati sebuah truk pengangkut mobil. Saya jengkel karena perempuan tersebut terus berada di sebelah kanan karena ingin mendahului namun ragu-ragu dan malah melaju lambat membuntuti truk tersebut. Kejengkelan kedua adalah perempuan tersebut tidak mengenakan helm dan juga tidak memberi sign lampu kanan sebagai tanda akan mendahului truk. Karena posisinya yang sangat dekat dengan truk, saya tidak dapat masuk dari kiri dan juga mundur untuk kemudian mendahului dari kanan karena dibelakang kami beriringan motor-motor lainnya yang juga hendak mendahului. Di saat itulah judul Tahu Dirilah ini muncul dan saya putuskan untuk menjadi judul serial Filosofi Motor kali ini. Bagaimana dengan perempuan tadi?

Akhirnya saya berhasil melewatinya saat pemotor lain di belakangnya mendahului dan dengan menahan laju motor kemudian saya mendahului dari sebelah kanan, namun celakanya perempuan tersebut ternyata juga sama-sama mendahului truk namun tetap lambat sehingga terpaksa saya mengklakson berkali-kali agar dia lebih cepat karena dari arah berlawanan melaju beberapa motor ke arah kami. Akhirnya kami berdua berhasil mendahului truk tersebut sambil dipekakkan oleh klakson kemarahan dari para pemotor dari arah berlawanan. Saya segera mempercepat laju motor memepet mendekat ke motor perempuan tersebut sambil berkata kepadanya agar jangan lambat jika hendak mendahului kendaraan lain.

Tahu Diri adalah dua kata yang sangat penting dihayati oleh tiap manusia. Dua kata ini mengingatkan manusia akan jati diri maupun kondisi riil yang dijalani tiap orang dalam kesehariannya. Tahu diri bisa mencakup kesadaran akan tampilan fisik, kapasitas rohani, status sosial ekonomi, kemampuan intelektualitas, latar belakang keluarga, sampai kemampuan menggantungkan pengharapan, apakah setinggi bintang di langit atau cukup sampai eternit atap rumah sendiri. Tahu Diri juga dapat menjadi rem pengendali yang baik saat seseorang masuk ke suatu komunitas dengan life style yang jauh berbeda dengan diri sendiri dan terkesan lebih wah.

Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan Tahu Diri sebagai mengerti akan keadaaan dirinya. Suatu pendefinisian yang simple, tidak pakai ilmiah-ilmiahan ataupun referensi linguistik baik dari sudut etimologis, fonetik, fonemik, leksikologi, maupun morfologi. Simple karena definisi tersebut sekedar menggantikan kata tahu dengan sinonimnya yaitu “mengerti” kedalam kalimat yang hanya terdiri dari empat kata dan itupun termasuk kata “diri” yang ditempeli sufiks “nya”.

Anda pasti tidak puas jika menemukan definisi sesimpel itu. Okelah, mari kita bongkar saja dari kata “Tahu”.

Tahu adalah kata kerja yang diartikan sebagai mengerti sesudah melihat atau menyaksikan dan mengalami. Tahu berarti juga mengenal, peduli, insaf, sadar akan sesuatu secara baik dan mendalam. Diperlukan proses pembelajaran dan pengalaman langsung untuk memperoleh tahu-nya sesuatu tersebut. Jadi jika anda tahu sesuatu itu artinya anda sadar dan mengerti secara komprehensif bahkan mendekati kebenaran yang hakiki akan sesuatu tersebut. Namun demikian sebagaimana yang telah diuraikan dalam Filosofi Motor 1: Sebuah Pengantar, tentang makna Filsafat, kita sudah sepakat bahwa kebenaran sejati yang sempurna adalah milik Yang Maha Kuasa, maka setahu-tahunya kita akan sesuatu maka masih ada kemungkinan ketidak mengertian bahkan kesilapan di dalam pengetahuan tadi, sekalipun hanya 0,001%, yang membuat tahu tadi harus dimaknai dan diimplementasikan dengan suatu kerendahan hati dan kesadaran sebagai makhluk yang jauh dari sempurna, sehingga menghindarkan diri dari merasa paling benar atau sok tahu. Karena itu, tahu-nya anda sudah terkualifikasi tahu sejati sekalipun masih ada titik noda ketidak tahuan di dalamnya.

Uph, tentunya jaringan pikiran anda serta merta kusut dan berantakan membaca tulisan paragraph di atas karena terkesan membingungkan. Tidak usah bingung, lanjutkan saja membaca, toh tidak ada ujian yang akan diberikan untuk mengevaluasi apakah anda mengerti dengan baik dan benar atau singkatnya “tahu” akan kalimat demi kalimat yang saya jabarkan di atas. Ada kabar baik yang harus saya ingatkan pada anda yaitu bahwa jika anda berpikir keras untuk tahu atau mengerti secara mendalam dan kritis akan tulisan di atas maka sesungguhnya anda sedang berfilsafat!

Anda sedang selevel dengan Thales Sang Bapak Filsafat yang konon dianggap sebagai orang pertama yang menggunakan akal secara serius dan berhasil mengenalkan geometri serta matematika. Anda juga sekaliber dengan Liokippos dan Democritos pengembang teori materi, Socrates yang menyerukan teori moral juga dengan para filsuf skolastik Islam seperti Al-Gazali, Ibnu Tufail, Al-Kindi sampai Ibnu Rusyid. Anda juga terklasifikasi sekeren Rene Descartes yang dijuluki Bapak Filsafat Modern, George Berkeley, David Hume, Immanuel Kant, John Dewey bahkan Karl Marx!

Tenang, tidak usah khawatir kalau menyebut nama filsuf yang terakhir tadi sekalipun Indonesia sedang Communisto Phobia karena menganggap sepak terjang simpatisan komunis sedang ramai-ramainya di Indonesia. Saking phobianya sampai-sampai semua yang mengarah ke palu arit yang sedang bertindihan dianggap komunis, bahkan Kang Maman yang sedang memaku tembok rumahnya dengan palu karena hendak memajang foto artis favoritnya yaitu Zaskia Gothik sementara di bawah jendela rumahnya Inem sang istri sedang membabat rumput yang keburu tinggi menjangkau jendela rumah reot mereka dengan menggunakan arit, baru-baru ini dipanggil ke Koramil oleh Babinsa (Bintara Pembina Desa) Sersan Dua Togar Sihombing karena dianggap bertendesi komunis. Mungkin karena merasa tahu padahal sok tahu, maka Serda Togar Sihombing perlu melakukan inisiatif Cekal (cegah tangkal) padahal mendengar nama Karl Marx pun dia tidak pernah!

Togar nampaknya harus dikasih kata-kata luhur dari teman dekat Opungnya semasa gerilya di Perbaungan yang bernama Mbah Tresno yang berasal dari Klaten. Kata-kata yang sering di-tembangi-nya saat malam 1 Syuro itu berbunyi: Aja keminter mundhak keblinger, aja cidra mundhak cilaka yang artinya jangan sok pintar nanti tersesat, jangan berbuat curang nanti celaka!

Kalimat yang sejenis juga pernah dilontarkan dengan keras pada lebih kurang tujuh abad sebelum masehi oleh seorang warga Yerusalem bernama Yesaya. Orang besar yang berani menyatakan kebenaran pada empat raja dari kerajaan Yehuda yaitu Uzia, Yotarn, Ahas dan Hizkia ini dengan menggelegar dia meneriakkan peringatan Illahi yang tercantum pada Yesaya 5 : 21 yang berbunyi: “ Celakalah mereka yang memandang dirinya bijaksana, yang menganggap dirinya pintar!”

Tapi masalahnya si Togar ini BTL (Batak Tembak Langsung) dari Siborong-borong, mana ngerti dia sama kata-kata luhur itu. Yang dia tahu cuma si Pariyem yang asli Brebes, ayu, masih single dan jadi guru SDN yang saban pagi lewat di depan kantor Koramil sambil nenteng bekal makan siang dan sesekali melempar senyum manis ke Togar yang “siaga satu” tembakan senyum Pariyem. Kabarnya Togar sudah dua kali ke kontrakan Pariyem dan di malam minggu pula. Yah, setidaknya masih ada harapan kelak Togar mengerti kata-kata adi luhung dari Mbah Tresno dan Yesaya di atas, itupun kalau dia berhasil membawa perempuan Jawa yang masih medok itu ke pelaminan!

Jadi teruslah berpikir mendalam dan kritis karena saat anda berpikir, toh tidak ada yang tahu apa yang sedang anda pikirkan sampai anda menyatakan dan melakukan apa yang anda pikirkan. Saya butuh anda yang sedang berpikir keras untuk mengerti untaian kalimat demi kalimat yang dituliskan ini, tapi tetaplah santai dalam membayangkan kisah demi kisah yang dibagikan. Sekali lagi saya minta, Berpikirlah! Jangan anggap saya memaksa, karena apa yang saya minta adalah logis dan demi kebaikan anda. Tuhan Yang Maha Kuasa saja berpikir, masakan anda tidak mau atau malas berpikir? Mau bukti? Ada kok, kalimat Illahi yang membuktikan bahwa Tuhan saja berpikir. Bunyinya demikian: “Berpikirlah TUHAN: “Apakah AKU akan menyembunyikan kepada Abraham apa yang hendak Kulakukan ini? (Kejadian 18 : 17). Berpikir adalah nafas kehidupan intelektualitas dan hajat kemanusiaan anda, oleh karena itu berpikirlah sebelum berpikir itu dilarang!

Pada segala ciptaan, berpikir hanya dapat dilakukan oleh manusia. Hewan hanya mampu ber-insting. Andaikanpun anda pernah melihat lumba-lumba yang mampu menjumlah 2 + 2 = 4, itu bukanlah hasil oleh pikir tapi kemampuan yang didapat dari latihan yang diulang-ulang. Buktinya ketika 4 tersebut dikurangkan dengan 2 maka si lumba-lumba dipastikan tidak dapat menjawab 2. Demikian pula burung beo yang bisa meniru kata-kata dengan jumlah terbatas, bukan hasil dari olah pikir otak linguistiknya, tetapi karena mendengar lalu kemudian meniru suatu bunyi berkali-kali. Tidak diperlukan olah pikir yang mendalam sampai dia tahu makna dari kata yang ditirunya. Tidak heran dia akan membeo good morning pada saat sore atau malam hari. Tidak juga tahu implikasi etika moral dari tiap kata yang dibeokannya.

Jadi jika anda bertutur kata sekedar meniru tanpa memikirkan makna dari tiap kata, apa bedanya anda dengan beo?

Berpikir adalah milik manusia individual atau dengan kata lain milik diri. Diri bermakna orang atau seseorang yang terpisah atau dapat dibedakan dengan yang lainnya. Diri dipakai sebagai pelengkap kata kerja untuk menyatakan bahwa penderitanya atau tujuannya adalah badan atau manusia itu sendiri.

Jadi jika saya memilih judul Tahu Dirilah, maka yang ingin diuraikan adalah himbauan kepada siapapun untuk mengerti, mengenal, insaf, dan sadar akan keberadaan diri sendiri setelah melihat, menyaksikan dan mengalami sendiri akan berbagai peristiwa baik yang diperoleh secara edukasional maupun pengalaman hidup non edukasional. Tahu Dirilah diharapkan keluar karena pemahaman dan kesadaran yang sudah dipunyai dari dalam diri maupun sebagai respon atas teguran, nasehat bahkan perintah dari luar diri.

Pada awal 80-an, orang Indonesia yang mayoritas udik dan ber-“ekonomi tiarap” sedang heboh pamer perubahan gaya hidup dengan mengganti minuman air sumur yang dimasak dengan minuman mineral kemasan botol.

Pemain utama dan pertama minuman kemasan saat itu adalah Aqua. Kami sering mendengar dan pernah melihat di komplek bahwa minum Aqua kemasan botol terasa sangat nikmat dan mujarab. Kelihatannya, siapapun yang meminum Aqua botol wajahnya terlihat lebih muda baik saat akan meminum apalagi setelah meminumnya. Rasanya memang terlihat menjadi lebih muda karena bagi yang meminum selalu terpancar wajah puas yang disertai senyum kejayaan. Kami sekeluarga yang belum pernah meminumnya terkadang kagum sambil mengangakan mulut karena saking takjubnya. Pikir kami apakah air ini memang sekelas air Zam-zam atau air yang biasa dikonsumsi oleh keluarga Sultan Hamengkubuwono X di kraton Ngajogjakarta yang sebenarnya saya sendiri tidak tahu air apa yang biasanya diminum dan darimana keluarga sultan mengambilnya.

Rasa penasaran yang mengendap lama karena harus tahu diri dengan ekonomi keluarga yang kebanyakan “tiarap”, sekali waktu akhirnya terlampiaskan ketika tiba-tiba pada awal bulan, kalau tidak salah tanggal 3 atau 4 yang berarti baru 3 hari Bapak gajian, mama yang baru pulang dari belanja ke pasar Cibinong membawa 1 botol Aqua!

Kebetulan hari itu libur sekolah, jadi semua anaknya ada di rumah. Kehebohan segera melanda seisi rumah dan kami bergegas mengelilingi mama dengan pandangan takjub ke tangannya yang memegang botol bening kebiru-biruan itu. Untuk memuaskan pandangan kami dari segala arah dan memelototi inci demi inci badan botol tersebut, mama meletakkannya di lantai. Kami mengelilingi sambil berusaha memberikan komentar terhebat atas tampilan botol dengan air bening di dalamnya. Ada yang bilang airnya pasti manis, adikku yang lain bilang airnya warna biru, si nomor empat cengar-cengir kagum campur haru, sementara saya sendiri sebagai kepala gank minta mama segera membuka botolnya agar bisa meminum dan merasakan nikmatnya air berbayar ini.

Dengan bijaksana mama tidak segera membuka botol kemasan tersebut  karena mungkin pikirnya diperlukan suatu prosesi penghayatan yang mendalam atas keberhasilan keluarga kami membeli dan membawa botol keren menakjubkan tersebut ke rumah dan dengan hak penuh untuk meminumnya karena didapat bukan dari mengutang dari para rentenir langganannya.

Setelah kami puas memandangi, membelai dan mengangkat botol tersebut, akhirnya tibalah saat-saat yang paling mendebarkan jantung dari keluarga prajurit miskin dengan enam anak ini. Debaran jantung yang lebih keras dibandingkan mendengar suara letusan senapan yang biasa kami dengar sehari-hari saat prajurit batalyon latihan menembak.

Mama sudah memutuskan bahwa satu botol tersebut harus dibagi rata berlima tidak termasuk si bungsu yang masih di bawah dua tahun. Yang mendapat giliran minum pertama adalah saya sebagai kepala gank disusul adik-adik lainnya dan terakhir nanti mama, itupun kalau masih bersisa.

Segera saya meminum seteguk diiringi nafas memburu dan goncangan dada yang berdegup penuh kebanggaan dan keharuan, lalu diikuti oleh adik-adik lainnya. Saya terdiam setelah meminum, juga semua adik lainnya terdiam. Mama dengan haru menanyakan bagaimana rasanya, tapi kami masih terkesima dan terdiam. Penasaran, karena masih tersisa mama segera menghabiskan tegukan terakhir. Lima detik kemudian dengan suara setengah berteriak beliau berkata: “Air apaan ini, kok tidak ada rasanya!”

Untuk mengkonfirmasi apa yang dirasakannya, beliau menanyakan kepada kami semua apa yang dirasakan dari air tersebut, kami semua menjawab: “nggak ada rasanya!” Saat itu langsung kami semua tertunduk lesu karena harapan sensasi yang tinggi dan elitis musnah bagaikan asap dari korek api terhembus sirna oleh badai Katrina level lima!

Sekian lama menahan diri karena tahu diri untuk tidak membeli dan mencoba minuman Aqua akhirnya berujung pada kekecewaan, karena lidah kami yang biasa mencicipi air gratis dari PAM yang dibayar negara dan dimasak dahulu sebelum diminum ternyata merasa asing dan terperdaya dengan air Aqua yang juga tanpa rasa itu tapi harus dibayar untuk menikmatinya. Sejak itu kami memandang remeh semua orang yang merasa hebat dan sedikit bergaya jika minum air kemasan botol Aqua.

Sejak kelas enam SD, saya sudah tertarik dengan alat musik gitar. Saya sering kagum dan berpikir bagaimana mungkin enam tali senar itu bisa menghasilkan suara yang begitu merdu dan dapat mengiringi mulai dari lagu dangdut yang berjudul Milikku yang dipopulerkan A. Rafiq atau Ticket to Ride dari album Help! Nya The Beatles di tahun 1965 dengan intro petikan gitar yang menawan ataupun November Rain-nya Guns N’ Roses dengan petikan melodi dari Slash yang begitu menggetarkan kalbu sampai dengan transkripsi gitar dari musik klasik karya Johann Sebastian Bach berjudul Chaconne in D Minor pun dapat dimainkan dengan gitar berkat jasa dari Bapak Gitar Klasik Modern Andres Segovia gitaris kelahiran Spanyol 21 Februari 1893!

Begitu tertariknya saya pada gitar sampai-sampai terobsesi untuk bisa memainkannya! Sesuatu yang saya syukuri di jauh hari kemudian karena ternyata banyak kisah indah bahkan sampai pengabdian pada dunia pelayanan rohani bisa saya lakoni karena kemahiran memetik dan mencabik-cabik keenam senar gitar.

Tetapi untuk bisa sampai pada kemampuan bergitar yang mumpuni dan menjadi berkat bagi banyak orang, diperlukan perjuangan panjang mulai dari menahan perasaan, muka tembok, jari-jari yang melepuh sampai kesadaran untuk tahu diri atas ketidak mampuan ekonomi untuk memiliki sebuah gitar.

Pertama kali belajar gitar saat meminjamnya dari teman bernama Heri Saikun yang rumahnya hanya berjarak selisih dua rumah dari rumah barak yang kami tinggali. Heri sendiri tiga tahun lebih tua dari saya dan bapaknya juga seorang bintara tapi satu tingkat lebih tinggi dari Bapak saya. Heri adalah teman yang baik yang tergila-gila dengan artis penyanyi Atiek CB. Saking ngefansnya, semua lagu Atiek CB dia hapal bahkan ikut-ikutan memakai kaca mata hitam yang sering dipakai Atiek CB saat nyanyi. Waktu Atiek CB menikah dengan Ronny Sianturi anggota Trio Libels, Heri stress berat karena merasa Atiek adalah jatah atau jodohnya. Heri juga jago main bulutangkis dan bola tapi permainan gitarnya biasa saja bahkan tidak menunjukkan kemajuan yang signifikan saat saya yang justru melejit lebih mahir dibandingkan dia. Tidak heran jika saya enggan berguru gitar padanya.

Strategi yang saya pakai supaya bisa dipinjami gitar olehnya adalah dengan berpura-pura kagum atas permainan gitarnya yang walaupun cuma baru menguasai  3 kunci yaitu A – D – E dan memainkan lagu yang sama berulang-ulang. Memang harus sabar menunggunya bosan bermain agar kesempatan meminjam tidak sia-sia. Kalau sudah meminjam maka biasanya saya lupa waktu walaupun memainkannya di depan rumahnya.

Lagu pop pertama yang saya kuasai adalah Sonata Yang Indah yang dinyanyikan oleh Robin Panjaitan adik kandung dari penyanyi tenar tahun 80-an Christine Panjaitan. Entah karena sama-sama Panjaitan atau memang lagu itu mudah untuk dimainkan karena chord nya yang sederhana yaitu cuma A – D – E, maka jadilah lagu itu andalan saya untuk dimainkan dan dinyanyikan kemana-mana termasuk di hadapan Bapak saya yang saat pertama kali melihat dan mendengar saya bisa bergitar dan bernyanyi begitu terpesonanya seakan-akan menyaksikan Eric Clapton dengan gitarnya sambil menyanyikan Wonderful Tonight dari Albumnya Slowhand di tahun 1977 yang diperuntukkan untuk Pattie Boyd dan meledak di pasaran musik dunia kala itu.

Kemampuan memainkan gitar sambil menyanyikan sebuah lagu cinta nan romantis itu sudah dapat dilakukan saat saya duduk di bangku kelas 2 SMP. Coba perhatikan liriknya:

Kuingin duduk disisimu, kuingin bernyanyi untukmu. Satu sonata yang paling indah, menghantar khayalmu pada cinta kita.
Kuingin manjakan dirimu, kuingin membelai rambutmu. Satu sentuhan yang paling mesra mengantar tidurmu mimpi tentang kita……..

Nah kebayangkan? Untuk ABG SMP yang hormon Testosteron-nya sedang meledak-ledak dengan kepribadian cenderung melankolik, menyanyikan lagu cinta seperti itu rasanya dunia ini semuanya berwarna pink. Sering lagu itu saya nyanyikan sambil membayangkan perempuan Jawa berambut panjang nan kinclong teman sekelas bernama Endang atau si Lusi perempuan Tionghoa yang kuning langsat dan imut sedang berada di samping saya sambil memandang kagum pada permainan gitar dan terpesona mendengar suara saya yang mulai nge bass karena jakun di leher makin menonjol. Di saat seperti itulah sebenarnya saya sedang tidak tahu diri karena mana mungkin anak-anak dara dari kaum berada itu mau ada di samping ABG kere anak prajurit rendahan seperti saya. Lebih tidak tahu dirinya adalah mengharapkan pujian atas permainan gitar yang masih di level dasar dengan gitar pinjaman pula!

Karenanya saya pasang strategi untuk sesering mungkin merekayasa bermain gitar sambil bernyanyi di rumah agar mendapat perhatian dari Bapak. Saya harus tahu diri dan memang benar-benar kokoh mempertahankan prinsip itu dengan sama sekali tidak pernah merengek minta dibelikan gitar. Pandangan kagum dari Bapak sebisa mungkin bisa saya dapatkan, karena dengan demikian akan memunculkan impuls syaraf di pikirannya untuk menjajaki kemungkinan pengadaan gitar bagi anak kebanggaannya ini.

Untuk memahirkan permainan gitar tanpa punya gitar saya juga menerapkan strategi meminjam gitar dari sekolah. Kala itu sekolah mempunyai dua buah gitar bermerk Yamaha dan bersenarkan nilon. Sering saya memandang kagum sambil mengelus-elus gitar dari kelas menengah atas itu sebelum memainkannya. Untuk bisa lebih banyak memainkannya maka saya selalu datang lebih pagi agar sebelum pelajaran dimulai saya bisa terlebih dahulu mengambil gitar tersebut dari gudang sekolah dengan meminjam kunci dari penjaga yang sudah maklum dengan daya juang dari ABG kere ini.

Namun terkadang saya juga harus bersabar karena beberapa teman sekelas ada juga yang jago memainkan gitar sebagai hasil dari les privat yang mereka ikuti. Kalau mereka mau main, maka saya harus tahu diri karena permainan gitar mereka memang sangat layak untuk didengar. Seperti Agus Suwandi dan Sugianto, jari-jari mereka begitu piawai memetik tali gitar sambil memainkan instrumentalia klasik, dan biasanya yang mereka mainkan adalah Ballade Pour Adeline yang merupakan repertoar wajib bagi anak les. Kalau mereka sudah show of force dengan petikan klasik maka untuk mengimbangi kepiawaian jemari mereka, biasanya saya mengeluarkan jurus pamungkas yaitu kocokan lagu dangdut yang memang asing ataupun bahkan mungkin alergi untuk mereka mainkan. Entah karena tidak pernah mendengar atau menganggap musik dangdut adalah milik orang kampung yang belum dientaskan dari kemiskinan, yang pasti saya tidak pernah sekalipun mendengar kawan-kawan Tionghoa ini memainkan terlebih lagi menyanyikan lagu-lagu dangdut. Tidak heran jika mereka langsung kabur ketika saya mulai memainkan gitar dan menyanyikan lagu dangdut. Malang bagi keenam senar nilon gitar Yamaha tersebut. Kalaulah mereka bisa menjerit, tentunya sudah meraung-raung kesakitan karena kocokan dan hentakan keras yang saya paksakan agar terdengar membahana kesekitar sekolah, demi menunjukkan kepiawaian bergitar kelas kampungan sekaligus mengusir teman-teman dari high level guitarist yang dalam memetik senar-senar itu bagaikan gelitikan mesra yang menggelinjangkan tiap senar menuju puncak kenikmatan merdunya alunan musik klasik. Alhasil, penguasaan penuh atas gitar sekolah tak terusikkan laksana Republik Rakyat China yang mengangkangi dengan klaim sepihak atas kepemilikan wilayah laut dan pulau-pulau di Laut China Selatan! Dari sini pembaca tentu makin mudah membayangkan betapa tidak tahu dirinya saya ini.

Sebenarnya saya sendiripun tidak tahu banyak soal lagu-lagu dangdut bahkan sejujurnya saya akui bahwa sayapun tidak terlalu suka dengan genre lagu yang merakyat ini. Saat itu lagu dangdut yang kutahu paling cuma 2 - 3 lagu seperti Begadang dan Judi dari Rhoma Irama atau Milikku dari A. Rafiq. Itupun tahunya terpaksa karena teman-teman di komplek menyukai lagu tersebut dan karena tidak ada yang pandai memainkan gitar maka saya dipaksa untuk menguasai permainan gitar untuk lagu-lagu tersebut. Suatu pemaksaan yang saya lakoni dengan senyum paling manis karena bukankah itu berarti permainan gitar saya makin jago sama seperti penerbang tempur TNI AU baik F16 maupun Sukhoi Su-27 dan Su-30 yang kehebatannya makin tinggi seiring banyaknya jam terbang yang dilakukan.

Entah karena melihat pesatnya kemajuanku bergitar ataupun mungkin prihatin terus menerus meminjam gitar, maka pada suatu sore sepulang dari kantor tiba-tiba Bapak membawa sebuah gitar yang cukup menggetarkan darah seniku. Menggetarkan bukan dikarenakan kesenangan karena dibelikan gitar tapi melihat kondisi gitar tersebut. Gitar yang dibawa itu memang untukku dan dibeli Bapak dengan harga Rp. 20.000.- suatu harga yang sangat mahal bagi ukuran keluarga miskin seperti kami.

Hal yang membuat aku tergetar melihat gitar uzur tersebut adalah bahwa pada tiga bagian fingerboard teratas dari Neck (leher gitar) sudah mencekung ke dalam yang mana bisa dipastikan karena sudah terlalu lama dimainkan. Selain itu tali senarnyapun sudah usang tinggal menunggu detik-detik ajalnya yaitu putus dan warna bodynya pun sudah pudar. Saya tanya Bapak darimana beliau mendapatkan gitar tersebut dan dengan bangganya beliau menjawab bahwa gitar tersebut dibeli dari teman di kantornya yang pegawai negeri sipil ABRI dan Batak pula dimana gitar tersebut katanya sudah banyak melanglang buana dari satu lapo tuak ke lapo tuak lainnya di Jakarta. Bapak memang tidak mengerti soal gitar oleh karena itu bisa dipastikan bahwa beliau tertipu. Bayangkan, seorang serdadu dari Orde Baru ditipu mentah-mentah oleh seorang sipil! Untung saja Bapak tercinta nan polos tidak mengerti gitar, kalau tidak, mungkin sudah di “Petrus” kan itu si Batak sipil.

Begitupun untuk menghargai jerih payah dan kebanggaannya karena bisa membelikanku gitar, aku tidak memberitahu bahwa beliau ditipu tapi kuterima gitar tersebut dengan ucapan terimakasih yang setulus-tulusnya.

Mungkin karena tahu diri, Yang Maha Kuasa pun memberikan progress yang signifikan atas kemahiranku memainkan gitar sekalipun bermodalkan gitar butut usang dan kena tipu pula. Yah setidaknya dari hampir semua anak komplek mungkin permainan gitarku lah yang paling lumayan. Bahkan Heri Saikun yang dulunya berbaik hati sering meminjamkan gitar, kemampuannya masih jauh di bawahku. Teman lain seangkatan yang juga sama-sama belajar bergitar seperti Monang Purba, Nedi Sinuraya, Uhan Kasdan, Hartono, bahkan yang lebih tua yaitu abang adik Robert dan Anton Siregar, Marurat Lumbanbatu, Dedy Kasdan dan si Ambon Hanse semuanya tidak satupun yang mampu menandingi kepiawaianku bergitar.

Ada satu teman baik yang biasa "menjarah" makanan di rumah kami yang juga sangat getol berlatih gitar bahkan mungkin lebih intensif dibandingkan saya. Namanya Julius Siregar. Persamaan kami dalam sepak terjang menguasai dunia pergitaran adalah sama-sama tidak punya gitar dan piawai melakukan pinjaman ke sana sini. Perbedaannya, Julius sampai kami berpisah saat tamat SMA karena saya harus pergi merantau menuntut ilmu di negeri orang, tetap loyal dan konsisten menguasai hanya tiga saja kunci gitar yaitu C - F - G, dan semua lagu dari nada dasar apapun dihantamnya dengan ketiga kunci tersebut dengan kocokan yang sama baik untuk lagu pop, dangdut maupun yang rock-rock-an menurut versi dia dengan suara yang datar tanpa intonasi dan dinamik sehingga menghasilkan bunyi sumbang se sumbang-sumbangnya! kalau sudah melihatnya bergitar dan bernyanyi saya tetap terkagum-kagum karena ketaatannya pada kunci, nada dasar dan suara sumbang selama bertahun-tahun. Namun demikian saya tidak mau mengatakan dia tidak tahu diri karena dia sahabat terbaik yang pernah saya miliki dan selain itu diapun tidak pernah memaksa untuk minta perform di hadapan banyak orang. Sembilan puluh persen nyanyian dan permainan gitarnya adalah untuk dikonsumsi sendiri dan andaikanpun ada yang mendengar paling hanya saya, itupun karena setelah main gitar saya ingin gantian pinjam gitar tersebut. Apesnya, Julius doyan sekali berlama-lama main gitar dan surr pula. Dibutuhkan kesabaran seorang nabi agar tidak termuntah-muntah mendengarnya main gitar sambil bernyanyi.
Julius Siregar teman yang membekas dalam di hati dan pikiran saya. Dia anak yang pemberani. Bapaknya lebih tinggi pangkatnya dari Bapak saya tapi masih Bintara tinggi dan pensiun dengan pangkat terakhir Pembantu Letnan Satu (Peltu). Sebetulnya bapaknya bisa lebih tinggi lagi pangkatnya tapi yang saya dengar dalam salah satu latihan menembakkan mortir atau mungkin melempar granat, ternyata ledakannya terlalu dekat ke telinga sehinga membuat pendengaran bapaknya menjadi terganggu. Kalau tidak, mungkin bapaknya bisa pensiun Letnan Kolonel itupun kalau kemudian mengambil Sekolah Calon Perwira (Secapa).

Julius tujuh bersaudara, 4 laki-laki, 3 perempuan, dan dia anak kelima. Sebagai anak bintara tentunya ekonomi keluarga mereka tentu tidak jauh berbeda dengan kami. Selain ketujuh anak, Ibu dari Bapaknya atau opung boru-nya Julius yang sudah lama menjanda ikut keluarga tersebut sejak Bapak Mamanya menikah karena Bapaknya Julius adalah anak tunggal. Sejak kecil kami selalu bermain bersama kemanapun. Dia adalah salah satu "perwira" andalan saya ketika kami berimajinasi sebagai anggota TNI AL di korvet dan fregat yang kami ciptakan sendiri (Lihat kisahnya di Filosofi Motor 2: Belajar Bermotor). Julius juga teman paling berani ketika kami nekad metikin timun, kacang panjang ataupun mencabut ubi dan singkong yang ditanami orang-orang kampung yang berada di sekeliling batalyon. Namun demikian, sekalipun sering usil menjarah hasil kebun para petani di sekeliling batalyon, kami sama sekali tidak pernah membawa hasil jarahan tersebut ke rumah masing-masing apalagi menjualnya, karena memang yang diambil hanya sedikit dan untuk sekedar cemilan alamiah serta dilakukan hanya karena sedang melewati kebun-kebun tersebut.

Kami juga melakukan operasi laksana raider dengan mottonya Sunyi, Senyap, Berhasil, pada pohon-pohon mangga dan rambutan yang banyak tumbuh di dalam komplek. Sebenarnya ada dua kawan saya yang paling berani untuk melakukan operasional jenis ini yaitu Julius dan satunya lagi Hartono temanku yang pendiam tapi paling nekad.

Sekali waktu kami berencana melakukan operasional penjarahan atas beberapa pohon rambutan kepunyaan seorang pensiunan Letkol tapi sangat pelit. Sebenarnya pohon rambutan itu bukan sengaja ditanamnya tetapi memang sudah ada sejak komplek kami dibangun di Cibinong. Namun karena posisi pohon berada di halaman belakang rumahnya, maka seperti biasa, klaim kepemilikan berdasarkan posisi tanaman berlaku mutlak dan diakui oleh seluruh penghuni komplek. Tapi dasar pelit, sang pensiunan Letkol ini tidak pernah membagikan buah rambutan kepada siapapun bahkan terkenal galak jika ada siapapun yang berani memandang dan mendekati pohon rambutannya. Pohon rambutan itupun rupanya senang menggoda gerombolan anak-anak kolong seperti kami karena rajin berbuah dan ngelotok pula.

Tibalah malam dimana segala persiapan sudah matang untuk melakukan penyusupan ala raider dari anak-anak kolong yang ceking-ceking karena kurang gizi, bergigi kuning alias ber-jigong dan berkulit kegelapan karena kebanyakan bermain ini. Ketika itu kami melakukannya laksana satu regu pasukan khusus yang ditugaskan untuk tugas-tugas khusus seperti anggota Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang sekarang disebut Kopassus. Saya, Julius Siregar, Monang Purba, Hartono, Supriyanto bocah Jawa yang biasa kami panggil Tole malam itu mengendap menuju sasaran. Seperti biasa kami membagi tugas. Untuk memanjat pohon dan memetiki buah rambutan, kami mengandalkan Julius dan Hartono yang memang paling nekad diantara kami. Sementara Monang dan Supriyanto bertugas membawa 2 karung beras plastik kosong ukuran 50 kg dan bersiaga memunguti buah yang jatuh di bawah pohon. Saya sendiri bertugas mengawasi rumah tapi dari jarak cukup jauh sekitar 20 meteran. Tugas paling kecil resikonya karena memang dari kecil saya paling penakut kalau diajak menjarah dan sebisa mungkin tidak pernah melakukan perbuatan nakalnya anak-anak ABG kala itu. Syukurnya, teman-teman yang pemberani ini mahfum dengan kepenakutan saya ini.

Ketika kedua karung sudah terisi lebih dari setengah, ternyata Sang Pensiunan Letkol pelit mendengar dan menyadari pohon rambutan kesayangannya digunduli karena Julius dan Hartono bergerak terlalu semangat diantara dahan dan ranting-ranting pohon. Terdengar teriakan marah dengan pekikan maling dari dalam rumah dan pintu serta merta terbuka. Julius dan Hartono melompat bagai bajing dari atas pohon sementara Monang dan Supriyanto membawa hasil jarahan dan mereka lari pontang-panting tapi bukan ketakutan melainkan sambil tertawa terbahak-bahak di jalan beraspal ke arah batalyon. Sekitar 150 meter kami berhenti sambil masih tertawa dan yakin tidak akan dikejar karena toh bukankah Sang Letkol sudah tua? Tidak mungkin mengejar kijang-kijang muda yang selalu membayangkan dirinya adalah pasukan khusus. Akhirnya Mission Accompished!

Malam itu berakhir dengan perut kekenyangan rambutan dan celoteh bangga karena tugas menjarah sukses. Kami masih menyisakan euforia kesuksesan di TKP dengan serakan kulit rambutan di sepanjang jalan aspal bermutu rendah yang tiap hari dilewati truk-truk militer dari garda bangsa yang gagah perkasa namun ber-anak-an maling-maling kecil yang lahir bukan karena didikan ataupun kepribadian buruk namun situasi kondisi yang mengijinkan semua itu dilakoni. Dalam hal ini saya menganggapnya sebagai Ketidaktahuan diri karena tahu diri. Loh kok begitu?

Maling tetaplah maling, sekalipun anda miskin, anak-anak, kurang gizi, anak kolong atau apapun alasannya! Kalau anda maling itu artinya anda tidak tahu diri karena mengambil, baik dengan paksa ataupun tidak ketahuan, sesuatu yang bukan haknya. Tidak boleh ada satupun argumen pembenaran atau pembelaan diri untuk menutupi dosa ataupun mungkin memperhalus perbuatan maling tersebut, baik oleh Bapak anda yang jenderal atau ustad atau pengacara atau hakim atau bahkan seandainya Bapak anda seorang nabi sekalipun! Lalu apa maksudnya ketidaktahuan diri karena tahu diri?

Apakah saya sedang memberikan argumen pembenaran atau penghalusan makna atas perbuatan memaling di masa remaja tersebut?

Sedikitpun tidak! Saya hanya membuat pernyataan ketidatahuan diri karena tahu diri, dimana yang dimaksudkan dengan tahu diri ini adalah bahwa saat peristiwa tersebut terjadi, kami dalam usia remaja yang mempunyai potensi besar karena kuat lari, belum banyak dicekoki dengan nilai-nilai moral, etika dan religiositas, pohon rambutannya ada dan berbuah lebat dengan kepemilikan yang berdasarkan klaim lokasi ditambah pemilik yang pelit sehingga membuat tahu diri kami melenceng jauh menjadi ketidaktahuan diri. Itu saja! Tegas sekali lagi saya katakan maling tetaplah maling, perbuatan tercela dan berdosa, merugikan orang lain dan jangan pernah lakukan kapan dan dimanapun anda berada sekalipun ada peluang untuk itu.

Pengalaman lainnya dengan Julius yang membekas dalam di memori otak saya adalah ketika dia dengan gagah berani membela saya atau lebih tepatnya adik perempuan saya ketika di-bully dengan kekerasan fisik oleh seseorang.

Adik di bawah saya adalah perempuan yang usianya selisih dua tahun yang bernama Maretti. Adik ini sering diminta tinggal di rumah saudara dengan alasan tidak ada anak perempuan ataupun untuk membantu di rumah mereka. Orangnya lincah sekali, kuat dan tidak pernah jaim.

Tiap perayaan tujuh belasan dia selalu langganan juara apapun. Mulai dari juara balap karung, makan krupuk, mencabut uang yang ditanam dibuah pepaya dengan gigi dan tangan yang diikat kebelakang, menangkap belut, lomba balap kelereng dan masih banyak lagi. Bahkan saking hebatnya adikku ini, dia bisa mengalahkan anak laki lainnya saat lomba balap karung bahkan lomba lari jarak pendek. Tidak heran kalau dia tidak disukai bahkan diledek oleh anak-anak lelaki yang fisik dan kecekatannya kalah sama dia. Setidaknya ada dua anak lelaki waktu itu yang sering meledekinya yaitu Dayat dan Kuta. Maklumlah anak-anak kalau kalah bersaing dengan lawan jenisnya maka kekalahan biasanya selalu diikuti dengan ledekan-ledekan yang tidak mengenakkan hati. Nasib naas terjadi pada salah satunya karena mengakhiri hidup dengan menggantung diri di kamar mandi saat masih duduk di bangku SMA.


Adikku ini biasanya sering menginap di rumah saudara yang tidak memiliki anak perempuan yaitu keluarga Pasaribu yang beristrikan boru Panjaitan dan kami memanggilnya Amangboru (Paman) dan Namboru (Bibi).
Amangboru Pasaribu juga seorang tentara dan satu angkatan dengan Bapak. Mereka tidak tinggal di komplek tapi memiliki rumah sendiri yang cukup besar dan bisa dibangun karena namboru kami itu pandai cari uang dengan berdagang di pasar Cibinong. Mereka punya empat anak lelaki dan salah satunya mengalami keterbelakangan mental.

Secara ekonomi mereka cukup mapan dan namboru ini sangat sayang sama adikku sehingga meminta kepada Bapak dan Mama supaya dia dibolehkan menginap di rumah mereka yang terletak di Cilangkap. Adikku tentu senang tinggal sesekali dengan mereka karena cukup dimanja oleh namboru dan sering diajak membantu berdagang di pasar. Itu artinya ada pemasukan rupiah yang hampir tidak pernah didapatnya jika di rumah sendiri. Tapi adikkupun cukup rajin membantu mereka termasuk memperhatikan kebutuhan harian dari putra mereka yang keterbelakangan mental.

Saudara lainnya yang juga sering meminta adikku menginap adalah keluarga Siagian yang beristrikan boru Purba. Kami memanggilnya Amang Uda dan Inang Uda (Paklik dan Bulik kalau di Jawa). Kakek moyang yang menurunkan marga Siagian adalah Tuan Dibangarna yang mempunyai empat anak dan menjadi marga-marga tersendiri dalam adat istiadat dan kebudayaan Batak Toba. Keempat anak tersebut adalah Panjaitan sebagai yang sulung, Silitonga, Siagian dan Sianipar. Anak paling muda memanggil abang kepada yang lebih tua dan ini berlaku juga untuk seluruh keturunan Tuan Dibangarna sampai saat ini. Itu sebabnya mengapa kami memanggil Amang Uda dan Inang Uda karena marga Siagian adalah adik dari Panjaitan.

Amang Uda kami punya empat anak, 3 perempuan dan 1 laki-laki yang bungsu. Adik kami sering diminta menginap di rumah mereka dan membantu disana karena Inang Uda kami juga membuka toko di rumahnya. Karena rajin dan cekatan tidak heran adik saya sangat disukai oleh keluarga yang memintanya untuk tinggal di rumah mereka.

Sekali waktu, adik saya yang sudah beberapa hari menginap di rumah Amang Uda ini pulang ke rumah dengan menangis dan seputar mata yang lebam biru kehitaman. Dia bilang baru saja ditonjok oleh keponakan Inang Uda yang baru datang dari Medan dan tinggal di rumah mereka. Bayangkan, anak perempuan ditonjok pada bagian mata oleh pemuda preman yang dari Medan pula. Saya benar-benar marah tapi kebetulan hari itu Bapak sedang piket dari sabtu di Markas Direktorat Perbekalan dan Angkutan TNI AD di  Jakarta dan belum pulang.

Saya langsung ke rumah Julius dan menceritakan apa yang terjadi. Kami berdua bergegas pergi ke rumah Amang Uda yang berada di daerah Nanggewer. Waktu itu Julius membawa tas kain yang digantungkan di bahu kirinya dan saya sama sekali tidak tahu apa isinya.

Saat berjalan menuju ke rumah Amang Uda, kami sempat berpapasan dengan mobil beliau yang hendak pergi beribadah ke gereja bahkan ditegur hendak kemana tapi kami hanya menjawab mau main. Sesampai di rumahnya kami langsung masuk ke ruang tamu dan bertemu dengan dua orang dewasa serta satu anak muda berbadan gempal namun kekar seperti kuli bangunan. kami langsung menanyakan mana orang yang dimaksud dan kebetulan yang menjawab adalah dia sendiri. Tanpa basa-basi saya langsung menghantam wajahnya sampai terjengkang sementara Julius berada di sebelah kiri belakang. Kedua orang dewasa yang mendampinginya terkejut dan langsung berteriak menyuruh mengambil golok dari dalam.

Julius yang berada di belakang saya langsung bergerak maju ke depan sambil tangannya masuk ke dalam tas kain dan mengacungkan tangan kedepan yang tertutup tas kain. Dia membentak keras sambil berkata “jangan bergerak”, ketiganya terkesiap ketakutan dan berdiri diam gemetar tidak berani bicara sama sekali termasuk pemuda preman yang menonjok adik saya itu. Saya mendekatkan diri ke depannya lalu menampar keras pipinya sekali lagi sambil bicara: “Ini dari adik gua, kalau berani jangan sama anak perempuan!” Dia tidak berani melawan karena Julius mengarahkan tangannya ke mukanya. Selesai tamparan itu, kami langsung pergi keluar dan pulang sambil tertawa terbahak-bahak. Mereka tidak berani mengejar atau meneriaki kami karena mereka sendiripun orang baru di daerah tersebut. Saya sempat menanyakan kepada Julius apa isi tasnya, tapi dia tidak mau memberitahu. Sampai sekarang saya tidak tahu apakah waktu itu Julius mengacungkan pistol benaran atau cuma sekedar menggertak menakuti.

Peristiwa yang terjadi di minggu pagi pukul 10.00 WIB tersebut berbuntut panjang. Mengetahui keponakan dan sanak saudaranya dilabrak, Uda dan Inang uda sepulang gereja langsung datang ke rumah bersama keponakannya tersebut dan marah-marah atas apa yang sudah saya lakukan. Kebetulan saat itu Bapak yang baru pulang piket 2 hari di kantor juga sudah sampai rumah dan baru saja istirahat.

Kicauan Inang uda memberondongku bagaikan garrand sekutu memberondong tentara SS Jerman di Berlin menjelang kalahnya Jerman pada Perang Dunia II. Dia bilang bahwa percuma selama ini saya jadi teladan bagi anak-anak muda di Cibinong, percuma pintar tapi menghajar orang juga dengan seenaknya. Bagi dia saat itu saya langsung terjun bebas soal kondite dan integritas diri dan dipersamakan dengan orang bodoh bahkan preman pasaran. Saya hanya diam, juga mama yang tidak bisa komentar apa-apa karena mungkin kebanyakan termakan budi atas pemberian-pemberiannya selama ini. Itulah repotnya kemakan budi, saat anak sendiri sudah dibibir buaya siap-siap ditelan, induk sendiri tidak enak hati untuk menolong menyelamatkan.

Bapa terlihat santai saja, bahkan terkesan lemparkan senyum tersembunyi atas kejadian yang melatarbelakangi kemarahan inang uda tersebut.

Konyolnya, inang uda menantang kalau memang saya jantan maka hadapi keponakannya saat itu juga. Badan keponakannya ini memang gempal kekar walau terlihat bodoh namun kasar pada wajahnya. Katanya dia bekas buruh kasar dan tukang becak di kota Medan. Terakhir sebelum ke Cibinong profesinya adalah preman jalanan yang terpaksa dibuang ke Cibinong oleh keluarganya dengan harapan bisa diubahkan oleh keluarga Inang uda.

Syukur, saat itu saya dalam kondisi sudah waras dan tidak emosi lagi karena selain sudah memberi pelajaran kepadanya juga ada Bapak dan Mama.
Bayangkan kalau saya terima tantangan tanpa otak itu! Kalaulah kami jadi berantem dan mungkin saya kalah, bukankah itu terjadi di dalam batalyon?
Anda dapat bayangkan bagaimana reaksi warga batalyon dan terutama para
“Taja”(Tantama Remaja) para Prada dan Pratu anggota Batalyon kami yang hampir semua saya kenal baik dan sayang pada keluarga kami!
Wah, bisa pulang jadi mayat presto tuh preman kacangan dipermak kawan-kawan dari barisan pentol korek atau laler hijau yang lebih mengandalkan otot daripada otak karena mereka memang dilatih untuk berada di garis terdepan medan perang untuk jadi umpan peluru.

Bapak baru angkat bicara setelah Inang uda out of control. Dengan santai dia bilang: “Sudahlah cuma masalah anak-anak, nggak usah dilanjutkan lagi!” Karena wajah Bapak masih terlihat lelah dengan mata agak merah, Inang uda dan Amang uda akhirnya diam dan kemudian minta pamit. Mereka tahu kalau Bapak sudah marah, bisa rusak keluarga mereka bahkan juga bisnis dagang dan kontrakannya karena memang selama ini kalau ada masalah dengan lingkungan di seputar rumahnya, mereka selalu tergopoh-gopoh minta tolong sama Bapak.

Seperginya mereka, Bapak bicara sama saya bahwa dia tidak menyalahkan apa yang saya lakukan, bahkan beliau memuji karena sebagai anak pertama atau abang, saya telah membela adik yang diperlakukan tidak senonoh. Lain kali kalau terulang seperti itu kepada adik-adik, saya harus membela mereka. Sayapun tersenyum lega karena pelajaran berharga yang Bapak berikan saat itu. Hal-hal seperti itu saya ingat dengan baik bahkan membekas dalam benakku. Tidak heran sampai saat ini biasanya darah saya langsung mendidih jika ada orang kecil yang lemah yang diperlakukan sewenang-wenang. Biasanya naluri membela langsung mencuat bahkan terkadang tidak pedulikan sama sekali apapun resikonya.

Belakangan hari saya mendapat informasi bahwa keponakan Inang uda tersebut dipulangkan ke Medan karena mereka juga mungkin tidak bisa membereskannya. Di Medan keponakannya tersebut akhirnya tewas dihajar massa karena peristiwa yang saya sendiri tidak tahu apa penyebabnya. Informasi ini saya dapat dari Mama yang mendengar cerita langsung dari Inang uda sendiri.

Tidak tahu diri dalam menempatkan diri dimana kita berada biasanya akan membawa kesulitan bahkan malapetaka bagi diri sendiri. Dimana kaki berpijak disana langit dijunjung. Dimanapun kita berada hendaknya menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya. Sehebat apapun latar belakang yang kita bawa dari lingkungan terdahulu hendaknya tidak ditonjolkan sebagai suatu kesombongan, sebaliknya digunakan untuk menjadi manfaat bagi banyak orang di tempat yang baru. Prinsip ini selalu saya pegang teguh dimanapun saya berada.

Mari belajar dari tokoh utama zaman Renaisans, Marsilio Ficino yang berteriak lantang: “Kenalilah dirimu sendiri, wahai keturunan ilahi dalam samaran sebagai manusia!”

Mengenal diri sebagai ciptaan termulia dari Sang Khalik langit dan bumi, menggugah kebijakan diri untuk pandai menempatkan diri sesuai dengan kapasitas yang telah ditentukan dari singgasana keabadiaan yaitu manusia keturunan Illahi yang diminta membawa suasana sorgawi ke bumi baik dalam hubungannya dengan sesama maupun lingkungan alam sekitarnya. Peganglah kata-kata bijak para sesepuh tanah Jawa yang dengan lantun lembut dalam kerendahan hati mengujarkan: Aja rumongso bisa, nanging bisa’o rumangsa yang artinya jangan merasa bisa, namun bisa-lah merasakan. Dengan demikian kita tidak akan sombong dan senantiasa selalu tahu diri kapan, dimana atau dengan siapapun kita berinteraksi.

Berhubung mata anda dan saya sudah menjerit kelelahan membaca episode ini, maka tolong sedikit lagi selesaikan untaian kalimat Illahi di bawah ini yang mengingatkan kita untuk jangan terlalu tinggi berpikir melampaui kapasitas diri. Begini kataNYA: “Berdasarkan kasih karunia yang dianugerahkan kepadaku, aku berkata kepada setiap orang di antara kamu: Janganlah kamu memikirkan hal-hal yang lebih tinggi dari pada yang patut kamu pikirkan, tetapi hendaklah kamu berpikir begitu rupa, sehingga kamu menguasai diri menurut ukuran iman, yang dikaruniakan Allah kepada kamu masing-masing. (Roma 12 : 3).” 

*SP*